webnovel

43

Hinata mendengar kabar bahwa Neji berada di rumah sakit. Ia dan pendampingnya buru-buru pergi untuk melihat kondisi Neji. Dan laki-laki itu masih tidak sadarkan diri. Tidak ada luka apa pun, kemungkinan yang terjadi ini karena kelelahan. Hinata jadi merasa bersalah, karena selama ini dia terus membuat Neji harus bekerja keras. Seperti menyiapkan bak mandi penuh air panas, memasak sesuatu, membuat camilan atau pastri yang enak. Sungguh-sungguh merasa menyesal.

"Nona, Anda sebaiknya istirahat," kata pendampingnya yang berada di samping, tampak khawatir pula sepanjang waktu menunggu Neji sadarkan diri, tetapi lebih khawatir melihat Hinata yang terus merasa sedih. Dan ini sudah subuh, Hinata bahkan tidak memejamkan mata sedikit saja untuk istirahat. "Saya akan memberi kabar, kalau Anda dan Tuan tidak bisa masuk untuk hari ini."

"Benar, kau harus memberi kabar sekolah. Ini bukan Okutama yang dengan bebas kita masuk atau tidaknya—tidak perlu memberi kabar kepada mereka."

Hinata menghela napas beratnya, menggenggam tangan dingin kakaknya. Wajah Neji tampak pucat. Tapi setengah jam kemudian, Neji melenguh merasakan sakit di kepala. Pemuda itu mengusap sebentar sebelum akhirnya terkejut bahwa dia berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi?" Neji terserang linglung mendadak. "Kenapa ada di sini?"

"Kau benar-benar tidak ingat?" tanya Hinata khawatir. "Kau ditemukan di jalan saat malam hujan, dan hampir mati kedinginan. Apa yang terjadi padamu? Seseorang menyerangmu? Kau kelelahan?" Neji mencoba bangun, tapi Hinata mencegahnya. "Tidak boleh bangun!" protes gadis itu, terlihat marah luar biasa. "Tidak boleh pergi ke mana-mana. Paling tidak, kau harus istirahat. Dan hari ini kita tidak perlu masuk sekolah. Miru sudah pergi ke sekolah untuk mengizinkan kita."

"Aku sudah tidak apa-apa."

"Neji!" Hinata berteriak gelisah, takut bahwa kakaknya tidak menuruti kemauannya. "Kumohon, aku benar-benar menyalahkan diri sepanjang malam karena mendengar kabarmu. Tidakkah kau kasihan padaku juga? Aku hampir terserang penyakit jantung, tahu."

Neji kembali berbaring di atas kasurnya, walau sebenarnya tidak begitu nyaman adiknya melihatnya penuh khawatir, padahal ia rasa sudah baik-baik saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.

Sejam kemudian, saat Neji sudah jauh lebih baik, saat dokter sudah memeriksanya, hingga memberikan kabar, kalau pemuda itu sudah boleh pulang. Naru datang dengan wajah tidak percaya di dalam bangsal Neji. "Hei, apa yang terjadi padamu?" Neji hampir dibuat tertawa, saat Naru bahkan belum mengikat dasi dengan benar, bahkan saat ujung kemejanya pun tidak dimasukkan. "Seseorang memberi kabar kalau kau mengalami kecelakaan. Apa yang terjadi?"

"Ini bukan kecelakaan, hanya kelelahan biasa."

"Kau yakin? Apakah, apa gara-gara acara festival besok kau jadi begini? Sungguh aku menyesal karena itu Neji, aku tidak bermaksud membebanimu."

"Ayolah, kau terlalu merasa bersalah, padahal aku sudah baik-baik saja."

"Karena kau tidak pernah pingsan di tengah jalan, maka dari itu aku merasa bersalah."

Neji beringsut untuk turun dari kasurnya, kemudian mendekati temannya yang masih tampak kacau. "Lihat," kata pemuda itu, turun, lalu berputar-putar, memperlihatkan kondisi primanya. "Ini hanya kelelahan biasa, tidak ada yang dikhawatirkan, dokter pun sudah melakukan beberapa tes, tidak ada yang aneh padaku."

Naru tampak lega mendengar itu—menemukan kondisi Neji sudah seperti biasa. Lalu Hinata menyambung. "Dia akan segera pulang, kami mengambil jadwal siang ini, menunggu laporan kesehatan yang lain keluar. Tapi Neji menjamin kalau tidak terjadi sesuatu padanya. Dia bahkan makan dengan lahap."

"Kau bisa dengar sekarang?" Neji tertawa kemudian. "Aku tidak akan membolos untuk besok. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika aku hanya duduk manis sementara acara kita sedang berlangsung. Kau tidak bisa mengurus festival itu sendiri. Kumohon jangan mengkhawatirkanku berlebihan, aku sudah tidak apa-apa."

Naru mengambil duduk di kursi dekat ranjang Neji. "Sepertinya aku harus membolos," kata pemuda itu. "Aku sudah terlambat untuk datang ke sekolah," Neji tertawa, mengerti apa maksud Naru. "Aku akan kembali ke rumah, berganti pakaian, akan ke sini lagi untuk mengantarmu pulang ke rumah."

Pemuda pirang itu keluar dari ruang inap Neji, sementara Neji melirik Hinata yang tersenyum ke arah kepergian temannya sambil menghela napas, terngiang-ngiang tanda merah di leher gadis itu beberapa waktu lalu, itu benar-benar mengusik dirinya. Sesuatu pasti terjadi pada mereka. Tanda merah itu begitu umum terlihat seperti bekas-bekas ciuman. Bukan berarti Neji tidak pernah pacaran, dia jadi tidak tahu tanda apa itu. Mungkinkah sang adik sudah tercemar?

Neji mengambil berbaring di atas kasurnya lagi, sedangkan Hinata memutuskan untuk keluar dari ruangan karena akan pergi ke kafetaria untuk menikmati setidaknya beberapa roti isi karena dia butuh sarapan. Menduga, bahwa mungkin sang adik menyusul Naruto.

Neji tahu, ia bahkan berencana ingin mengikuti, mengingat kondisinya yang masih berstatus pasien, dia tidak mau membuat seluruh staf perawat yang sedang berjaga merasa khawatir.

"Naruto," Naruto akan masuk ke dalam lift untuk menuju tempat parkir yang ada di bawah tanah, tapi seseorang memanggilnya, dan ia mencegah pintu lift tertutup. "Aku akan pergi ke kafetaria," kekasihnya tersenyum malu-malu—ini sedikit membuat Naru canggung mengingat mereka selama ini seperti tak pernah akur. "Apa kau sudah sarapan?"

"Kebetulan sudah, tapi kalau menikmati setidaknya secangkir kopi, aku bisa menemanimu ke kafetaria sambil mengobrol tentang Neji."

"Ide bagus," jawab Hinata, terlihat tidak perlu memikirkannya terlalu lama. Ia lupa, kalau sempat begitu membenci pria ini.

Keluar dari lift, mereka berhadapan dengan seseorang yang menurut Naruto sedikit unik. Sedangkan dengan Hinata, dia sendiri tampak terkejut, mereka bertemu kembali di sini. Itu Sesuatu yang tidak disangka-sangka.

"Oh, kau gadis SMA waktu itu, 'kan?" Naruto mengamati mereka berdua. "Terima kasih yang waktu itu."

"Aku tidak melakukan apa-apa," Hinata tersenyum ringan kepada pemuda albino yang sepertinya seorang mahasiswa. "Kau akan pergi ke mana?"

"Menjenguk seorang teman," Hinata bergerak minggir, mempersilakan pemuda albino itu untuk masuk ke dalam lift. "Ah, terima kasih, kau benar-benar gadis baik." Begitu sampai di dalam, laki-laki itu terus melambaikan tangan pada Hinata, sampai pintu lift benar-benar tertutup.

"Siapa?"

Hinata mendongak ke arah Naruto. "Oh, kami bertemu dia di halte bus, dan agaknya bingung untuk menggunakan kereta atau bus. Kurasa dia manusia albino."

"Bukan kurasa, tapi dia memang benar-benar albino."

"Ya sudah, ayo kita ke kafetaria saja." Hinata menarik Naruto untuk segera pergi menuju kafetaria, tapi perasaan Naru tidak begitu nyaman bertemu dengan pemuda putih barusan. Mengingatkannya pada si gadis pembuat onar di sekolahnya. Gadis berambut putih itu pun tiba-tiba musnah tanpa sebab. Mungkinkah satu komplotan? Firasat Naruto mulai bermain karena pertemuan tak terduga barusan.

Terima kasih sudah mau menunggu, ternyata banyak kendala di luar prediksi saya. :')

BukiNyancreators' thoughts