webnovel

17. Pistol di Kepala

Series Wedding #2 [CEO Scandal's : Married with Benefit]

Banyak hal hal yang tak terduga dalam cerita ini, menggabungkan berbagai macam genre seperti romance, comedy, action, drama dan masih banyak lagi.

Tak cukup membaca satu bab saja, kalian akan dibawa pada bab bab selanjutnya dan terhanyut dalam kisa ini.

SERIES WEDDING ini merupakan buku kedua setelah kisah orangtua Kalan dalam judul Not a Classic Wedding. Jadi kalau penasaran sama kisah mereka, langsung baca saja bukunya...

See you, semoga kalian semua terhibur dengan cerita saya ini...

___________________________________________

Bandara Intenasional Seattle, Tacoma.

 

"Iya, aku baru tiba di Seattle. Aku akan langsung ke apartemenku."

Seorang pria dengan setelan jas warna merah marun berjalan santai di tengah kerumunan penumpang intenasional. Pria itu memiliki wajah oriental, alis tebal yang mempesona, bibir tebal berwarna merah alami dan juga gaya rambut rapi dengan sentuhan gel rambut. Bayangkan seorang pemain utama dalam serial drama dengan status CEO muda, pria itu sangat menggambarkan semuanya.

Di sampingnya ada seorang pria yang membawa tablet dengan ponse di telinga. Pria itu juga tengah berbicara dengan seseorang entah siapa. Melirik jam di pergelangan tangan sekilas, lalu sedikit mengomel.

"Ya sudah, cepatlah." Pria itu menyudahi panggilan bersamaan dengan selesainya obrolan dari pria dengan jas marun di sampingnya. "Pak Aksa, mobil yang akan menjemput kita masih ada di bengkel karena ban kempes." Pria itu melaporkan hasil pembiacaraannya di telfon kepada pria yang ternyata atasanya tersebut.

Pria dengan setelan jas marun fokus pada ponsel di tangannya. "Siapkan mobil yang lain." Singkat, padat dan sangat jelas.

Pria yang menjabat sebagai asisten itu hanya mengangguk lalu menelfon showroom mobil terdekat untuk mengirimkan satu mobil untuk atasannya. Bukan membeli, tapi menggunakan hasil produksi sendiri.

Pria dengan setelan jas warna marun, bernama lengkap Antariksa Smith. CEO muda yang memimpin perusahaan yang bergerak di bidang otomotif. Semua onderdil mobil, ia produksi sendiri. Smith Groub mempunyai ebih dari 100 perusahaan yang tersebar di Amerika dengan pusat perusahaan ada di Seattle. Smith Groub merancang, mengembangkan, memproduksi, memasarkan dan menjual kendaraan ke dunia.

Smith Groub memasarkan produknya dengan nama SevenCode. Nama yang sama seperti nama mobil sport terbaru yang berhasil di luncurkan tahun 2020 ini. Spesifikasinya mampu mengalahkan mobil mobil mewah lainnya seperti ; Lamborgini, Ferarri, Jaguar dan juga Porsche.

Aksa baru saja melakukan perjalanan bisnis ke Jepang untuk membahas tender bisnis dengan perusahaan raksasa Toyota Corporation. Mereka tengah membicarakan tentang rencanga kerja sama yang akan di lakukan tahun 2025 mendatang.

"Bagaimana, Tan?" tanya Aksa menoleh ke arah asistennya.

Pria bernama Fatan itu tersenyum. "Sudah menelfon showroom Smith terdekat, Pak. Mereka akan mengirimkan mobil ke sini, kurang lebih akan tiba 10 menit lagi," ujarnya kemudian.

Aksa hanya mengangguk. Pria itu memasukan ponsenya ke dalam saku jas miliknya. Seteah mengurus barang barangnya, mereka berjalan menuju pintu keluar. Mobil yang di minta Aksa tadi sudah menunggu di area penjemputan. Mereka berdua masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya Fatan memasukan koper ke dalam bagasi.

Mobil keluaran Smith Groub itu melaju pelan meninggalkan area bandara. Aksa menyandarkan tubuhnya ke belakang sandaran kursi, mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah melakukan perjalanan bisnis ke Negeri Sakura. Pria itu memijat pelipisnya pelan, kepalanya berdenyut nyeri.

"Apa jadwalku untuk besok?" tanya Aksa tanpa membuka kedua matanya yang tertutup rapat.

Fatan membuka tablet di tangannya, ia membuka file yang berisi jadwal pekerjaan Aksa selama seminggu ke depan. "Rapat Mingguan, bertemu dengan klien dari Perancis, makan siang dengan Perdana Menteri Malaysia, rapat bersama Tim Indonesia terkait peresmian SevenCode di sana, mengecek beberapa laporan dan terakhir makan malam bersama Nona Ayesa," jelasnya panjang lebar.

Dahi Aksa berkerut. Kedua matanya perlahan terbuka. "Yesa ada di Seattle?" tanyanya bingung.

"Seattle Fashion Week," jawab Fatan singkat.

"Oh, aku lupa," gumam Aksa pelan.

"Anda terlalu sibuk memikirkan pekerjaan hingga melupakan semuanya. Apa Anda ingat, besok itu hari apa?" Fathan menatap atasnnya sinis.

Aksa menoleh ke arah Fatan. "Memangnya besok hari apa?" tanyanya kemudian.

"Heh." Fatan memutar matanya malas. "Kekasih Anda akan marah jika Anda melupakan hari ulang tahunnya," omelnya kemudian.

"Astaga!" seru Aksa menepuk jidatnya pelan. "Yak! Aku belum membeli hadi—"

"Saya sudah melakukannya," jawab Fatan memutar matanya malas.

Aksa segera menoleh ke arah Fatan. "Baguslah," ujarnya singkat.

Fathan kembali geleng geleng kepala dengan sikap tak acuh dari bosnya itu. Dia sendiri sudah menjadi asisten Aksa selama kurang lebih 5 tahun, jadi dia sudah mengetahui sifat dari bosnya itu. Workholic, tidak ada yang lebih penting kecuali bekerja. Aksa bahkan belum berfikir untuk mencari pasangan, meskipun usianya sudah 34 tahun. Bahkan seharusnya dia sudah memikirkan untuk mencari pasangan hidup alias calon istri.

Entah sudah seberapa sering, keuarga Aksa menerornya dan menanyakan tentang hubungan percintaan dari bosnya itu. Fatan bahkan sudah hafal dengan pertanyaan dari keluarga atasannya jika mereka bertemu, 'Apa Aksa sudah punya kekasih?', 'Apa Aksa pernah membawa wanita ke dalam apartemennya?', 'Apa tidak ada wanita yang mendekati Aksa?', pertanyaan pertanyaan seperti itu, bahkan ada pertanyaan gila seperti, 'Apa Aksa masih normal? Dia tidak gay 'kan?'.

Ya. Orang tua normal pasti menanyakan hal tersebut jika anaknya tak kunjung mempunyai pasangan dan bahkan tidak memikirkan ke arah sana sama sekali.  Selai mempertanyaan kenormalan putranya, apalagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Heh!

Chiiittttt!!!

Tiba tiba mobil yang mereka berdua tumpangi mengerem mendadak. Membuat dua penumpang di belakang terdorong ke depan akibat gerak refleks saat mobil mengerem secara mendadak.

Aksa segera menegakkan tubuhnya, ia mendongak ke depan dengan ekspresi bingung. "Ada apa?" tanyanya kemudan kepada sang supir.

"A-ada wanita yang t-tiba tiba saja menyeberang j-jalan, Pak," ujar sang supir dengan gagapnya.

Kerutan di dahi Aksa semakin terlihat jelas. Fatan juga melakukan hal yang sama.

"Apa mobil kita menabraknya?" tanya Fatan kemudian.

"S-esepertinya tidak, Pak." Sang supir menggeeng dengan raut wajah tak yakin.

"Saya akan turun," ujar Fatan pada akhirnya.

"Tidak, biar aku saja." Aksa mencegah Fatan dan memilih untuk turun.

Aksa bergegas turun dari mobil untuk mengecek kondisi wanita yang dimaksudkan oleh supirnya tadi. Pria itu berjalan ke arah depan mobil dan benar saja, di jalanan Seatte yang beraspal ia menemukan seorang wanita dengan gaun berwarna merah tengah jatuh terduduk. Di sebelahnya ada satu sepatu heels yang mungkin terlepas dari kakinya, sedangkan pasangannya masih bertengger di kaki yang satunya.

"Excus me, are you oke, Miss?" tanya Aksa berdiri di samping wanita itu.

Wanita itu mendongak menatap ke arah Aksa dan retina mata mereka saling bertemu. Mata sehitam jelaga milik sang wanita bertemu dengan mata kecoklatan milik Aksa. Mereka saing bertatapan cukup lama hingga suara sirine polisi Seattle memecah keheningan di antara mereka berdua.

Wanita itu bangun berdiri dengan tergesa gesa, meninggalkan Aksa sendirian bahkan tanpa mengucapkan satu patah kata. Aksa hanya mengikuti kepergian wanita itu, hingga wanita dengan gaun merah itu berada di seberang jalan dan pergi menggunakan taksi.

Tak ingin ambil pusing, Aksa berniat kembali ke dalam mobil. Namun  saat ia hendak kembali ke mobil, sepatu heels warna merah yang mencolok tertangkap indra penglihatannya. Aksa berbalik dan berjongkok untuk mengambil sepatu tersebut. Ia memegang sepatu heels wanita itu, menimbang nimbang sejenak lalu memutuskan untuk membawanya.

"Wanita itu sudah pergi. Apa dia baik baik saja?" tanya Fatan begitu Aksa kembai masuk ke dalam mobil.

"Begitulah," jawab Aksa singkat.

"Lalu sepatu siapa yang kau bawa itu? Apa milik wanita itu?" tanya Fatan sekali lagi. Merasa heran saat melihat atasannya kembali ke mobil dengan membawa heels dan itu cuma 1 bukannya sepasang.

Aksa tak menjawab. Mobil mulai bergerak meninggalkan jalanan tersebut. Fatan memilih untuk diam dan tidak lagi berkomentar. Aksa sendiri hanya menatap sepatu heels di tangannya, entah apa yang sedang pria itu fikirkan.

"Apa ada yang terjadi, kenapa ada banyak mobil polisi?" tanya Fatan saat mobil mereka berpapasan dengan mobil polisi.

Aksa menoleh ke samping dan benar saja, ada beberapa mobil polisi yang mereka lwati. Saat melintas di depan sebuah hotel, ia juga melihat ada dua mobil polisi yang teparkir di halaman depan hote. Beberapa polisi tengah membawa beberapa wanita wanita dengan pakaian seksi dan juga beberapa pria yang berpakaian berantakan dan bahkan ada yang tidak memeakai baju.

"Sepertinya prostitusi," gumam sang supir yang juga mengamati kejadian tersebut.

Fatan hanya mengangguk tak acuh, sedangkan Aksa terus melihat kejadian tersebut sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi berbelok di tikungan dan hotel sudah tidak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali menatap sepatu heels di tangannya.

"Apa pemilik sepatu ini, seorang pelacur?" tanya Aksa dalam hati.

___________________________________________________________________________

Lona selesai mengetik 1 bab untuk karya terbarunya. Bab pertama, dimana pemeran utama dalam karyanya bertemu dengan seseorang yang nantinya akan menjadi pangerannya. Seorang pelacur yang menemukan pangeran dan mengubah seluru hidupnya. Menjadikannya wanita berkelas dan bangun dari kubangan dosa bernama pelepasan. Lona mulai mengetik untuk cerita selanjutnya. Jemarinya kembali menari nari, menulis kisah tentang pelacur dan CEO perusahaan terkenal.

Tak jauh dari meja mereka, Kalan dan juga Biru masih membicarakan tentang surat ancaman dan juga petunjuk penting untuk menangkap pelaku pembobolan bank bank di seluruh Indonesia.

Kalan sibuk dengan ponsel yang menempel di telinganya, ia baru saja mendapat laporan dari Rain dan Cheetah. Mereka mengatakan jika ada beberapa gedung yang di beli oleh orang yang sama dalam kurun waktu satu bulan ke belakang.

"Baiklah, kita bahas nanti saat aku sudah kembali ke kantor." Kalan menyudahi panggilan telfonya dengan Rain.

Biru juga selesai berdiskusi dengan Lion. "Dugaanmu benar, Lan, nomor ini petujuk adalah penting tentang pembobolan bank," ujarnya kemudian mengacungkan foto yang tadi sudah ditransfer ke ponsel pria itu.

"Jadi?" Kalan meminta penjelasan hasil diskusi Biru dengan Lion.

"Alamat IP," sahut Biru.

"Dimana?" Kalan tak sabar untuk bertemu dengan orang yang sudah membuatnya sedikit kerepotan itu.

"Tak jauh dari tempat ini. Apartemen Grand Kalibata." Biru menatap ke luar jendela, menatap lurus jauh ke depan. Pada gedung tua yang menjulang tinggi di ujung jalan.

Brak!

"Argh!" Seseorang berteriak nyaring, membuat mereka menoleh ke arah suara teriakan tersebut.

Lona juga ikut menoleh ke asal suara. Ia terkejut saat melihat dua orang pria tengah menodongkan pistol ke arah pegawai kafe. Salah satu pengunjung kafe berteriak karena takut dan terkejut.

"Serahkan semua uang yang ada di dalam berangkas!" Seorang pria dengan jaket kulit warna coklat, memaksa pegawai toko untuk menyerahkan semua uang miliknya.

"T-tapi..." Pegawai bernama Indah itu terlihat takut dan juga gugup.

Brak!

Suara kencang datang dari samping meja Lona, seorang pria menjatuhkan kursi dan berjalan ke arah Lona yang berdiri di mejanya karena suara teriakan tadi. "Yak! Serahkan uangnya atau nyawa perempuan ini akan melayang!" teriak pria dengan jaket kulit dengan tattoo di leher itu menodongkan pistolnya ke pelipis Lona.

"Haish, kenapa mereka harus berbuat onar ketika aku ada di sini?" desah Hilona frustasi. Dalam kondisi dipiting dengan pistol yang mengarah ke pelipisnya, apa lagi yang bisa ia lakukan selain pasrah dan menyerahkan nyawanya kepada Tuhan.

Nächstes Kapitel