"Mau bertaruh?"
"Apa lagi yang ingin kau pertaruhkan?"
"Jika aku meminta maaf padamu, maka kau boleh melakukan apa pun padaku."
"Jangan bercanda, kau memakai tubuh Lica."
"Aku dan Lica-mu adalah satu, jika kau kalah ... kau harus menuruti perintahku. Bagaimana?"
"Termasuk menidurimu?"
"Termasuk meniduriku."
"Deal, sampai kapan batas waktunya?"
"Selamanya."
Ku buka kedua mataku, sudah lama aku tidak bermimpi Felicia. Kepribadian Lica yang telah menghancurkan mata kiriku. Dendam? Tentu saja aku dendam padanya, tetapi tidak dengan Lica. Lica memiliki tatapan yang lembut saat menatapku, berbanding terbalik dengan Felicia yang menatapku dengan tatapan merendahkan.
Aku tidak menyangka jika ia akhirnya meminta maaf padaku, setelah sekian tahun lamanya sejak kejadian mata kiriku yang ia tusuk dengan sebilah pisau. Setiap aku mengingatnya rasa sakit di mataku mulai terasa. Ini sangat menjengkelkan.
Aku bangkit dari ranjang, entah berapa lama aku tertidur. Biasanya aku selalu tidur bersama Lica, tetapi akhir-akhir ini tidak bisa karena kondisi Lica yang mengkhawatirkan. Aku memerlukan pelepasan, tetapi aku hanya ingin bersama Lica.
"Sebaiknya aku mandi untuk menjernihkan kepalaku!"
Tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkan tubuhku, tetapi aku membutuhkan senyuman Lica untuk penyemangatku. Aku melangkah keluar menuju ruangan rawat Lica, Nero terlihat sedang duduk sambil menggengam tangan Lica, sedangkan si bodoh Vicente sedang tidur dengan pakaian barunya.
"Bagaimana?" Nero menoleh dan menatapku datar.
"Keadaannya stabil dan obatku bekerja dengan sempurna," jawabnya yang langsung menatap Lica dengan tatapan sendu.
Aku tidak mengatakan apa pun lagi, aku hanya menaiki ranjang dan mulai memeluk tubuh Lica. Tidak peduli dengan tatapan membunuh yang Nero layangkan, saat ini aku membutuhkan tubuh Lica berada di dalam pelukanku.
Napas Lica begitu tenang dan teratur, itu berita baik. Sudah beberapa minggu ini Lica seperti mimpi buruk, aku tidak tega melihatnya seperti itu. Bahkan mencoba untuk bunuh diri, aku tidak bisa hanya berdiam diri. Aku ingin memeluknya, merengkuhnya dan menenangkannya bahwa aku ada di sini, di sisinya. Tidak peduli sekotor apapun dirinya, aku tetap mencintainya, aku menyayanginya.
Mereka mengatakan jika cintaku hanyalah rekayasa dari pencucian otak, aku tidak peduli. Aku Xavier Kanae Roulette, pria kotor yang sering berganti-ganti wanita. Pria bengis yang tidak memiliki etika, pria terkejam yang tidak memiliki rasa. Hidupku, aku serahkan pada Lica, gadis pujaan hatiku, sebagai penerang jiwa kelamku. Dan jika ada yang menyakitinya, aku tidak akan segan-segan membunuh orang itu dengan cara terkejam yang pernah mereka pikirkan.
"Pergilah, kau bisa di layani dengan para budakmu itu."
Aku membuka mata, perkataan Nero membuatku terusik.
"Budak hanyalah budak, mereka tidak bisa memuaskan hasratku seperti saat bersama Lica," jawabku dan kembali memeluk Lica yang mulai menghangat.
Aku kembali menghirup tubuh Lica yang sangat menenangkan, suara rintik-rintik hujan menjadi penghias ruangan rawat Lica. Kadang aku bertanya-tanya, apakah Lica mencintaiku?
Walaupun ia tidak mencintaiku, aku akan terus tetap bersamanya, melindunginya, dan setia padanya. Tak peduli jika itu hanyalah sebuah perintah dari alam bawah sadarku, aku menikmati hidupku yang seperti ini. Tidak ada yang dapat memisahkanku dari Lica, siapa pun itu termasuk Alucard. Jika aku tidak bisa memiliki Lica, setidaknya aku bisa hidup bersamanya.
"Aku suka semua apa yang ada dalam dirimu, kau berbeda dengan yang lain. Meskipun yang lain juga pasti akan bersenang-senang di atas mayat korban mereka. Kau itu ... istimewa,"
"Tapi, apa kau suka?"
"Aku menyukaimu."
Dua kata yang tak pernah aku kira keluar dari bibirnya, aku tahu Lica begitu polos. Tetapi, aku sangat senang kala ia mengatakan suka padaku. Bagaimana aku mendeskripsikannya, aku tidak pandai dalam merangkai kata. Aku hanya pandai membunuh orang-orang yang berani menyentuh Lica-ku.
Apakah ia akan mengerti perasaanku? Aku rasa tidak, Lica pasti akan memilih Alucard dari pada diriku. Tetapi, aku ingin mengatakannya, mengatakan seluruh isi pikiran dan hatiku. Hanya padanya cinta dan perasaanku berlabuh, hanya padanya rasa sakit ini begitu pilu.
"Jika hujan adalah kesedihan, maka hatiku sudah seperti badai salju saat kau meninggalkan diriku, Lica."
Aku akan hilang arah tanpa adanya dirimu, karena kau bagai cahaya dalam hidupku. Sepertinya aku sudah banyak bicara, lihat saja wajah Nero yang melihatku seperti mengatakan 'menjijikan'.
"Ada apa?"
"Aku tidak menyangka kau bisa berpuitis seperti itu, aku pikir isi otakmu hanya ada Nona Felica, senajta api, dan selangkangan wanita."
Terkadang aku ingin menembak kepala Nero dengan beretta milikku, tetapi isi kepalanya terlalu berharga untuk dirusak. Aku merasakan pergerakan pada tubuh Lica, aku melihat kelopak matanya yang perlahan terbuka. Aku bangkit berdiri dan bersiap-siap jika ia akan kembali histeris, aku menoleh ke arah Vicente yang sudah membuka kedua matanya sambil menatap Lica.
"Panggilkan AG dan White!" kataku dan pintu langsung saja terbuka menampilkan Alucard dan White yang berjalan berdampingan.
"Tidak perlu, kami sudah berada disini."
"Felica," panggil Alucard sambil duduk di tepi ranjang.
Bisakah aku menggantikan posisi Alucard kali ini saja? Andai saja aku boleh menembakknya, sudah aku lakukan sedari dulu. Aku melihat kelopak kedua mata Lica yang terbuka, tatapan itu terlihat kosong seperti sebelumnya.
"Lica, kau mendengarku?" aku mengamit tangan Lica dan mendekatkan ke wajahku.
"Lica, aku Xavier. Kau mengingatku?" tanyaku lembut dan aku dapat melihat sinar di kedua bola matanya.
"Xa-vier?" aku dapat melihatnya yang mencari di mana keberadaanku.
Lica seperti tidak melihat Alucard dan yang lainnya yang juga berada di dekatnya. Aku paham sekarang, selama ini ia ketakutan dan mengabaikan semua yang ia lihat. Selama ini yang ia lihat hanyalah sesuatu yang terjadi padanya.
"Aku di sini," aku merasakan tangannya yang meraba wajahku, aku tersenyum kala ia dapat melihatku dengan jelas kali ini.
"Xavier!"
"Oopss,"
Aku tidak menyangka jika Lica akan memelukku, aku merasakan jika ia menangis. Ahh, aku benci mendengar tangisannya yang dapat membuatku hilang kendali.
"Lica, ada apa, mengapa kau menangis?" tanyaku sambil mengelus rambut merahnya yang panjang, aku dapat merasakan tatapan membunuh dari mereka berempat. Abaikan, aku senang Lica memelukku terlebih dahulu dari pada si tampan Alucard.
"Aku takut."
Aku dapat merasakan tubuhnya yang bergetar, ini tidak baik untuk mentalnya. Kami semua harus berbohong agar Lica dapat melupakannya.
"Apa yang kau takutkan? Kami semua berada di sini, mengapa kau harus takut, Lica?"
Lica melepaskan pelukannya, ia mengedarkan pandangannya dan terlihat merasa lega, sinar ketakutan di matanya sudah memudar dengan senyuman saat melihat Alucard. Lagi-lagi Alucard, aku harap pria itu pergi menjalankan misi mencari markas Salvador agar aku bisa bersenang-senang dengan Lica.
"Apa itu cuma mimpi?"
"Ya, kau hanya bermimpi. Kau tahu, kau kecelakaan mobil dan membuatmu terlempar jauh hingga tubuhmu penuh luka seperti ini. Jangan pernah lagi pergi sendiri dari mansion, kami akan menemanimu. Kau mengerti?"
Alucard kembali berbohong, tidak masalah selagi Lica tidak mengingat kejadian mengerikan yang menimpanya. Aku tidak ingin melihatnya berteriak kesakitan seperti itu lagi, lebih baik aku mati jika aku melihatnya sakit seperti itu.
***