webnovel

Kesulitan Internetan

(POV Shuu)

Sambil membaca kopi, aku meminum koran di kelas.

Mungkin, aku adalah satu-satunya anak SMA yang masih membaca koran. Anak-anak yang lain lebih senang bermain smartphone. Mau bagaimana lagi, koran dan televisi adalah satu-satunya sumber informasiku. Jika aku tidak menonton koran dan membaca televisi, aku akan ketinggalan berita terkini.

Sungguh beruntung sekali ya orang yang bisa internetan memakai smartphone. Mereka bisa baca berita kapanpun dan di manapun mereka mau. Mereka tidak perlu repot mengeluarkan uang untuk membeli koran.

Saat membaca koran, aku menemukan sebuah kata yang terdengar asing di telingaku. Karena penasaran, aku pun bertanya pada Hoshi.

"Oi Hoshi, pengertian anorexia itu apa?" tanyaku.

"Googling aja."

"Hah? Kau ngajak berantem, ya?"

"Eh, sorry-sorry, aku lupa. Tanya Ota aja." Hoshi menjawab tanpa menoleh, dia sedang sibuk membaca komik.

Akhirnya, aku bertanya pada Ota.

"Ota, pengertian anorexia itu apa?" tanyaku.

"Anorexia adalah sebuah... mmm... apa ya... aku lupa. Tanya mbah google aja."

"Hah? Kau ingin aku cincang, ya?"

"Eh, sorry-sorry, aku lupa. Tanya aja Akemi, dia pasti tahu."

Astaga, sudah berapa lama sih mereka mengenalku?

Akhirnya, aku bertanya pada Akemi.

"Akemi, boleh tanya sesuatu? Pengertian anorexia itu apa?"

"Anorexia ya, hmm... aku lupa. Tunggu sebentar ya, aku googling dulu."

Akemi kemudian pergi keluar kelas. Dia repot-repot pergi keluar kelas hanya untuk mencari arti kata anorexia di internet. Duh, aku terharu, Akemi memang orang yang sangat baik.

"Ini, baca saja sendiri."

Akemi memberikan smartphone-nya padaku, kemudian aku membaca arti kata anorexia yang ada pada smartphone-nya.

"Makasih Akemi."

"Sama-sama," balasnya.

Kalau diingat-ingat, seumur hidup aku belum pernah melakukan suatu aktivitas yang dinamakan googling. Kata googling saja baru aku tahu saat aku masuk SMA, ketika aku pertamakali mempunyai sebuah smartphone. Tapi sayang, kekuatan anehku membuatku tidak bisa melakukan googling, padahal aku ingin sekali mencobanya, sepertinya asyik.

Zaman sekarang, semua anak melakukan googling. Dengan googling, apapun yang kamu cari pasti bisa kamu dapatkan. Hoshi bilang google tahu segalanya. Apapun yang kamu cari, di google pasti ada.

Aku jadi penasaran rasanya googling, aku ingin tahu di mana Miya sekarang berada.

Bicara soal Miya, Smartphone dan Googling, aku jadi teringat akan masa kecilku. Mungkin, aku akan sedikit bercerita tentang masa laluku, masa saat aku pertamakali mengenal sebuah smartphone.

*5 tahun yang lalu

Suatu hari, ada seorang anak yang sedang duduk sendirian di taman. Dia sedang menjilati es krim rasa jeruk kesukaannya. Dia sangat menyukai es krim itu, terlihat dari raut wajahnya yang sangat bahagia. Uang sakunya memang sedikit, bisa membeli es krim senikmat itu merupakan sebuah anugerah yang sangat luar biasa.

Setelah es krimnya habis, dia melihat-lihat keadaan sekitar. Semua anak seusianya sedang asyik bermain smartphone. Mereka duduk berjajar. Tatapan mereka fokus pada layar, sedangkan tangannya bergerak gesit memainkannya.

Anak itu terlihat penasaran, dia kemudian berlari mendekati anak-anak yang sedang asyik bermain smartphone itu.

"Kamu sedang apa?" tanya anak itu.

"Main game online." Anak yang sedang main smartphone menjawab, dia tidak menoleh sedikitpun.

"Apakah seru?"

"Ya, sangat."

"Boleh aku pinjam?"

"Boleh, tapi nanti ya, setelah aku selesai."

"Ok."

Anak itu terlihat takjub, dia melihat sebuah pemandangan baru dalam hidupnya. Dia sangat terkesan dengan sebuah layar yang menampilkan gambar mobil balap yang sedang melaju dengan kencang. Saat melihat layar itu, dia merasa sedang mengendarai mobil itu. Secara gak sadar, tangannya bahkan ikut bergerak, seolah sedang menyetir mobil. Anak itu benar-benar takjub ketika melihat temannya bermain game online.

Ya, wajar saja. Biasanya, anak itu cuma main mobil-mobilan kayu yang dibuat oleh orang tuanya, atau kadang cuma bermain karet gelang saja di saat sedang merasa bosan.

"Aku sudah selesai. Ini, silakan bermain." Bocah itu menyodorkan smartphone miliknya.

"Aku gak tau cara mainnya."

"Baiklah, akan ku ajari."

Akhirnya, anak itu diajari cara bermain smartphone. Tidak hanya game saja, anak itu diajari beragam fitur lain yang ada pada smartphone seperti kamera dan musik. Anak itu sangat antusias saat belajar bermain smartphone.

"Waah, smartphone itu hebat ya. Isinya ada kamera, musik, radio, kalender, game, bahkan bisa menonton film. Smartphone hebat sekali. Kamu belinya di mana, harganya berapa?" tanya anak itu.

"A-aku tidak tahu. Aku dibelikan orang tua."

"Oh, begitu. Ya sudah, aku pulang dulu, ya. Aku ada kerja sambilan. Besok kita main lagi."

"Ok."

Kemudian anak itu pergi meninggalkan taman. Di usianya yang masih muda, anak itu terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian orang tuanya yang sedang krisis. Anak itu bekerja sebagai tukang cuci piring, dia bekerja di sebuah kedai ramen yang cukup ramai. Meski upahnya sedikit, tapi dia sangat bersyukur dengan pekerjaan sambilan yang dia miliki. Yang penting, dia bisa membantu orang tuanya.

"Aku pulang," salam anak itu, setelah membuka pintu rumahnya.

"Selamat datang." Ibunya menyambut.

Setelah membersihkan diri dan ganti baju, anak itu bersantai di ruang keluarga. Kemudian, dia mendekati televisi untuk menyalakannya. Tapi, sebelum tombolnya dipencet, ibunya berteriak melarangnya.

"Shuu, jangan nyalain TV-nya. Bulan ini tagihan listrik sudah membengkak."

Mendengar ucapan ibunya, anak itu gak jadi nyalain TV. Sebagai ganti menonton TV, dia akhirnya mengambil komik yang berada di rak buku.

"Huh, rasanya bosan juga ya membaca komik yang sama sebanyak 20 kali," batinnya.

Tiba-tiba, dia teringat kejadian siang hari. Dia teringat saat dia bermain smartphone bersama temannya. Dengan polosnya, dia kemudian meminta ibunya supaya membelikan sebuah smartphone.

"Ma, aku ingin smartphone."

Ibunya kemudian mendekati anak itu. "Buat apa?"

"Buat dilempar ke wajah Mama."

"Hah?"

"Ya enggaklah, buat main game online, Ma."

Ibunya kemudian memandang wajah anak itu dalam-dalam. "Game online itu apa?"

"Game online itu game mobilan-mobilan yang sangat seru. Mobilnya bagus dan cepat. Kalau Mama main, Mama juga bakal suka," jawab anak itu dengan polos.

Ibunya kemudian berkata. "Shuu sayang, nanti kalau Ayahmu sudah sukses, dia pasti akan membelikanmu smartphone yang paling bagus. Tidak hanya satu, kamu boleh beli smartphone berapapun yang kamu mau. Untuk sekarang, kamu harus rajin belajar dan jadi anak yang baik, ya."

Anak itu tidak cengeng, dia tidak menangis atau meronta-ronta minta dibelikan smartphone. Anak itu sangat patuh pada orang tuanya. Apapun yang dikatakan mereka, anak itu selalu menurut.

"Oke, Ma!" jawab anak itu dengan senyuman.

Setelah malam yang mengharukan tersebut, anak itu jadi semakin rajin belajar dan rajin bekerja sambilan. Meski rajin belajar, nilainya tidak begitu bagus, tapi dia tetap bisa lulus dengan nilai pas-pasan. Yah, yang penting sudah berusaha.

Lima tahun kemudian—ketika anak itu baru lulus dari SMP, perekonomian keluarganya berangsur membaik. Mereka bisa menonton TV kapan saja, tanpa khawatir biaya tagihan listrik. Ibu dan Ayahnya jadi lebih sering tersenyum. Anak itu juga sudah berhenti bekerja sambilan, karena penghasilan dari orang tuanya sekarang sudah lebih dari cukup.

"Shuu, ini ada hadiah dari Ayah dan Ibu."

Ayah dan Ibunya menyodorkan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado. Anak itu terlihat penasaran dan segera ingin membukanya.

"Aku buka sekarang, ya?"

"Iya, silakan."

Anak itu kemudian membuka bungkusan kotak itu.

"Waah, ini kan... smartphone! Makasih Ayah, Ibu."

"Sama-sama," jawab orang tua itu dengan bahagia.

Anak itu terlihat bahagia, saking bahagianya dia sampai melempar-lempar smartphonenya ke atas ruangan. Orang tuanya jadi jantungan. Lebih parah lagi, anak itu bahkan pernah memandikan smartphone-nya. Untung saja smartphone itu anti-air.

Tapi, ada sesuatu yang aneh. Smartphone anak itu tidak pernah memiliki sinyal. Padahal dia sudah lima kali ganti kartu. Padahal dia sudah berulang kali membeli pulsa, tapi tetap saja smartphone anak itu tidak memiliki sinyal.

Akhirnya, dia terpaksa mengunjungi tempat reparasi smartphone yang berada di dekat rumahnya.

"Jadi, smartphone saya rusak apanya?" tanya anak itu.

"Smartphone-mu tidak rusak. Smartphone itu selalu ada sinyal kok, kecuali saat kamu datang mendekat."

"Benarkah?"

"Iya, coba lihat foto ini."

Tukang reparasi menunjukan screenshot di saat smartphone anak itu ada sinyalnya.

"Kau benar. Jadi, kenapa bisa begitu?" tanya anak itu.

"Sepertinya, kau dikutuk oleh Dewa Sinyal. Keberadaanmu menghilangkan sebuah sinyal. Lihat, smartphone-ku saja gak ada sinyal saat kau mendekat," ucap orang itu sambil menunjukan smartphone-nya.

"Kau benar. Tapi, aku masih tidak percaya. Mana ada orang bisa menghilangkan sinyal?" keluh anak itu.

"Hei, nak. Kau lihat? Orang itu sedang menelpon seseorang. Coba saja kau dekati, pasti telponnya langsung terputus." Tukang pulsa menunjuk pebisnis yang sedang menelpon.

"Ok, akan kucoba."

Anak itu kemudian mendekati pebisnis tadi.

"Iya, kontrak ini bernilai 100 juta yen. Kau harus menghubungi—tit tit tit." Pebisnis itu kemudian melihat layar smartphone-nya. "Loh, kok mati? Sinyalnya kok gak ada? Astaga, ini benar-benar gawat!" Pebisnis itu panik.

Bukan hanya pebisnis tadi, anak itu juga panik. Ternyata, dia benar-benar bisa menghilangkan sinyal.

"Astaga, ternyata aku benar-benar dikutuk oleh Dewa sinyal," batinnya.

***

Sampai sekarang, sampai bulan kelimaku di SMA Subarashii, aku sudah berganti hape sebanyak sepuluh kali. Aku membeli berbagai macam jenis hape mulai dari yang jadul sampai smartphone yang paling mahal. Tapi, hasilnya tetap saja, smartphone-ku tetap tidak memiliki sinyal. Nasib...

Ya sudah lah, mau bagaimana lagi, sepertinya aku memang tidak bisa internetan. Dipaksakan bagaimanapun, takdir konyol ini tidak bisa dihilangkan. Aku tidak bisa internetan, aku hanya bisa mengaguminya saja dari kejauhan.

Tapi, kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga tidak internetan. Toh, aku masih merasa bahagia. Aku bisa menjahili anak-anak, aku bisa menjahili anak-anak, dan aku bisa menjahili anak-anak. Hmm, sepertinya memang cuma itu sumber kebahagiaanku.

Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk pundaku, dia membisikanku sesuatu.

"Lapor komandan Shuu, ada tersangka sedang main game online di bangkunya sendiri. Bagaimana, apakah akan Anda tangkap?"

"Baik sersan Erza, akan saya amankan dengan segera," jawabku.

Setelah itu, aku diam-diam berjalan ke bangku Hashimoto, kemudian aku berkata.

"Boleh aku bergabung?"

Nächstes Kapitel