Di salah satu lantai tertinggi gedung, Rick, Regan, dan Kobra tertahan di sana. Mereka terpaksa harus bertarung melawan banyak robot yang terbentuk dari barang-barang elektronik di seluruh gedung. Mereka cukup kewalahan menghabisi para robot, bahkan buku-buku tangan Regan mulai luka-luka akibat terlalu sering bertarung menggunakan tangan kosong.
"Sial!" Regan mendesis ketika mengintip luka-luka tangannya dari balik sarung tangan. "Mereka tak ada habisnya. Bahkan di luar juga terlihat sangat banyak."
"Kita terjebak di sini." Rick baru saja bersalto menghindari tebasan salah satu robot, mendarat tepat di samping Regan. "Kobra, sudah berapa jauh si biadab itu pergi?"
Ketika menebas beberapa robot dengan pedang kunai, bagian kulit tubuh Kobra kembali ditumbuhi sisik. "Sudah semakin jauh. Mungkin jejaknya bakal hilang."
"Sialan!" Dengan emosi, Rick menebas dan memukul robot-robot. "Dia tidak boleh lari begitu saja! Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang telah ia perbuat."
"Percuma, Rick! Kita benar-benar dikepung. Seluruh jalan menuju lantai bawah sudah ditutup," kata Regan.
"Ck!"
Di hadapan mereka, baru disadari kalau salah satu robot berukuran besar sudah bersiap membidik mereka dengan beberapa moncong senjata berukuran besar di bagian bahu dan pinggang sang robot. Ketiganya mulai panik karena dari ujung senjata itu terkumpul partikel-partikel cahaya yang siap dilesatkan.
"Itu laser penyerang atau aku mulai berhalusinasi karena lelah?" tanya Rick setengah bengong.
Dengan panik Regan menjawab, "Itu memang laser penyerang! Robot itu akan menembak kita dengan empat Laser Launcher."
"Kau gila?!" teriak Rick menyadarinya.
"Kita tidak bisa lari lagi," kata Kobra sambil matanya melihat ke arah seisi koridor tempat mereka berada. "Laser itu akan menghancurkan satu lantai ini. Tak ada celah bagi kita untuk bersembunyi."
Kumpulan partikel itu lama-kelamaan terkumpul menjadi bola cahaya yang siap diluncurkan. Namun bola itu seketika meredup saat suhu sekitar koridor mulai mendingin. Beberapa robot di depan mereka perlahan membeku di bagian kaki, empat Laser Launcher yang ada pada robot raksasa tadi pun juga ikut membeku sehingga kehilangan fungsinya.
Rick dan kawan-kawannya mulai kebingungan dengan suhu koridor yang mendadak dingin tanpa sebab, bahkan mereka melihat dinding dan jendela-jendela koridor juga ikut beku.
"AC-nya mati, kan?" tanya Rick pada Regan.
"Kalau hidup pun, takkan bisa sedingin ini." Sejenak Regan berpikir, "Kurasa aku mengenali tanda-tanda ini."
Dalam sekejap mata, semua robot di depan mereka terbelah dan meledak oleh satu tebasan putih dari sebuah senjata. Di sana nampak sosok pria berpakaian formal serba putih dengan memegang katana putih melesat melewati ledakan badan-badan robot sampai mendarat tepat di hadapan mereka bertiga.
Kobra dan Rick sama sekali tidak mengenali pria misterius itu, tapi tidak bagi Regan. Hanya saja, Regan merasa sedikit terkejut karena tak menyangka pria itu akan bertarung sampai sebegininya.
"Apa kabar, Sepupu!" sapa riang pria itu sambil memberi hormat pada Regan dengan senyum lebar.
"Fandrel…?" Regan bertanya padanya, "Kau ada di sini?"
Fandrel memanggul katana-nya di bahu. "Yaa…. Rencananya sehabis rapat di anak perusahaan di perbatasan, aku langsung ke sini. Eh, tahunya kantor udah kacau begini."
"Maafkan aku, Fandrel…." Regan menunduk malu mengingat bahwa kejadian ini terjadi akibat kelalaiannya. "Aku tahu siapa yang menyebabkan kekacauan di perusahaan ini, tapi aku tak bisa mengatasinya."
"Akh…~ Masalah ini sudah terjadi bahkan sebelum kau kembali, Reg." Fandrel berbalik membelakangi Regan dengan santai. "Kau juga tidak bisa bertarung dengan maksimal tanpa ini."
Regan tergagap ketika berusaha menangkap sesuatu yang dilempar Fandrel padanya. Regan tak percaya melihat gelang berwarna hitam-biru di tangannya ini. Rupanya, Fandrel memberikan gelang AndroMega milik Regan yang sempat disita Herald.
"AndroMega-ku…? Bagaimana bisa kau mendapatkannya?"
Tanpa menoleh, Fandrel menjawab, "Nyolong. Paman menyimpannya di kamar. Sebelum bertemu denganmu di mansion, aku sudah mengambilnya."
Regan pun terkekeh geli sambil memakai gelang tersebut. "Heh, dasar nakal."
"AW!"
Fandrel mendadak merasakan sakit di telinga kiri, tepat dimana alat bantu pendengarannya diletakan. Pria itu menyentuh telinganya sesaat, melihat ada bercak darah dan serpihan metal di tangan. Dan ketika Fandrel menoleh ke atas, rupanya beberapa robot kembali bermunculan dari sana serta di semua ruangan di sepanjang koridor.
Rupanya, telinga kiri Fandrel berhasil ditembak menggunakan laser hingga luka dan membuat alat pendengarannya hancur. Kini pria itu hampir tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
"Kampret, kenapa harus telinga, sih?!" gumam kesal Fandrel.
"Fandrel, kau tidak apa-apa?" tanya Regan cemas melihat telinga Fandrel tertembak.
"Hah?!"
Regan diam di tempat. Sudah dia duga bahwa sepupunya kembali tuli setelah alatnya rusak.
"Cih! Mereka ada lagi?!" teriak Rick makin kesal. Saking kesalnya, rasanya Rick ingin sekali menggigiti tembok terdekat.
Tipikal Rick sekali….
"Tenang saja, kalian pergilah," perintah Fandrel. "Aku masih baik-baik saja. Para robot akan segera kutangani di sini."
"Tapi, bagaimana caranya kami bisa keluar jika jalannya kembali ditutup oleh para robot?" tanya Kobra pada Fandrel.
"Percuma saja kau bicara, Kobra. Dia budeg," ucap Regan datar.
"Oh?"
"Apa, Gudeg?! Nanti saja mentraktirku makan gudeg, abis masalah ini kelar!" teriak Fandrel tak beralasan sambil menepuk-nepuk sebelah telinganya karena cuma bisa mendengar sedikit.
"Budeg, Setan!!!" teriak Regan emosi.
Di sisi lain, Rick beberapa kali menoleh ke bawah jendela koridor. Lantai tempat mereka berada jauh di ketinggian, cukuplah untuk meremukan tubuh orang jika sampai jatuh.
"Reg, kita ada di lantai berapa?"
"Lantai 157."
"LAMA!"
Tiba-tiba Rick menjatuhkan diri lewat jendela yang kacanya ia pecahkan begitu saja. Regan dan Kobra segera menoleh ke bawah, melihat Rick sengaja menjatuhkan dirinya di ketinggian.
"Wow! Temanmu itu nekad juga, Regan," komentar Fandrel saat ikut melihat lewat jendela juga.
Regan enggan menanggapi karena Fandrel tuli. Kalau ditanggapi, percakapan mereka bakal semakin panjang lebar.
Saat Rick terjun menjatuhkan dirinya, ia berusaha memposisikan kedua kakinya di sisi gedung yang lumayan rata, sehingga Rick jatuh dengan posisi meluncur. Menurutnya, tindakan itu cukup untuk meringankan benturan saat ia mendarat nanti.
Di saat itu pula, Rick dikejutkan dengan kemunculan robot-robot merah menyerupai drone sebesar bantal berterbangan ke arahnya. Saat robot-robot itu semakin dekat, Rick menyadari ada sesuatu yang janggal pada pegangan tombaknya.
Tombak di tangan Rick tiba-tiba saja mengalami glitch. Ini masalah!
Sesuatu yang tak Rick duga terjadi pada Tombak Tyrant-X. Tombak merah itu tiba-tiba saja mengalami glitch ketika didekati oleh belasan robot-robot bulat.
"Rick, jangan gunakan AndroMega! Mereka robot Malware!" teriak Regan dari lantai atas.
Beruntung Rick masih bisa mendengar teriakan Regan. Dia mendecih, melenyapkan tombaknya menjadi serpihan hologram.
"Dasar robot-robot menjengkelkan…!"
Jas yang masih dikenakan Rick dilepas. Dalam keadaan meluncur ke bawah lewat sisi gedung begini, Rick bisa melihat di sekitarnya sudah di kelilingi oleh robot-robot Malware yang setia mengikutinya sambil mengarahkan gelombang merah aneh agar bisa melumpuhkan sistem AndroMega pada gelang Rick.
"Kalian tidak boleh merusak AndroMega-ku!!!"
Kembali bertindak nekat, Rick menangkap beberapa robot Malware menggunakan jasnya, ia lemparkan dengan keras ke arah robot-robot Malware lainnya hingga meledak di udara.
Robot-robot Malware yang berada di bawah juga mulai terbang mendatangi Rick. Segera pria pirang itu berteriak kesal sambil menendang-nendang mereka semua hingga hancur membentur permukaan aspal.
Di lantai atas, Regan, Kobra, dan Fandrel dibuat ngeri dengan kenekatan Rick menghajar para robot Malware secara asal-asalan.
"Greget juga tuh anak," komentar Regan.
"Kurasa yang dilakukan Rick patut dicoba."
"Eh? Kobra, tunggu!"
Belum sempat Regan memperingatkan, pria Emo itu sudah ikut terjun dengan posisi seperti Rick. Regan pun hanya mendesah pasrah menanggapi perilaku dua temannya. Sesaat Regan memberi isyarat pada Fandrel karena pria itu masih belum bisa mendengar dengan baik apa yang ia katakan, dan ikut terjun menyusul Rick dan Kobra.
Fandrel yang melihatnya menepuk kening. "Hadeuh~ Begini ya kelakuan teman-teman satu tim Regan…?"
Di sisi kanan-kiri dan belakang Fandrel, sudah menghadang puluhan robot yang siap menyerangnya kapan saja dengan berbagai macam senjata. Fandrel berputar menghadap mereka, nampak sama sekali tak terintimidasi.
"Kurasa cuma aku dan kalian semua…." Fandrel menaikan bahu sesaat. "Tak apa."
Perlahan Fandrel menggosok permukaan pedang katana putihnya dari gagang sampai ujung katana hingga sirkuit-sirkuit elektrik pada katana mulai menyala. Fandrel menatap tajam di balik permukaan pedang katana, menyeringai seakan-akan ia akan menikmati sebuah pesta yang sudah lama tidak pernah ia rasakan.
"Aku tak masalah tidak bisa mendengar kalian. Penglihatan dan perabaku sudah cukup tajam untuk mencincang kalian."
~*~*~*~