webnovel

39

Baiklah, apa yang bisa dilakukannya? Naru tahu ini terlalu cepat, seharusnya atau lebih baik dia memilih menerima tawaran gadis itu untuk berpacaran, bukan malah langsung berada ke dalam malam panas. Ia sebelumnya tidak yakin, dan seharusnya tidak melibatkan masa lalunya ke dalam diri mereka yang sekarang.

Naru mencoba tersenyum sembari melangkah mendekati Hinata, menggenggam tangan gadis itu erat-erat. Terasa begitu sangat dingin. Bukan saja karena gugup, Naru tahu Hinata tidak terbiasa bersentuhan dengan seorang laki-laki. Ketika berada di Okutama, ia tidak pernah dilayani laki-laki, paviliun pribadinya dipenuhi oleh para wanita, dari tukang kebun, orang-orang yang membersihkan kolam ikan di halaman teras, semuanya dilakukan seorang wanita, bahkan sopir pribadinya pun, keluarganya mencarikannya wanita.

"Ayo kita berpacaran," kata Naruto, Hinata mendongak, tampak terkejut. "Kau ingin sesuatu yang terhubung, 'kan? Kau bukan seperti Ino yang mungkin bisa bergonta-ganti pasangan. Dan ada masalah serius yang ingin aku sampaikan padamu."

"Ino? Berganti-ganti pasangan?" Hinata tertegun, berpikir ketua asosiasi di sekolahnya terlalu serius untuk menanggapi rumor yang tidak benar. "Kau percaya kalau dia memiliki sisi lain yang seharusnya tidak kuketahui?"

Naru terdiam, berpikir sejenak. "Semua orang tahu tentang Ino, tapi kukira itu masalah yang harus dihadapinya. Mm, dia sedikit tertutup, kupikir semua bermula dari orangtuanya yang tidak pernah akur. Anak-anak tahu Ino telah dituntut habis-habisan untuk menjadi perempuan sempurna," Hinata membayangkan saat berada di jembatan, Ino tampak terluka, dia pun terlihat tidak tahan dengan perlakuan orang terdekatnya. "Kita bisa mengobrol di kamar, aku berani menjamin kita tidak melakukan sesuatu yang berbahaya."

Hinata tidak menolak ketika Naruto masih menggenggam tangannya dan menariknya masuk ke dalam lift. Ia percaya pada laki-laki itu, mereka tidak melakukan hal apa pun yang sekiranya pertanda berbahaya. Ia akan mengobrol soal Ino, Hinata sebagai saksi dalam kejadian itu, ia bahkan memberikan perintah secara terang-terangan untuk tidak mengizinkan keluarga Ino masuk ke ruang inap gadis itu, untuk sekadar melihat putri mereka yang masih terbilang kritis.

Sesampainya di dalam kamar hotel, Hinata mengambil duduk di kursi dekat ranjang. Hujan mengguyur Tokyo malam itu. Rintik-rintik membuyarkan cahaya kota yang tampak menyilaukan sementara Naruto berjalan mendekati meja bar, membuat dua cangkir teh hangat untuk mereka. Baru ketika selesai menyajikan teh untuk Hinata juga, Naru duduk di pinggir kasur. Mencicipi sejenak hangatnya cairan teh yang merasuk ke dalam kerongkongan.

Naru menghela napasnya, meletakkan cangkirnya ke nakas. "Ini sesuatu yang penting, harus aku sampaikan kepadamu," Hinata mencermati Naruto dalam-dalam. Sepertinya ini benar-benar masalah serius, dan terlihat tidak mudah untuk mengatakannya. "Kemungkinan Ino sedang hamil," Hinata terkejut, hampir menumpahkan tehnya. "Sebenarnya aku tidak pandai untuk bergosip seperti anak-anak perempuan lainnya, tapi teman Ino di luar sekolah berkata, bahwa gadis itu mungkin saja hamil karena kasus perkosaan atau kasus lainnya. Ini penyelidikan yang dilakukan oleh kami."

"Kami?" entah mengapa Hinata mulai bisa menebak. "Mungkinkah kau dan Neji?"

"Benar," jawab Naru, ia tak terlihat ragu sedikit pun. "Ia beberapa kali terlihat pergi ke rumah sakit, awalnya dia pergi ke psikolog, tapi lama-lama dia justru pergi ke obstetri. Teman sekolah kita melihat langsung, dia bahkan beberapa kali pergi bersama seorang laki-laki."

"Laki-laki?" Naru tidak bisa menjawab, meski sebenarnya dia tahu dalam segala hal. "Apakah itu kekasihnya, atau ayah dari bayi Ino?"

"Mungkin saja," Hinata melihat Naru ragu, tapi Naru sama-sekali tidak terlihat ragu-ragu untuk menjawabnya. Ia tahu apa yang tidak diketahui orang lain. "Tapi kita perlu bertanya pada Ino."

"Bertanya ketika kondisinya koma? Kau pasti konyol."

Untuk kali ini, ia melakukannya demi Ino, bukan demi siapa pun. "Ino sudah sadar, dia tidak koma," Hinata memandangi Naru heran. "Ia mengatur semuanya, meminta tolong pada staf dokter ataupun detektif wanita itu untuk tidak mengatakan apa pun kepadamu, Ino merencanakan sesuatu atau memang dia belum mempercayai dirimu?" hal terakhir yang disampaikan oleh Naru, mungkin benar, Ino belum mempercayai dirinya sebagai seorang teman, bahkan saat kasus terjun bebas dari jembatan itu, Ino tidak benar-benar menggenggam tangannya. Lantas, Hinata berdiri tiba-tiba. "Mau ke mana?"

"Pulang, kita tidak melakukan apa pun malam ini, jadi aku akan pulang, aku tidak ingin membuat Neji merasa khawatir," Naru tidak mencegah Hinata untuk pergi, meski sebenarnya dia sendiri tahu, jika Hinata tidak pulang ke rumah, melainkan pergi menemui Ino, memastikan sesuatu seperti apakah benar gadis itu sudah tersadar dan sebenarnya baik-baik saja.

Hinata menyetop taksi ketika dia berhasil keluar dari hotel, memandangi jalanan dengan pikiran yang terus teraduk-aduk, padahal ia selama ini tidak begitu peduli pada siapa pun orang di sekitarnya, tetapi insiden yang terjadi kemarin malam, membuat Hinata berubah pikiran soal ketidakpedulian terhadap siapa pun.

Ino mungkin memang tidak bisa percaya pada siapa pun begitu saja seperti dirinya, ia tahu keputusan Ino, ia tahu apa yang dirasakan oleh Ino, mencari orang yang tepat ia jadikan sandaran memang sulit. Salah-salah, hanya akan menyisakan rasa sakit. Itu bakal semakin menghancurkan diri Ino lebih banyak lagi.

Begitu sampai di rumah sakit, Hinata sendiri tidak yakin untuk datang ke ruang inap Ino. Ia hanya berdiri di dekat meja resepsionis. Sedang sibuk memutuskan antara dia perlu pergi ke bangsal Ino atau malah pulang ke rumah. Dan bertepatan dengan itu, Naruto muncul di bagian lobi, mengejutkan Hinata.

"Mengapa kau menyusul?"

"Aku akan ikut bersamamu untuk bertemu Ino."

Hinata mendengkus. "Berhenti untuk ikut campur, Ino mungkin tidak nyaman pada apa yang kaulakukan."

"Coba katakan sekali lagi seperti itu," Hinata mendongak, menatap Naru dengan pandangan yang terlihat ingin memprotes. "Sejak awal aku, Neji, dan kau sudah ikut campur ke dalam masalah Ino. Aku dan Neji adalah bagian asosiasi kesiswaan, apa yang terjadi pada murid-murid di sekolah kita tanggung jawab kami, bisa dibilang kami pengganti guru kedisiplinan, kita tuntaskan masalah ini, dan kita bisa membantu Ino."

Sekian kalinya, Hinata akhirnya menyadari bahwa Naruto adalah pria bertanggung jawab. Tangannya kembali digenggam oleh laki-laki itu. Diajaknya menaiki eskalator, dengan menunjukkan sisi sebagai seorang yang memegang pertanggungjawaban. Hinata bersemu merah dan menunduk, memandangi tangannya yang digenggam, rasanya hangat, begitu familier, tapi tidak membuatnya ingat kapan dia merasa berdebar-debar seperti sekarang.

Ino keluar menggeser pintu kamarnya, disaksikan oleh Naruto dan Hinata. Gadis itu mematung bersama detektif Shizune yang tidak menyangka bahwa Hinata bersama ketua asosiasi di sekolahnya datang menjenguk malam-malam.

"Kalian, sedang apa di sini?"

"Ino," Hinata memandang Ino penuh khawatir, bukan pandangan ingin tahu dalam segala hal—atau sekadar merasa begitu penasaran, mengapa Ino melakukan hal ini kepadanya.

Nächstes Kapitel