webnovel

24

Kedai itu tidak biasanya ramai, banyak roh-roh yang datang untuk menikmati minuman sebelum mereka pergi ke akhirat atau menuju ke dunia lain. Kadang-kadang terdapat janji yang belum ditepati hingga mereka tidak bisa begitu saja pergi ke nirwana. Mereka membutuhkan sebuah media untuk dapat menolong mereka.

Tempat dewi kehidupan seperti milik Haru No Sakura biasa didatangi oleh roh-roh gentayangan penuh kebencian, atau roh-roh gentayangan yang suka sekali tersesat, kemungkinan mereka pun tidak menyadari bahwa mereka sudah mati. Sakura akan menolong mereka sebagai dewi kehidupan, sebagai dewi yang akan menunjukkan mereka ke jalan menuju inkarnasi. Semua didasari dari aturan semasa hidup mereka. Apakah menjadi orang yang baik, atau mungkin menjadi orang yang paling buruk.

Namun malam itu, Sakura membawa seorang manusia ke kedainya. Mata pengunjung memandang dengan terkejut ke arah pintu kayu yang baru saja digeser. Sakura punya kelebihan untuk mengubah kedai kesayangan dalam gaya apa pun, kali ini kedai itu menjelma seperti kedai di zaman-zaman Showa. Ada bilik di setiap pinggir kedai dengan jendela yang agak terbuka. Memperlihatkan keindahan festival pada pengunjung, di luar kedai penuh lentera-lentera bahkan sungai-sungai yang dihiasi oleh lampion mengambang. Perahu-perahu diisi oleh sepasang kekasih yang sedang kasmaran.

Minato kemudian memandang sekitar, dia melihat pemuda berambut pirang sedang memunggungi dirinya di bilik keempat di sebelah kiri. Bersama seseorang berambut gelap sedang memainkan permainan papan, yaitu Igo. Itu putranya, sedang asyik, dan mungkin kehadirannya tidak disadari oleh anak itu.

Sebaliknya, Naru berhenti untuk bermain, tangannya sedikit terangkat di atas papan, tertegun sejenak, ia lalu melirik kepada Sakura yang berjalan ke arah meja bar di samping kanannya. Gadis sialan itu tersenyum kepadanya penuh arti. Merasa nasi sudah menjadi bubur, Naru tidak bisa menyangkal, maksud Sakura mungkin baik, gadis itu ingin Naru menceritakan pada seseorang yang dianggap oleh Naru sendiri sebagai orangtuanya.

Minato berjalan, berada di bilik ketiga, duduk berpunggung-punggungan dengan putranya yang sedang bermain permainan papan. Bahkan selama lima belas menit, tidak ada percakapan dari mereka, sampai akhirnya teman bermain putranya berdiri dari tempat duduknya, barulah keduanya sama-sama melihat keluar jendela.

"Suasananya sangat indah, membuatku teringat seperti saat ketika aku baru datang ke Jepang umur lima tahun bersama kakek dan nenekku, pada saat itu juga masih memasuki zaman Showa."

Berinisiatif untuk membalas, Naru berkata, "Tempat ini akan berubah sesuai dengan orang-orang yang ingin mengenang masa lalu termanis mereka," di luar kedai semakin ramai, dan keduanya semakin terhibur. "Adakah bagian termanis pada era Showa?"

"Saat pertama kalinya aku mengenal seorang anak perempuan, dan itu adalah ibumu," dengan perasaan tersentuh, Naru melihat papan permainannya kembali. "Aku senang berada di sini, dan kuharap bisa mengajak ibumu ke sini," air mata Minato mengalir, tetapi ia masih melihat keluar, begitu banyak kenangan yang tersimpan, dan tempat ini menunjukkan sebuah ingatan yang seharusnya tidak boleh dilupakannya. Tentang perjalanan hidup dan cintanya. "Maafkan ayah karena telah lancang untuk datang ke sini, mungkin hal itu tidak membuatmu nyaman."

Naru tersenyum, menunduk, suasana menjadi begitu sangat menyesakkan dadanya. "Tidak, ayah tidak boleh meminta maaf," katanya, nyaris tersengguk. "Aku yang selalu ingin meminta maaf, dan aku ingin mengatakan semua itu pada kalian, tapi kadang aku berpikir, mungkin aku akan membuat kalian terluka."

Seharusnya, ini semua sesuai rencananya, dia tidak perlu menangisi sesuatu yang menyesakkan, perasaan kehilangan seolah mencengkeram hatinya ketika dia terlibat bersama manusia.

Ia pernah merasa begitu kehilangan seseorang yang dicintainya, dan malam ini perasaan itu seolah datang kembali. Ia tidak perlu memiliki perasaan ini terhadap manusia, tapi jiwa pasangan suami-istri itu terhubung ke dalam tubuh manusianya. Perasaan kasih sayang yang terasa begitu hangat, perlakuan yang terus membekas di dalam kepalanya, Naru amat tersiksa. Apa yang terjadi jelas di luar dari perkiraannya. Perasaan rumit itu lagi-lagi membuatnya agak linglung.

"Ibumu selalu merasa khawatir selama ini," ketika suasana begitu canggung, Minato berusaha mencairkan suasana itu dengan kenangan-kenangan atau menunjukkan perasaan mereka kepada anak ajaib itu. "Bahwa mungkin kau akan meninggalkannya, tidak akan kembali padanya, sepertinya dia begitu mencintaimu, tapi aku sama-sekali tidak cemburu, ibumu berhak menyalurkan kasih sayangnya pada anak yang paling dia sayangi. Karena setidaknya kau benar-benar lahir dari rahimnya, ia tentu tidak ingin kau meninggalkannya, kau hadir saat dia begitu sangat putus asa, kau segalanya, dan kau dunianya."

"Ayah…"

Minato tersenyum, air matanya mengalir kembali. "Aku suka dengan panggilan itu," katanya, merasa sesak tiba-tiba. "Aku tidak ingin kehilangan panggilan itu, karena apa pun yang terjadi kau tetap anakku," Minato kemudian berdiri, ia berada di samping putranya, dan masih tersenyum, lalu berlutut di samping Naru. "Terlepas dari siapa kau yang sebenarnya, kau tetap anakku, dan aku rasa ibumu akan berkata hal yang sama, bahwa kau adalah anak kami, kau putra kami."

Saat melihat ke samping, Naru mendapati wajah ayahnya yang tersenyum tetapi penuh lelehan air mata, sebaliknya tanpa terduga, ia pun bisa melihat bayangan ibunya berkata sama kepadanya. Minato memeluk tubuhnya erat, kehangatan pria itu sebagai seorang ayah menyentuh hatinya. Tidak ada alasan untuk menutupi jati dirinya yang mengerikan itu. Lagi pula semua itu masa lalu, dan sekarang dirinya manusia meski mungkin kehidupannya terbilang abadi.

"Kami semua mencintaimu."

Igo, go, weiqi, atau baduk adalah permainan papan strategis antar dua pemain, berasal dari Tiongkok sekitar 2000 SM sampai 200 SM. Permainan ini sekarang populer di Asia Timur. Pengembangan sistem untuk bermain igo melalui Internet telah meningkatkan popularitasnya di belahan dunia lain.

BukiNyancreators' thoughts
Nächstes Kapitel