webnovel

Lanjutannya 9

Pukul 19.00

Monumen Nasional

Raine memandang puncak Monas yang bersinar keemasan, salah satu ciri khas Jakarta, kata orang kalau belum pernah ke Monas berarti belum ke Jakarta. Dewa menyerahkan sebungkus kacang rebus untuk cemilan mereka. Raine menerimanya sambil tertawa kecil.

"Kenapa?"

Raine yang mulai memakan kacang rebus itu, memandang Dewa lalu kembali melihat keindahan puncak Monas.

"Gak apa-apa. Cuma lucu aja."

"Apanya yang lucu?"

"Mmmmm.." Raine menatap wajah Dewa yang penasaran, Raine pun kembali tersenyum kepada cowok cantik itu. "...Elo.! Hehehehheee.." Raine memakan kacang rebusnya lagi, Dewa mengernyitkan keningnya, masih belum mengerti dengan ucapan Raine.

"Maksud lo?"

Raine berhenti mengunyah kacang rebusnya, memandang Dewa dengan senyum lembut dan mencoba menelan kacang rebus yang sudah terlanjur dikunyahnya itu sebelum menjawab pertanyaan Dewa.

"Iya, sikap lo hari ini, dari dateng kerumah gue dengan senyum aneh, pamit sama ortu gue, bukain pintu mobil, beli kacang rebus, ngajak gue ke monas. Hahahhahah.. Lucu banget klo inget, lo itu gak biasa. Terlalu gak biasa."

Dewa ikut tertawa kecil mendengar penjabaran Raine, melihat binar matanya yang ceria, mendengar tawanya dari dekat, segala hal tentang Raine hari ini akan terekam kuat di fikirannya. Dewa kembali ke mobilnya dan mengambil sesuatu di dasbor mobil.

"Nih."

Dewa menyodorkan buku sketsanya, Raine menaruh kacang rebus yang ditangannya disamping tempat duduknya, diambilnya buku sketsa tersebut dan terkejut mengetahui bahwa buku sketsa tersebut yang pernah dilihatnya di perpustakaan waktu itu.

"Kenapa lo ngasih ini ke gue?"

Raine bertanya dengan sedikit penasaran dengan isi dari buku sketsa tersebut, maka dibukanya lembar demi lembar buku tersebut, dan terpesona memandang komposisi warna serta alur cerita tanpa satu pun kata didalamnya, namun lalu dia tertegun melihat gambar terakhir dari buku sketsa tersebut, peri itu kini lebih dapat dilihat dengan jelas wajah dan tiap ekspresi yang dihasilkan oleh tangan cowok cantik tersebut, ekspresi peri itu lebih lembut dengan bola matanya yang coklat gelap penuh rasa ingin tahu, senyumnya lembut dengan giginya yang putih, kulitnya cantik dan bersih, mahkota bunga matahari terbalut indah dikepalanya yang mungil, rambutnya yang hitam bergelombang dibiarkan bebas diterpa angin.

"Cantik."

Dewa melebarkan senyumnya tanpa memalingkan matanya dari wajah Raine, Raine menatap Dewa untuk bertanya, namun, suara dan senyumnya langsung menghilang saat melihat wajah cowok itu. Wajahnya diterpa cahaya lampu malam itu, angin lembut perlahan menyapa rambut cowok itu yang sudah sedikit panjang.

"Cantik."

"hmm?"

Dewa menaikkan sebelah alisnya. Raine langsung mengerjapkan matanya dan menunjuk-nunjukkan jarinya kearah gambar peri hutan tersebut.

"Cantik.!"

Kata Raine gugup. Dewa tertawa kecil melihat tingkah laku Raine hari ini yang juga tidak biasa.

"Iya cantik."

Senyum Dewa membuat jantung Raine melompat-lompat senang, dan kalimat Dewa tersebut lebih untuk Raine malam ini. Dipandanginya lagi wajah gadis manis itu, yang kini kembali memfokuskan matanya kearah gambar peri itu lagi dan sekarang Raine merasa kaget dengan ekspresi sedih yang juga tersirat di mata peri tersebut.

"Wo.."

"Kenapa?"

"Ekspresinya berubah. Keren"

Dewa hanya tersenyum melihat ekspresi Raine.

"Kok bisa?"

Dewa menaikkan kedua pundaknya, Raine kembali memandangi gambar tersebut, merasa tidak yakin dengan suara yang berbisik dihatinya, dia kembali melihat halaman-halaman sebelumnya lalu kembali lagi kegambar terakhir, kemudian dia menggigit jari tangannya lalu menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?"

Raine menatap Dewa yang tersenyum jenaka kearahnya, lalu kembali melihat gambar sang peri, dan kembali lagi menatap wajah Dewa.

"Lo gak ngegambar diri lo sendiri kan?"

Dewa tidak bisa menahan tawanya mendengar pertanyaan Raine, sedangkan Raine merasa bingung dengan tingkah Dewa.

"Hahaha.. bukan lah.." Dewa mengusap air mata yang keluar dari matanya.

"Kalau begitu, gak mungkin Juni kan."

Dewa kembali tertawa mendengar pernyataan Raine kepadanya.

"Hoi, kok malah ketawa sih?"

Raine cemberut, Dewa mencoba menghentikan tawanya dan meminta maaf kepada gadis manis yang sedang merajuk manja.

"Lo gak pernah ngaca ya?"

"Apa?"

Rasa marah yang ingin Raine luapkan kepada Dewa tertahan karena kembang api pergantian tahun sudah terlihat dilangit kota malam ini. Mata Raine langsung menatap tiap kembang api yang bertebaran dimalam pergantian tahun.

"Huuwaa.. kembang api.."

Disekeliling mereka kini sudah banyak orang yang berkerubung untuk melihat kembang api pergantian tahun, Dewa ikut menatap langit malam yang cerah bertabur warna-warni kembang api berbagai variasi.

"Sejak kapan lo merhatiin gue?"

Dewa melirik gadis manis disampingnya yang masih memandang langit, namun tanpa senyum ceria, wajahnya berubah sendu, Dewa menghela nafas berat, pandangannya kembali menatap langit Jakarta.

"Sejak pindah sekolah, gue langsung ngenalin lo."

Raine menatap Dewa berhati-hati, sekilas bayangan kisah masa lalu berkejaran diotaknya, tapi Raine tidak ingin mengingatnya. Dewa menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan, mereka terdiam.

***

Nächstes Kapitel