*****
Aku dan Mas Ahwan jalan berdua menuju Masjid. Ya ini menjadi rutinan kegiatan kami disaat kami tidak sibuk, pergi berdua untuk sholat berjamaah di masjid. Sekaligus menyapa tetangga sekitar di lingkungan kami. Walaupun kami warga baru, tapi Mas Ahwan bisa dengan cepat menyentuh hati masyarakat. Banyak sekali warga yang suka padanya. Ketika kami sampai di depan pintu masjid. Aku berpisah dengan Mas Ahwan, sedikit mengintip dari balik hijab yang memisahkan batas antara pria dan wanita. Aku melihat Mas Ahwan ditunjuk sebagai imam untuk memimpin sholat oleh berbagai warga.
Setelah itu, kami berjalan bergandengan tangan untuk pulang. Di tengah perjalanan, langkah kami berhenti di hadang anak-anak kecil sedang berkumpul di lapangan.
"Mas Ahwan, ayo main.." Pinta salah satu anak tersebut.
"Kata mama kalao main kembang api harus sama orang dewasa biar nggak kebakaran. Mas Ahwan mau ya nemenin kita main." Ujar Adit dengan nada merajuk.
"Kita punya kembang api banyak mas." Lanjut salah satu anak laki-laki bertubuh gemuk yang biasa di panggil Rehan. Mereka menatap Ahwan dengan penuh minat bergabung. Aku mengangguk menyetujui.
Aku duduk di tepi lapangan sepak bola. Untung cahaya tidak begitu temaram. Rasanya sejuk sekali melihat mas Ahwan bermain dengan anak-anak itu. Sesekali mas Ahwan membantu mereka menyalakan api pada kembang api tersebut.
Aku jadi berkhayal jika itu adalah anak-anak kami rasanya Mas Ahwan sudah pantas sekali jadi ayah. Apalagi ia terlihat sabar dan begitu riang berlari kejar-kejaran membawa kembang api. Bahkan ibu-ibu kompleks menyempatkan diri untuk berhenti sejenak dan menonton.
"Kapan yah, aku bisa merasakan itu. Bermain bersama Mas Ahwan dan anak-anak kami." Gumanku dalam hati. Tanpa sadar aku mengelus perutku lembut. Berharap akan ada janin yang tumbuh di sini.
"Sheila?" Panggil Mas Ahwan dengan teriakan. Aku mengangkat wajahku dan tersenyum menjawab panggilannya.
"Sini, kamu nggak mau ikut main." Tawar Mas Ahwan. Aku menghampiri mereka dan berdiri di dekat mereka yang sibuk menyalakan kembang api yang sudah padam.
"Ah janganlah mas, kayak anak kecil aja. Aku malu diliatin ibu-ibu kompleks." Mendengar itu. Mas Ahwan seakan sadar jika ia menjadi pusat perhatian, banyak ibu-ibu ataupun janda dan anak perempuan yang menatapnya penuh minat, memang benar yah orang berwajah indah tidak akan selalu terlihat baik, tapi orang yang berbuat baik akan selalu terlihat indah, dan orang yang berwajah indah sekaligus berperilaku baik akan terlihat indah tanpa cela. Aku bisa melihat wajahnya yang berubah jadi kaku namun kembali tersenyum. Sungguh sangat tampan di mataku. Aku bisa melihat bahwa aura Mas Ahwan memang baik tapi sayangnya apa baik saja cukup, aku jadi teringat peristiwa tadi siang. Ketika Mas Ahwan jalan berdua dengan Nada. Aku jadi murung, namun dengan cepat aku menggantikannya. Aku tidak ingin Mas Ahwan curiga, aku hanya tidak ingin semua hal yang aku lalui bersama Mas Ahwan berubah dengan cepat. Aku belum siap menerima kenyataan dan aku belum siap kehilangan pria ini.
"Kita pulang saja gimana," tawar Mas Ahwan.
"Tapi mereka mas," ujarku melihat anak-anak kecil itu yang sepertinya masih mengharapakan bermain bersama Mas Ahwan.
"Saya lapar belum makan," Mas Ahwan menatapku dengan iba. Aku jadi baru ingat tadi kami belum sempat makan ke masjid karena takut terlambat sholat berjamaah.
"Ya sudah." Mas Ahwan tersenyum lalu berpamitan pada anak-anak.
"Mas udah pantes jadi ayah." Ujarku ketika kami berjalan sambil bergandengan tangan. Aku bisa merasakan satu tangan Mas Ahwan yang lainnya merangkul pinggangku erat.
"Kapan yah kita punya anak?" Tanyaku. Aku merasakan Mas Ahwan mengecup keningku sekilas.
"Kamu siap punya anak. Bukannya kita udah sepakat kalau kamu maunya punya anak kalau kamu sudah lulus."
"Tapi melihat Mas Ahwan tadi bermain bersama anak-anak aku merasa Mas Ahwan seperti mengharapkan kehadiran seorang anak." Aku bisa mendengar mas Ahwan terkekeh karena ucapanku.
"Kalau kamu siap. Kita bisa program kok. Asal kamu tidak keberatan jika waktumu nanti jadi tersita sekaligus kuliahmu. Kamu tidak ikut banyak kegiatan di kampuskan?" Mendengar kalimat terakhir Mas Ahwan aku jadi tertunduk. Aku diam, apakah aku harus jujur dengan mas Ahwan jika sekarang aku mengikuti kegiatan penelitian bersama Valdo. Aku menelan ludah, aku takut jika Mas Ahwan akan melarangku jika tahu hal ini.
"Kamu kenapa diam?" Tanya Mas Ahwan.
"Ah tidak apa-apa mas."
"Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku." Aku menggeleng cepat.
"Mas aku masak kentang balado kesukaan mas loh," ujarku mengalihkan perhatian.
"Terimakasih sudah mengerti saya." Mas Ahwan menggenggam tanganku erat. Ketika rumah kami hampir terlihat. Tiba-tiba Mas Ahwan berjongkok di depanku. Aku menatapnya aneh.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku penasaran.
"Kamu tahukan setiap jejak langkah kaki kita kalau ke masjid akan di hitung sebagai pahala."
"Tahu, terus apa hubungannya?"
"Coba kamu naik ke punggung mas." Pintanya dan aku dengan cepat menurutinya. Tiba-tiba Mas Ahwan berdiri dan menggendongku dari belakang. Aku menjerit tanpa sadar karena kaget.
"Mas apaan sih... Mau ngapain.."
"Mas mau cari pahala dengan langkah kaki mas.."
"Ih... Apaan sih mas? Ngk nyambung.. lagian apa hubungannya sama masjid."
"Kamu tahukan membawa istri tercinta ke dalam rumah dengan selamatkan juga dapat pahala." Jawab Mas Ahwan dengan tidak mau kalah.
"Lagian kalau mas mau gendong aku aturan dari masjid. Masa deket rumah baru nawarin." Keluhku dengan nada pura-pura kesal.
"Ada-ada aja." Aku tersenyum mendengar itu. Aku memeluk lehernya erat. Kujatuhkan kepalaku di bahunya. Rasanya hangat dalam gendongannya. Aku tersenyum ketika melihat pintu rumah kami di depan kami. Rasanya seperti diantar ke surga oleh orang yang kita cintai. Andai itu bisa terjadi, aku mau Mas Ahwanlah yang menjadi pria yang benar-benar menuntunku ke surga. Semoga saja...
****
Follow juga Instagram @wgulla_