Kini Elena tengah berdiri di depan pintu apartemen Brian. Gadis itu menenangkan jantungnya yang berdetak sangat cepat. Tadi Elena berhasil mendapatkan taxi setelah empat puluh menit menunggu di pinggir jalan. Dia bahkan harus menjelaskan pada security gedung aparteman mewah ini bahwa dia salah satu kerabat dari keluarga fernandez, agar diizinkan masuk.
Setelah semua proses panjang itu akhirnya Elena beberdiri di depan pintu apartemen Brian jam sebelas malam.
Elena masih mengatur detak jantungnya. Jemarinya bergetar saat menekan tombol bel yang ada di sisi pintu. Elena merapalkan doa, berharap dia akan selamat dari amukan amrah Elise atau Brian. Jantung Elena semakin bergemuruh saat pintu itu terbuka dan menampilkan wajah kaku dan mata tajam Brian yang mengunusnya. Seakan dengan mata itu saja Brian bisa membunuh Elena.
Elena masih mengatur detak jantungnya. Jemarinya bergetar saat menekan tombol bel yang ada di sisi pintu. Elena merapalkan doa, berharap dia akan selamat dari amukan amarah Elise atau Brian. Jantung Elena semakin bergemuruh saat pintu itu terbuka dan menampilkan wajah kaku dan mata tajam Brian yang mengunusnya. Seakan dengan mata itu saja Brian bisa membunuh Elena.
Kini Elena tengah duduk dengan kepala menunduk takut akan sorot mata tajam dari pria yang duduk dihadapannya. Dia terlihat seperti anak ayam yang siap dimakan musang jantan. Sekali terkam Elena bisa langsung mati.
Mata Elena sesekali melirik lantai yang dipunuhi pecahan keramik. Sekali lihat saja, Elena sudah dapat menebak jika semua itu perbuatan Brian. Dan Elena semakin takut dibuatnya.
"Jalang mata duitan," desis Brian mengeluarkan suaranya.
"Kau bilang akan kembali kemari sore hari. Tapi mengapa tengah malam seperti ini kau baru datang? Apa kau mencoba mengetes batas kesabaranku? Apa kau berpikir kesepakatan ini hanyalah permainan? Apa kau ingin kutuntut sekarang juga?" Elena hanya diam menerima semua amukan amarah dan teriakkan Brian.
Keterdiaman Elena membuat Brian semakin kesal. Pria itu menggebrak meja membuat badan Elena berdenyit kaget dengan jantung yang nyaris lompat dari rongga dadanya.
"Apa kau tuli? Mengapa tidak menjawabku? Apa ucapanku hanya angin lalu bagimu?!" teriak Brian sambil mencondongkan tubuhnya melewati meja hingga berjarak begitu dekat dengan Elena. Hawa panas dan amarah menguar dari tubuh Brian, membuat Elena semakin menyudutkan tubuhnya ke sandaran sofa.
"Maaf," cicit Elena pelan menjawab Brian. Jantungnya serasa mau copot saat ini, terus berdegub sangat cepat hingga terasa ingin pecah.
"Maaf? Mudah sekali kau mengatakan maaf setelah membuatku menunggumu di sini selama berjam-jam. Lalu dimana ponselmu yang kau katakan bisa dihubungi itu, hah?! Apa ponsel itu sudah kau jual dan membeli ponsel yang baru dengan uang lima ratus juta yang kau dapatkan tadi pagi? Apa kau datang selarut ini karena lupa waktu saat berbelanja dan menghabiskan uang itu?"
Dengan geram Brian mencengram rahang Elena dan mendongakkan wajah Elena. Melihat wajah yang sangat mirip dengan Elise membuat Brian mendengus dan membuang wajahnya. Tangannya melepas dengan kasar rahang Elena.
"Jangan karena kau saudara kembar Elise, kau bisa bersikap semau dan sesuka hatimu. Kau terikat perjanjian denganku, karena aku yang sudah membayarmu. Dan jangan harap aku memperlakukanmu seperti kakak ipar atau apapun itu, karena kau tak layak untuk dihormati. Tak akan ada saudara kandung yang sekejam dirimu. Yang tega memanfaatkan kesulitan adiknya hanya untuk mendapatkan uang yang banyak."
Perkataan Brian menusuk hati Elena. Wanita itu menunduk dalam dan setetes airmata mengalir di pipinya. Dia tak mungkin bisa menyangkal ucapan Brian itu. Karena kenyataanya dia memang memanfaatkan Elise demi mendapatkan uang lima ratus juta. Dia bahkan meminta uang itu lunas di muka. Betapa kejam dirinya sebagai kakak Elise.
"Elise memintaku untuk menyuntuhmu malam ini juga. Dia ingin agar kau segera hamil. Tapi aku tak akan melakukannya. Aku muak melihatmu malam ini. Dan aku tak ingin menyentuhmu sebelum dokter memeriksamu. Wanita jalang mata duitan sepertimu pasti menjual tubuhnya kepada pria manapun hanya demi uang. Dan aku tak ingin berhubungan dengan wanita berpenyakitan." Setelah mengatakan itu Brian pergi keluar dari apartemen. Meninggalkan Elena yang kini tak bisa lagi menahan isak tangisnya.
Tangisan Elena pecah begitu saja, napasnya putus-putus dan dia merasa sangat terpuruk saat ini. Wanita itu bahkan mengabaikan rasa perih di perutnya yang sejak tadi tak dia isi. Luka di hatinya lebih sakit daripada perih di lambungnya. Bukan karena ucapan Brian, melainkan ketidakmampuannya hingga Elena melakukan semua ini. Menyakiti adiknya, memanfaakan keadaan Elise demi uang, juga karena Diego tak ada di sisinya saat ini membuat Elena semakin terpuruk dan sendiri. Wanita itu berbaring meringkuk di atas sofa. Layaknya janin yang meringkuk dalam kandungan ibunya. Namun tak ada sedikitpun kehangatan yang menyelimuti Elena saat ini. Tak ada. Airmatanya terus mengalir tiada henti.
"Diego," Elena bergumam lirih memanggil nama Diego. Dia merindukan pria itu. Dia menginginkan Diego saat ini. Menginginkan Diego merengkuh dan memeluk Elena dengan erat sambil berkata semuanya akan baik-baik saja.
"Die ... go." Berulang kali Elena menyebut nama Diego. Namun hanya angin sunyi yang menghampirinya. Hal itu semakin membuat Elena terisak kencang. Hingga akhirnya kegelapan menyelubunginya.
....
Seakan memiliki kontak batin yang sangat kuat, Elise juga sedang menangis terisak di kamarnya. Namun dengan alasan yang berbeda dengan Elena. Elise menangisi ketidakmampuannya.
Dia menangis karena menjadi wanita yang lemah. Elise menangis karena dia tak hamil juga sampai saat ini.
Hamil. Entah kapan Elise bisa merasakan hal itu. Merasakan akan adanya benih suaminya bersemayam dalam rahimnya. Mengalami proses yang disebut mengidam, mengandung bayi selam sembilan bulan, melahirkan dan menghantarkan anaknya untuk hidup ke dunia. Kapan Elise akan merasakan hal itu? Kapan Elise menjadi ibu dan istri yang sempurna?
Airmata semakin mengalir deras di wajah Elise. Bohong, jika Elise mengatakan dia rela membiarkan Brian menyentuh wanita lain. Bahkan dia sama sekali tak setuju dengan wanita manapun yang akan disentuh Brian, tak terkecuali Elena. Sungguh, jika saja Elise bisa berteriak, dia tak akan membiarkan Brian pergi. Elise tak akan menyuruh Brian menyentuh Elena. Tak akan dia izinkan Brian untuk menyentuh wanita manapun.
Tapi Elise tak bisa. Elise hanya diberikan dua pilihan. Tetap bersama Brian dengan melahirkan anaknya atau mengizinkan Brian menikah lagi. Dan Elise yakin jika nanti Brian menikah lagi, Rena pasti akan meminta Brian untuk menceraikan Elise.
Tidak, Elise tak mau dimadu, dia tak ingin bercerai dan berpisah dengan Brian. Namun dia juga tak bisa hamil saat ini. Dan kekurangannya yang tak bisa hamil itu lah yang membuat Elise semakin menangis terisak. Berulang kali menggumpati kekurangannya. Berulang kali menjeritkan nama Brian. Berharap pria itu tak menyentuh Elena. Walau sebenarnya Elise sendirilah yang menyuruh hal itu. Namun istri mana yang rela meminta suaminya menyentuh wanita lain. Tak ada. Tak ada yang rela.
Elise semakin terisak dalam tangis yang memilukan. Meratapi kekurangan dan perih di hatinya.