webnovel

Diary Kensel

(POV Kensel)

Di Kelas 1-F ada 2 perempuan yang memakai kacamata. Mereka adalah Maggiana dan Shino. Jujur saja, aku menyukai keduanya. Tapi, entah kenapa hati kecilku lebih condong kepada Maggiana. Selain itu, Shino juga sudah menjadi incaran Hashimoto. Aku tidak boleh merebut Shino dari dia.

Ngomongin apa sih aku ini?

Tentu saja, aku sedang ngomongin tipe cewek idamanku.

Setiap lelaki pasti punya tipe cewek idamannya masing-masing. Ada yang suka cewek feminin, ada yang suka cewek galak, ada yang suka cewek langsing, ada yang suka cewek di atas langsing, dan masih banyak lagi.

Tipe cewek idamanku adalah cewek yang memakai kacamata. Cewek yang memakai kacamata punya pesonanya tersendiri. Mereka memiliki 2 wajah, yaitu saat memakai kacamata dan saat melepas kacamata. Aku jamin, suami yang punya istri berkacamata pasti bahagia hidupnya.

Tapi, tidak semua cewek pantas memakai kacamata. Kadang ada cewek yang memakai kacamata cuma untuk gaya-gayaan saja; atau cuma untuk berfoto saja. Cewek yang seperti itu menurutku kurang enak dipandang karena terkesan tidak natural. Tapi, kalau Sera dan Lemon yang pake kacamata, mungkin bakal tetap terlihat cantik. Yaa, karena pada dasarnya mereka memang sudah cantik.

Cewek yang murni pemakai kacamata seperti Shino dan Maggiana terlihat sangat cantik di mataku. Aku selalu betah memandangi mereka berdua. Aura yang keluar dari wajah mereka sangat positif, membuat orang yang melihatnya jadi semangat untuk menjalani hidup.

Sore ini, aku berniat untuk menyatakan cinta pada Maggiana. Rasa sukaku pada Maggiana sudah di ambang batas. Aku ingin segera memilikinya, aku takut keduluan oleh orang lain. Maggiana adalah tipe cewek langka yang harus segera aku dapatkan.

Sekarang, aku sedang menunggu Maggiana di jalan pulang ke arah rumahnya. Aku sudah latihan di cermin berkali kali untuk menembak Maggiana. Aku yakin, aku akan berhasil.

Namun, sial. Maggiana ternyata pulang bersama Lullin. Aku lupa, tempat tinggal mereka satu arah, mereka selalu pulang bersama setiap hari. Akhirnya, hari itu aku tidak jadi menyatakan perasaanku pada Maggiana. Aku hanya pura-pura main handphone, dan menyapa mereka berdua.

Besoknya, aku menunggu lagi di sana, namun gagal lagi, karena Maggiana pulang bersama Lullin. Aku sudah memakai cara ini sebanyak tiga puluh kali. Aku terus menerus menunggu Maggiana pulang sendirian, namun selalu gagal.

Andai aku setampan Lev atau seberani Roman, mungkin aku tak akan ngumpet-ngumpet seperti ini. Ah, payah sekali aku ini. Kalau begini terus, Maggiana akan keburu direbut lelaki lain. Tapi gapapa, aku akan tetap setia menunggu Maggiana di tempat ini.

***

"Kensel, bisa bicara sebentar?" Maggiana mendatangi mejaku.

Aku di ajak Maggiana ke belakang sekolah.

Astaga... apakah Maggiana sadar kalau aku selalu memperhatikannya?

Maggiana menatapku. "Kensel. Kamu suka ya sama Lullin?" tanya Maggiana.

Aku mengerutkan dahi. "Hah? Lullin? Kata siapa?"

"Selama sebulan ini, aku lihat kamu selalu diam di jalan pulang menuju tempat tinggal kami. Bukankah kamu menunggu Lullin jalan sendirian?" tanya Maggiana.

"Tidak, aku justru menunggumu, Maggiana!" kataku.

Suaraku kebesaran, Maggiana kaget.

"Eh? Kamu menungguku?" Wajah Maggiana sedikit berkeringat.

"Iya. Karena aku menyukaimu. Tidak masalah, 'kan?"

Aku memalingkan wajah karena malu menatap matanya secara langsung.

Maggiana diam saja, tidak menjawab pertanyaanku.

Saat aku menoleh kembali, wajah Maggiana sangat merah padam. Ekspresinya juga tidak keruan.

"Ka-kamu beneran menyukaiku? Seriusan? Tidak bohong? Tidak hoax? Tidak bercanda?" Maggiana gemetaran.

"Iya. Aku sangat menyukaimu," ucapku sambil memaksakan diri menatap mata Maggiana yang berada di balik kacamata.

"E-E-Eh??? Kenapa? A-aku ini cewek macho, loh. Cowok-cowok pada takut sama aku!" Maggiana masih gemetaran.

"Kamu gak macho Maggiana. Kamu itu cewek cantik yang normal. Makanya, aku sangat menyukaimu." Aku tersenyum. Entah kenapa, sekarang aku jadi lebih berani.

"Oh, be-begitu, ya..." Maggiana menundukan wajahnya yang masih kemerahan.

Kami berdua terdiam sejenak. Aku menarik napas dalam-dalam.

"Maggiana. Maukah kamu jadi pacarku?"

Dia memandang wajahku sebentar, kemudian menunduk lagi. Maggiana masih diam, belum memberi jawaban.

"Kamu gak lesbi, 'kan?"

Tiba-tiba ekspresi Maggiana berubah. Dia menampar wajahku.

*Plakk!!

"ENGGAKLAH!!!" teriak Maggiana. "Akemi ya Akemi. Lesbi ya Lesbi. Aku cewek normal, bukan Lesbian!!!"

Aku meringis kesakitan. Tamparan Maggiana sangat keras. Pipiku sampai memar.

Maggiana lalu cemberut karena kesal.

"Jadi, kamu mau gak jadi pacarku?" tanyaku lagi, sambil memegangi pipiku yang kesakitan.

Maggiana membetulkan kacamata, dan memandang wajahku lagi.

"A-apa boleh buat. Ya, aku mau jadi pacarmu," jawab Maggiana, malu-malu.

"Kamu kok kayak yang terpaksa gitu. Kamu serius mau jadi pacarku?"

Wajah Maggiana semakin kemerahan.

"Te-tentu saja aku serius. Sebenarnya, aku juga sudah lama menyukaimu. Aku cuma merasa malu. Ah, dasar gak peka!"

Gara-gara Maggiana ngomong gitu, aku jadi ikutan salting.

Di siang itu, aku dan Maggiana terdiam cukup lama. Kami berdua masih salting, menunggu salah satu pihak memulai pembicaraan. Meski begitu, kami berdua merasa senang.

"Tapi, rahasiakan dari anak-anak, ya. Aku malu menunjukkan sisi femininku," pinta Maggiana.

"Baiklah. Aku mengerti."

Kami berdua saling memandang, kemudian tersenyum malu-malu.

Di hari itu, secara resmi aku dan Maggiana berpacaran.

Ini adalah rahasia kita bertiga.

Loh, kok bertiga?

Iya, yang ketiganya adalah Shino.

Nächstes Kapitel