webnovel

Oh?

Zera POV

Adhitya mengejarku kesana kemari dan kami tertawa dengan leluasa. Begitu aku sadar ia sudah kelelahan, aku berbalik mengejarnya dan membiarkannya menangkap tubuhku dan memutarnya dengan riang. Kami bahagia. Tertawa dengan puas. Senyumnya sangat manis dan itu ditujukan untukku. Aku senang. Walau kesempatan untuk Vanie hadir dan mengoyak kebahagiaanku jauh lebih besar daripada mempertahankan kebahagiaan ini.

"Vanie!" jerit Adhitya ketika aku menggelitik pinggangnya.

Jujur, aku terkejut. Sebegitu kuatnya 'kah bayangan Vanie di dalam benak Adhitya? Hingga di saat aku yang berada di depannya ia tetap bisa membayangkan Vanie?

"Maafkan aku," ujar Adhitya sambil berusaha meraih pergelangan tanganku, namun aku menampisnya cepat-cepat. "Aku tidak sadar saat mengucapkan itu."

"Jelas itu yang sedang kau pikirkan, 'kan? Vanie?" tanyaku menahan perih yang menghujam jantungku. "Bahkan saat kau memintaku untuk tetap memperjuangkanmu kau tidak bisa melupakan wanita itu."

"Zer..."

"Kembalilah padanya, Dhit. Aku tidak bisa membantumu karena sebenarnya ini yang aku takutkan," ujarku lirih.

Adhitya meraih tanganku dengan hati-hati. Ia menatapku dengan lemah dan kembali mengucapkan kata maaf. Haruskah aku memaafkan dirinya? Ia sudah berjanji untuk melupakan Vanie. Ya, beberapa waktu lalu setelah aku menerima tawarannya untuk menjadi kekasih bohongannya, Adhitya berjanji untuk melupakan Vanie. Tapi sekarang apa?

"Aku takut patah hati."

---

Adhitya POV

"Kembalilah padanya, Dhit," ujarnya dengan nada yang sangat menyayat hatiku. Aku salah lagi. Seharusnya aku mengontrol ucapanku agar tidak melukai hatinya. Sesaat setelah meyakinkan diri atas rasaku pada Zera, aku sudah berjanji untuk melupakan Vanie. Mengapa harus teringat pada wanita itu lagi? "Aku tidak bisa membantumu karena sebenarnya ini yang aku takutkan." Zera mengucek matanya lalu tersenyum padaku dengan gentar, "Aku takut patah hati."

Aku tidak bisa memperbaiki situasi. Tubuhnya melemah dibawah cengkeraman tanganku. Ia merasa sedih dan aku tahu itu benar. Yang bisa kulakukan hanyalah memeluk Zera dan berhenti membayangkan perasaan nyaman ketika mencium Vanie. Seharusnya aku tidak pernah mencium Vanie. Dia 'kan teman adikku sendiri. Mengapa aku menciumnya? Dasar aku.

"Maafkan aku, Zera. Aku bersalah," bisikku tidak tahu harus berkata apa lagi. "Maafkan aku."

Zera membalas pelukanku dan berbisik tenang, "Lupakan. Aku akan memberimu satu kesempatan lagi untuk membuktikan bahwa kau memang mencintaiku."

Tapi bagaimana caranya?

"Aku mencintaimu, Adhitya. Jikalau kau tidak, aku akan melepasmu bersama Vanie," bisik Zera. "Kalau kau tidak mencintaiku, buat dia mencintaimu."

Omong kosong. Kau pikir mudah?, teriak Adhitya dalam hati. Vanie jatuh cinta pada pria lain.

---

"Kak!" pekik Vanie saat Adhitya balas menggelitik pinggang Vanie. "Stop! Aku tidak bisa menahan rasa gelinya."

Adhitya tersenyum cerah; menggendong Vanie dan mencium pipi wanita itu. "Aku merindukanmu."

"Bagaimana Kak Zera? Apa kau berhasil membuatnya kembali padamu?" tanya Vanie sambil membalas pelukan Adhitya. "Aku juga merindukanmu."

"Sepertinya...." Adhitya menggantung kalimatnya. Ia menarik wajah Vanie untuk menatap matanya. "aku kembali mencintainya."

Vanie tertawa keras-keras. Ia merekatkan pelukannya kepada Adhitya. Jantungnya memanas, pipinya memerah, matanya basah dengan air mata. Semudah itu Adhitya mematahkan hatinya. Semudah itu Adhitya bersikap seolah semua baik-baik saja. Semudah itu hingga lelaki itu menjadi seperti Tuhan yang bisa memberi dan merenggut kebahagiaan dengan sekali jentikan tangannya.

"Vanie," panggil Adhitya tanpa mengubah posisi tubuhnya dengan Vanie. "Zera memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mencintainya."

"Lalu?" jawab Vanie parau.

Adhitya mengerutkan dahinya. "Mengapa kau menangis?"

"Tidak, aku tidak menangis," elak Vanie disertai gelengannya yang kuat.

"Aku sudah membuktikannya."

Vanie mendongakkan kepalanya. Ingin tahu cerita keseluruhan. Ingin tahu apa jadinya hubungan Adhitya dengan Zera. Ia lupa jika matanya sudah memerah dan hidungnya sudah tidak bisa menyembunyikan cairan bening yang menandakan ia sedang bersedih itu.

"Lalu?"

"Ternyata tidak cukup kuat," bisik Adhitya disela senyumnya.

"Apa itu maksudnya?"

Adhitya membenamkan bibirnya pada bibir Vanie. Dengan sabar ia membiarkan jantungnya kembali pada detakan normal. "Kata Zera, aku lebih mencintaimu."

"Kak Zera bilang begitu? Mengapa?"

---

*

"Bunga? Romantis sekali," kekeh Zera sambil menerima bucket bunga dari tangan Adhitya. "Sayang sekali bukan bunga teratai atau bunga matahari."

Adhitya mengerutkan dahinya. "Memangnya bunga teratai bisa dirangkai menjadi sebuah karangan bunga secantik ini?"

Zera tertawa sambil mengembalikan bucket bunga itu kepada Adhitya. "Bunga apa itu?"

"Kenanga."

"Mengapa kenanga?"

"Menyimpan banyak kenangan," jawab Adhitya datar. "Kau terlalu banyak bertanya."

"Jelas saja aku bertanya," sahut Zera acuh 'tak acuh. "Bunga itu bunga kesukaan Vanie, 'kan?"

Adhitya menahan napasnya. Bagaimana wanita ini tahu informasi seintim ini?

"Aku menemukan puisimu di balik catatan ilmiahmu yang tidak jelas," kata Zera seakan sedang menjawab pertanyaan Adhitya. "Kau menyebutkan bunga kesukaan Vanie."

"Hem," gumam Adhitya kikuk.

"Aku bingung mengapa ia menyukai bunga kenanga."

Adhitya mengangguk setuju dengan ucapan Zera. "Awalnya aku juga bingung. Tapi ia bilang, bunga kenanga menyimpan banyak kenangan."

"Pernah kau belikan dia bunga?"

"Tidak."

"Mengapa?"

Adhitya mengernyitkan dahinya. "Itu bunga kuburan."

Zera mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum memekik kesal pada Adhitya. "Mengapa kau memberikannya kepadaku, Adhitya? Mengapa tidak untuknya? 'Kan dia yang suka pada bunga itu!"

Adhitya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Karena setahuku teratai tidak bisa dirangkai."

"Mengapa memilih bunga kenanga? Bukannya masih ada bunga lain? Matahari? Mawar? Melati? Mengapa bunga kenanga?"

Adhitya bungkam. Ia tidak tahu jawabannya. Ia hanya asal memilih saat ingin membeli bunga. Ia tidak bisa menyebutkan alasannya. Sedangkan Zera, wanita di hadapannya ini terlihat sangat kesal. Zera mendelik padanya dan sesaat kemudian menghela napas panjang lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Zera menegakkan bahunya dan menunjuk bunga yang kubawa dengan sikap angkuh.

"Karena kau mengingat Vanie, Adhitya. Kau mengingat Vanie saat tidak tahu bunga apa yang harus dirangkai untuk diberikan kepadaku," ujar Zera.

*

---

"Eh?" Gelak tawa Vanie memenuhi gendang telinga Adhitya. Senyuman wanita di hadapannya ini membuat hatinya bergetar kegirangan. "Kau sungguh membelikannya bunga kenanga?"

Adhitya mengangguk bingung karena tidak berhasil menemukan titik kesalahannya. "Begitulah."

"Dan ia sungguh mengatakan kau memikirkan diriku saat memilih bunga?" tanya Vanie dengan gelak tawanya yang belum pudar.

"Ya."

"Astaga, yang benar saja." Vanie tidak menghentikan tawanya. Ia tertawa karena hatinya senang. Ternyata benar Adhitya masih memikirkan dirinya walau sudah mendapatkan apa yang lelaki itu mau selama ini. Zera.

"Aku memang memikirkan dirimu," ujar Adhitya. "Oj, aku punya cerita lain. Mau dengar?"

---

*

"Dua steak sapi," kata Adhitya pada pelayan yang mulai menuliskan pesanannya. "Dan dua teh manis."

"Bolehkah aku memesan es teh?" pinta Zera setengah memelas.

"Tidak," tegas Adhitya. "Kau harus menjaga kesehatan. Tidak boleh terlalu banyak meminum es."

"Tapi itu tidak banyak. Hanya sedikit."

Adhitya menggeleng kuat dan kembali berkata, "Kau gampang sakit. Minum es sedikit saja membuatmu flu. Aku tidak ingin kau sakit."

Zera mengerutkan dahinya. "Aku juara meminum es. Kau yakin aku yang akan sakit atau Vanie yang akan sakit?"

"Kau."

"Tapi Vanie yang mudah sakit, 'kan?" ujar Zera tanpa berbelit-belit. "Vanie yang mudah terkena flu bila meminum es? Itu sebabnya kau tidak pernah membelikan dirinya es krim?"

"Darimana kau tahu?"

Zera tersenyum dengan lembut lalu berujar dengan santai, "Kau mudah sekali ditebak."

"Masa?" goda Adhitya berusaha mencairkan suasana yang mulai terasa mencekam. "Coba tebak aku sedang memikirkan apa."

"Aku hanya bisa menebak dua menit yang lalu kau memikirkan apa. Apa kau mau tahu jawabanku?"

Adhitya mengedikkan bahunya dengan semangat. Ia sedang memikirkan betapa manisnya saat Zera cemburu kepada Vanie. Tentu saja akan menyenangkan jika tebakan Zera tidak meleset. Ia memikirkan betapa ia senang menggoda Zera yang tidak bisa berhenti menuduhnya mencintai Vanie. Vanie-nya yang sangat lucu dan manis. Yang membuatnya merasa dicintai berkali-kali.

"Vanie."

Adhitya memasang wajah datarnya. Ia hanya bisa membatin, 'Benarkah aku memikirkan Vanie? Bukankah baru saja aku memikirkan Zera dan berujung pada Vanie? Yang benar aku memikirkan siapa?'

"Apa benar Vanie, Adhitya?" tanya Zera lembut.

*

---

"Sampai hari ini aku masih tidak tahu siapa yang kupikirkan dua menit sebelum Zera menebaknya," ujar Adhitya dengan menekuk wajahnya.

"Sebaiknya kau mengingat hal itu untuk dipertanggungjawabkan nantinya," saran Vanie sambil tersenyum manis.

"Ya, kau benar."

"Lalu apa yang akan kau lakukan dengannya sehabis ini? Aku terlihat seperti sedang berselingkuh denganmu."

"Ah? Berselingkuh ya?" goda Adhitya sambil memegang dagu Vanie. "Aku akan melamarnya."

Nächstes Kapitel