webnovel

Kakak Gugur

Aku teringat pelukannya yang hangat

Suaranya yang lembut

Ia senantiasa berbisik, "Aku akan melindungimu."

Aku menjawab, "Aku yang akan melindungimu."

Ia tertawa, sehangat musim panas.

Aku tidak tahu bahwa aku tak sempat memenuhi janjiku itu.

"I-ia… yang paling berani… di antara kami semua… Ketika Jendral dikepung… Ia sendiri meminta ditugaskan di garis paling belakang… Kami dikepung, tapi kami terus bertempur… Ketika kami dengar Jendral gugur, kami melarikan diri… Hampir saja kami tidak lolos… Kami pikir kami akan selamat… Kami mencapai tembok Turil Andin…" Ogil bercerita dengan susah payah. Ia tidak mudah terpengaruh emosi, tapi kali ini wajah Ogil dibasahi air mata.

"Ia memimpin kami dengan berani… terus melawan… kepungan itu, tanpa istirahat, meski luka-luka… Musuh terlalu kuat… banyak… Kami tidak berdaya… Sebuah panah. Demi Divara, a-aku tidak melihatnya… Ia mendorongku ke samping… Ketika aku tahu, ia sudah jatuh dari tembok… Ia selamatkan nyawaku, Pak…" Ogil akhirnya menangis dan berlutut di depan mereka semua, "Maafkan aku… Maafkan aku, Pak…"

Likuun tidak tahu harus berbuat apa selama beberapa saat. Kemudian ia menepuk-nepuk bahu prajurit itu, dan memeluknya.

Wajah ayahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun. Tangannya gemetar dalam dukanya, "Ia mati demikian gagah dan mulia untuk melindungi kita semua. Tidak ada yang harus dimaafkan, nak Ogil."

Chiru'un berbisik, wajahnya luar biasa tenang, "Membawakan kami rambut dan barang miliknya… pastilah begitu berat untukmu. Aku berterima kasih…"

Ogil masih terus berlutut dengan kepala di lantai. Ia terus menangis, memohon maaf. Tapi terlihat jelas ia tidak memaafkan dirinya sendiri.

"Bangun, nak Ogil," Suara Chiru'un bagaikan sepasang panah besi, membuat Ogil tersentak. Ia menaikkan wajahnya, dan Chiru'un sudah memeluknya dengan lembut. Ia kemudian menatap berkeliling, wajahnya begitu pucat, tapi kekuatan seakan memancar dari dirinya begitu kuat, "Miar… bawa nak Ogil ke kamar kita dan biarkan istirahat, ya? Fyure maukah kau memberitahu keluarga Kurek?"

Miar bergerak maju dengan wajah berduka, namun geraknya yang anggun seakan mengendalikan Ogil. Ia membuat prajurit itu mau ikut dengannya bagaikan domba mengikuti gembalanya. Fyure telah membuka pintu dan keluar. Wander melihat mata abangnya merah, basah oleh air mata.

Keluarga mereka intim dengan penderitaan dan cemooh, duka dan bilur. Ia tak mengira bahwa semuanya begitu tabah, kecuali dirinya.

Ia merasa bagaikan pohon kecil yang diterjang badai, tercerabut dan teruntal ke udara. Kakinya ada tapi serasa tak menyentuh bumi. Matanya melihat tapi hanya kegelapan yang ada.

Wander masih duduk di sana, beku dicengkam kegelapan hatinya.

Mendadak ia merasakan seseorang menyentuh tangannya, segera ia sadar saat melihat Nalia mengelus pipinya.

Ia membuat tanda.

[Wander baik-baik?]

Ibunya juga memegang tangannya dengan lembut, menatapnya tanpa berkata-kata.

Wander melihat tunangan kakaknya dan sahabat baiknya. Lalu Ibunya yang demikian kuat meski begitu sedih. Nalia yang masih mengkhawatirkannya meskipun ia telah kehilangan orang yang paling penting dalam hidupnya. Semua terasa begitu menyesakkan, saat ia meraskaan cinta dan perhatian mereka kepadanya.

Ia melepaskan diri dari sentuhan ibunya, perasaannya begitu jijik dan benci dengan kenyataan. Ia bangkit, keluar dari rumahnya secepatnya dan menghilang. Nalia ingin mengejar tapi Chiru'un sudah menahan dengan memeluknya.

"Jangan, Putriku. Ia akan kembali nanti... demi Kakaknya. Sekarang, biarkan ia berduka. Seperti yang harus kita lakukan sekarang untuk Kokru…," Ketika Chiru'un mengatakan itu, Nalia seperti terpukul. Ia tertegun, sebelum akhirnya tangisnya meledak. Ia menangis meraung-raung di dada Chiru'un, sebelum semua anggota keluarga ikut berduka bersamanya.

Wander tidak tahu lagi apa yang ia lakukan. Ia membiarkan kakinya menyeretnya. Ia merasa begitu hampa, ingin rasanya ia menangis meraung-raung…. Tapi tidak ada air mata di matanya, bahkan ketika ia begitu menginginkannya. Ia merasa… kosong, kecuali hati yang beku dan kegelapan yang begitu hebat dari kehilangan. Ia mencoba sekuatnya berpikir, tapi ia tidak bisa.

Yang ia tahu bahwa Kakaknya telah pergi selamanya. Seperti yang Kucing Tua katakan…

Seperti pertanda buruk dalam mimpi…

Mimpi yang mana?

Sesal! Penyesalan mahakental!

Ia seharusnya ada di sana!

Ia seharusnya ikut berperang, melindungi Kakaknya!

Bisikan waras bergema,

Tetapi engkau tidak mungkin tahu.

Siapa nyana Peperangan ini datang demikian cepat.

Bukankah Kakak sendiri melarangmu mengikuti jejaknya?

Ia melindungi impianmu.

Persetan impian!

Kakak gugur!

Aku...

Sebuah suara sengau membangunkannya, "Kaw sepeti owang mati, nak? Ada 'pa?!"

Ia sudah berada di depan sel pencuri itu! Bagaimana ia bisa sampai di sana? Ia ingin berpikir demikian, tapi mendadak gelombang kemarahan dan kebencian yang begitu hebat membakar darahnya saat ia menatap wajah Kucing Tua yang menguap lebar-lebar.

Ia tidak tahu bagaimana, tapi mendadak teralis besi itu hilang. Ia masuk ke dalam sel dan mendadak Kucing Tua menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya. Ia berteriak, "T-tolong! Penjaga! TOLONG! HEGHH!"

Tangan Wander sudah mencengkeram kerah baju pencuri itu dan mengangkatnya sampai menghantam tembok! Ia mendengar suara asing dan bengis dari mulutnya, penuh nafsu membunuh, "Kau katakan siapa yang menyuruhmu! SEKARANG BANGSAT!"

Ia mendengar langkah kaki mendekati sel, tapi ia tidak peduli.

Kucing Tua betapa mengejutkannya begutu tenang, "Kenapa dengan kaw, bocah? Kenapa mawah?!"

"Sulran mengirimmu bukan?? JAWAB!"

Kucing Tua ganda tertawa, "'Ku tak kan jawab ke orang kasar pembunuh kaya kaw! Matikan saja 'ku!"

Dinding penjara bergetar ketika tinju Wander melesak ke dalam dinding penjara begitu dalam, hanya satu senti dari telinga Kucing Tua.

"'Ku ngerti sekawang… suwara-suwara di luwar… Kakakmu mati? Kaw pikir bunuh aku bisa ubah segalanya, kau bodoh?" Kucing Tua tertawa, meski dalam hatinya ia terkencing-kencing ketakutan.

Mata Wander menyala bagaikan api neraka.

Kucing Tua tahu menunjukkan kelembekan atau kelemahan hanya akan membunuhnya, jadi ia berbalik marah, dan Wander menatapnya penuh dengan dendam kesumat, "Ayo maju! Bunuh saja kalau mau! Bunuh owang tak berdosa! Kaw akan sama dengan meweka yang bunuh Kakakmu! Sama dan sehati!"

"APA YANG KAU TAHU HAH?! APA YANG KAU TAHU SOAL PEMBUNUH-PEMBUNUH ITU?!"

"Che… Kaw sudah tak wawas, Wander! "ku tak pewnah bunuh Kakakmu! Pwajuwit Pangeran Satu bunuh Kakakmu! Kaw mehrer (gila)!"

"Kau bekerja untuk Pangeran Pertama…"

"'Kuakui itu… Tapi kaw yang goblok! Kakakmu bawu mati dan sekarang lihat kaw sendiri! Kaw binatang buas gila dan buta! Mana senyummu yang biasa, nak? Apa Guwumu ajarkan kaw untuk menyiksa owang lemah sepeti ini?!"

Kata-kata yang dilontarkannya itu sebenarnya karena panik, sekedar meluapkan emosi dan rasa tertekannya. Kucing Tua langsung menyesalinya begitu dilontarkan, karena ia terlalu berani menyinggung pemuda itu, tapi entah kenapa, genggaman Wander terlepas dan ia merosot di lantai jerami itu.

Wander seperti anak yang hilang, ia melangkah mundur, "Aku menyiksa… Kakak… ia akan…," lalu ia berbalik dan melihat apa yang telah ia lakukan. Teralis yang tadinya ada sudah roboh di lantai berkeping-keping, dan setidaknya ada selusin prajurit dan pegawai penjara yang membeku penuh takut, menatapnya dari luar sel.

Kakakku selalu membelaku dan menyayangiku…

Aku tak pernah ingin melukai siapapun…

Guru…

Air matanya berjatuhan di lantai penjara, ketika Wander akhirnya bisa menangis.

Menangis menggerung-gerung dalam duka dan sesal tak berkepanjangan.

Marah pada dirinya yang tenggelam terseret kegelapan hati, Mehrawti, tadi, hampir saja melanggar ikrarnya sendiri, melanggar amanah Kakaknya: Melindungi.

Apa yang telah ia lakukan?

Apa yang hampir ia lakukan?

Salah satu sahabat Wander bernama Reijan, seorang pegawai kantor Gubernur, dengan canggung mendekati Wander dan dengan lembut bertanya, "Wander… Aku… Bisakah aku mengantarmu pulang? Biarkan yang lain mengurus ini semua, oke?"

Wander hanya mengangguk. Membiarkan dirinya dibawa pergi, dan sebelum ia pergi, ia menatap Kucing Tua dan berkata, "Terima kasih sudah memberitahuku… Maaf… menyakitimu…"

Chiru'un tidak mengatakan apa pun ketika ia melihat Wander dikawal Reijan dan Inspektur Polisi itu sampai ke depan pintu. Temannya itu begitu baik dan pengertian. Hari ini sudah terasa bagaikan mimpi buruk baginya dan ia ajaibnya ia memiliki saraf seperti baja. Ia berkata dengan tulus, "Seluruh kota sedang kacau, Nyonya. Jadi normal sekali kita kadang lepas kendali. Kita akan selesaikan masalah ini di lain hari. Maafkan atas kehilanganmu."

"Semua orang tengah kehilangan saat ini, Nak Reijan," jawab Chiru'un sambil menunduk hormat.

"Kak Reijan… Maafkan aku…"

"Hey! Jangan kuatir. Cukup hati-hati saja… jaga emosimu… Kau ini terlalu kuat, Wander. Untung saja tidak terjadi apa-apa."

Wander tersenyum suram. Ia begitu benci pada dirinya sekarang.

Reijan berkata, "Bagaimanapun juga, kalian semua harus siap mengungsi jika situasi makin buruk. Semua tentara yang kembali mengatakan hal yang sama. Mereka beruntung dilepas Sulran, tapi semua mengatakan bahwa Pangeran Pertama telah memerintahkan untuk menghancurkan kota ini berikut semua penduduknya, terutama dari keturunan Suku Selatan… Maaf kalau menyinggungmu, Nyonya."

Wander kaget mendengarnya, dan betapa tenang Ibunya itu, "Sersan Ogil baru saja memberitahukan ini. Terima kasih sudah membawa anakku pulang, Tuan Reijan."

"Tolong titip salamku pada Asyu, Nyonya." Reijan membungkuk lalu tersenyum agak malu pada cetusan spontannya sendiri sebelum pergi.

Ibunya mencoba bercanda, "Kau sungguh masih beruntung punya banyak calon kakak ipar…" sambil melirik pula Ogil yang masih ada di dalam rumah.

Wander mencoba tersenyum, tapi bibirnya terasa berat bagaikan gunung.

"Mari kita berdoa sekarang, Wuan… Berdoa agar kegilaan ini cepat berakhir. Berdoa untuk kedamaian Kakakmu," Chiru'un berbisik sambil membawa anaknya itu ke dalam.

Wander merasa tangan yang panas dari ibunya di bahunya. Ia sadar bahwa ibunya juga memaksakan dirinya, ia masih tidak sehat… Tapi beliau begitu bijak, meski hanya Divara yang tahu betapa sedih hatinya.

Ia diam-diam bersumpah ia tidak akan pernah jatuh lagi dalam emosinya dan kebodohannya.

Ketika yang disayangi meninggal, kemarahan dan sesal apa pun tak akan bisa mengembalikan barang sehelai rambutnya pun, alih-alih hanya membuat mendiang tidak ikhlas meninggalkan kita.

Menjaga amanah luhur mendiang adalah cara terbaik untuk mengenangnya, namun hanya sebagian orang, setelah melakukan kesalahan yang tak dapat diputar kembali, yang memahami hal ini sedari awal.

Jadeteacupcreators' thoughts
Nächstes Kapitel