Cerita ini sudah ada sebelum saya lahir. Banyak sekali yang menjadi korban setelah bertemu hantu atau bisa dibilang siluman penghuni sungai ini. Saya sempat mengalami bertemu hantu ini dan untung paman saya lebih memahami dan sudah tahu bagaimana jika saya bertemu dirinya.
Sore itu.
Sepulang dari sekolah dasar, saya dan teman-teman biasa melakukan hal-hal yang sekarang sudah jarang sekali dilakukan oleh anak-anak sebaya atau seusia kami dulu yaitu mandi dan berenang di sungai.
Mandi di sungai adalah hal yang kami anggap sangat menyenangkan. Meski setelah itu, kami dimarahi oleh ibu jika ketahuan. Namun kami tidak pernah jera dan selalu mengulanginya.
Suatu hari, ketika kami sedang bersenang-senang di sungai, saya melihat seorang pria dari kejauhan. Pria tersebut menggunakan perahu kecil yang muat untuk dua orang saja. Di atas perahu, ada setumpuk jaring kecil untuk menangkap ikan-ikan di sungai. Ternyata pria itu adalah paman saya.
Paman sengaja membawa perahunya menuju ke sungai melewati muara, karena nanti malam dia akan menangkap udang sungai yang pada saat itu memang sedang musim.
Dengan kayuhan kecil dan riuk gelombang dari perahu tadi, paman melewati kami yang sedang asyik mandi di sungai.
Paman menyapaku, " nanti malam mau ikut menjaring udang?"
Sebenarnya saya tidak berani, karena suasana di sungai pada malam hari begitu mistis. Banyak hal-hal aneh terjadi. Mulai dari sering munculnya penampakan hantu air, terkadang buaya putih tanpa ekor atau wanita yang menangis di salah satu beranda jamban lalu terjun ke sungai.
Saya pun menjawab, " gak ah, Paman. Ngeri. "
Paman berkata, "gak apa-apa.. Nanti kan kalau dapat banyak udang, kamu bisa beli jajan dan mainan.".
Kebetulan, saat itu saya ingin sekali membeli mainan mobil tamiya dan sedang menabung karena tidak berani meminta uang kepada orang tua. Akhirnya, saya menyetujui ajakan paman.
Saya bergegas pulang bersama teman-teman menuju rumah kami masing-masing.
Selepas maghrib, saya pamit sama ibu dan mengutarakan keinginan untuk ikut menjaring udang dengan paman saya. Ibu saya mengizinkan dengan catatan untuk tidak jauh-jauh dari paman saya dan menurut apa kata paman saya..
Akhirnya, saya ke rumah paman yg daritadi sudah menunggu saya. Tanpa mengulur waktu, kami langsung bergegas berangkat sebelum malam semakin larut.
Kami sudah siap di atas perahu dengan lampu petromaks di depan dan sebuah radio kecil supaya suasana tidak tegang dan sedikit ada hiburan. Akhirnya, kami menuju ke hulu sungai.
Tibalah kami di hulu sangai. Sedikit demi sedikit paman saya menghamburkan jaringnya hingga kami terbawa arus secara perlahan ke hilir.
Seusai menghamburkan jaring, kami pun merapat ke sebuah dermaga kecil. Tempat dimana orang-orang selalu membongkar muatan hasil tangkapan dari laut di siang hari. Angin malam terasa menusuk tulang. Pada saat itu, kami hanya ditemani dengan radio kecil yang sedang menyiarkan berita.
Kemudian, kami mendengar suara burung gagak. Kata paman, suara burung gagak hitam adalah pertanda buruk, tapi kami memilih untuk tidak menggubrisnya.
Lalu dari jarak ratusan meter, kami melihat sesosok bayangan putih yg melayang di pinggiran sungai dari satu pohon ke pohon yang lain dan lebih parah lagi bayangan itu mengeluarkan suara ketawa cekikikan yg membuat bulu kuduk berdiri.
Beberapa kali sosok itu mengganggu kami seolah olah dia tahu kami ada disana. Namun, kami tidak pernah menghiraukannya dan sosok itu menghilang.
Setelah itu, kami mendengar suara tawa yang sangat keras. Suara yang begitu berat itu terdengar seperti suara laki-laki. Sekilas terlihat pohon-pohon yang ada di tebing sungai bergoyang dan anehnya pohon itu tampak lebih tinggi dari biasanya. Tak berselang lama pohon itu berhenti bergoyang disusul oleh suara tawa yang berangsur-angsur hilang.
Setelah kami merasa terlalu lama beristirahat, kami pun bergegas untuk mengangkat jaring.
Benar saja, udang-udang kecil dan besar tersangkut disana. Saya merasa gembira.
Tak terasa jaring yang kami angkat semuanya sudah di dalam perahu dan udang-udang tadi juga sudah berada di dalam ember.
Kami pun berniat ingin pulang setelah melihat jam sudah menunjukan hampir pukul setengah 2 malam. Dalam perjalanan pulang, kami dikejutkan oleh cahaya lampu petromaks dari kapal kecil di kejauhan dan samar-samar saya mendengar suara orang seperti memanggil nama paman saya.
Sebut saja nama paman saya Budi ( nama smaran ).
"Budddd...."
Terdengar suara perahu di pukul dengan dayung. Paman saya tidak menjawab.
Saya pun bertanya, " Paman, itu siapa? Dia manggil paman tuh."
Lalu, paman saya menjawab, "jangan dijawab ya. Kita diamin saja. Itu hantu Tudung Bekung."
Tudung itu sejenis topi, seperti topi petani dari anyaman dan bekung tu berarti menutupi wajah. Topi itu sangat besar dan sampai hampir menutupi wajahnya. Kemudian, paman saya mendayung perlahan perahu kami, dengan niat ingin melewati sosok tersebut. Tapi, sosok tersebut terlihat semakin dekat dan perahu sosok itu berjalan mundur.
Paman saya mempercepat dayungnya.
Singkat cerita, tiba-tiba saya berjalan tepat disamping sosok tersebut dan saya bisa melihat dengan jelas bahwa pakaian sosok itu serba hitam. Perahu yang dia gunakan beberapa senti jaraknya dari permukaan air sungai, dalam arti perahu mengambang di atas air karena saya tidak melihat riuk gelombang air yang mengenai perahu tersebut. Seramnya lagi, ternyata sosok tadi hanya berupa tengkorak, terlihat dari tangannya saat memegang dayung.
Otomatis jantung saya berdegup kencang. Paman saya tidak berkata apa-apa dan saya juga hanya bisa diam sambil membaca doa. D isaat lewat tadi, kami juga semat mencium aroma anyir dan busuk.
Tanpa disadari, kami sudah meninggalkan sosok tadi di belakang. Ketika saya berpaling, sosok tadi sudah hilang. Bahkan cahaya lampunya juga tak terlihat menandakan bahwa sosok itu sudah tidak ada lagi.
Akhirnya, kami pulang dan sampai di rumah paman dan saya langsung membersihkan badan dan berganti pakaian. Paman saya masih sibuk dengan udang hasil tangkapan tadi.
Keesokan paginya.
Paman bercerita. Sosok itu memang sudah ada disana dan dia selalu mengganggu orang-orang yang sedang mencari ikan di sungai, khususnya pada malam hari. Sosok itu memang sering memanggil nama orang, namun jagan kita jawab. Karena jika kita menjawabnya, kita akan jatuh sakit dua atau tiga hari kemudian.
Lebih parahnya lagi, dulu ada orang yang tidak tahu. Di saat sosok tersebut memukul-mukul perahu dengan dayungnya, orang ini marah dan berkata kasar meski tidak sempat mendekati sosok tadi dan berselang beberapa hari kemudian, orang ini sakit tanpa sebab. Orang ini merintih kesakitan dan beberapa kali berbicara minta ampun. Hingga suatu hari, orang ini akhirnya meninggal dunia.
Author Facebook: Jos'shuke Uchiha Konoha