Malam berlalu dengan begitu sepi dan menyedihkan. Pagi berikutnya, Likuun tidak ikut sarapan. Ia terlalu marah untuk bahkan menatap wajah anak bungsunya.
Wander, dengan tekad membaja, menolak makan, meski tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melihatnya atau peduli. Ia terus duduk di kursi meja makan, meninggalkannya hanya ketika ia ke kamar kecil. Ia menolak keras bantuan apa pun atau bahkan bicara, hanya karena bujukan Ibu dan kakaknya ia baru mau minum semangkuk susu.
Ibunya menyuruh saudara-saudaranya yang lain agar tidak mengganggunya.
Wander mulai tertidur selepas tengah hari, akan tetapi tidurnya tidak nyenyak. Perutnya mulai keroncongan, berbunyi riuh, dan tubuhnya pegal dan kaku karena ia hanya duduk di bangku keras. Ketika ia terbangun, hari sudah sore, dan mulutnya terasa asam dan pahit tidak keruan. Semangkuk susu telah tersedia lagi di hadapannya, tapi ia menahan keinginannya dengan gigih.
Ketika makan malam tiba, ayahnya awalnya diam saja.
Ia cukup heran dan kagum, tapi segera murka ketika melihat bahwa Wander menolak makan sama sekali.
"Hmpf! Kau pasti sudah makan sebelumnya, kau ingin mengesalkanku, hah?" Ia akhirnya berkata di akhir hidangan.
Wander hanya menatapnya tanpa bersuara, wajahnya pucat dibawah kerlip lampu minyak. Ia meneruskan protesnya dalam diam, ketika Likuun meninggalkan meja hidangan dengan kesal.
"Istriku… Aku tahu kamu mendukungnya, tapi itu hanya akan membuatnya makin manja dan liar," Likuun memprotes saat berduaan saja dengan istrinya.
"Siapa bilang aku mendukungnya?"
"Kamu pasti yang memberinya ide macam-macam!"
"Aku tidak melakukannya."
"Lalu kenapa kau tidak bilang apa-apa? Kenapa kau tidak hentikan anak itu?"
"Kenapa harus kuhentikan? Itu keinginannya sendiri. Lagipula, perlu waktu belasan hari sampai orang bisa mati tanpa makan. Ini baru hari pertama."
Dengan nada menggantung sedingin es itu, Chiru'un membalikkan badannya dan segera tidur, mengacuhkan suaminya yang tertegun luar biasa. Tapi seperti watak anaknya, Likuun juga berkeras, meyakinkan diri bahwa istrinya hanya menggertaknya.
Dengan selimut menutupi seluruh bagian tubuh yang bisa ditutup, Wander tertidur di atas kursi. Ia merasa bagaikan menyatu dengan kursi itu, juga dengan suara gemuruh di dalam perutnya.
Perjuangan tanpa suara itu telah mencapai hari ketiga, ketika Likuun akhirnya melihat ada sesuatu yang sangat tidak biasa pada anaknya itu.
Tangan Wander gemetaran ketika ia mengangkat cangkirnya untuk minum. Tatapannya hampa dan tidak terpusat, wajahnya menegang seperti sedang menahan sakit berat, yang ia coba sembunyikan. Wajahnya pucat, lemas, dan kurus, lengkap dengan kantong hitam di bawah matanya. Bibirnya pecah-pecah dan membiru.
Ibunya hanya mengumumkan singkat, "Ia bahkan tidak lagi menyentuh isi cangkirnya sejak kemarin."
Likuun memelototi Wander. Anaknya balas menatap dengan lemah. Likuun lalu menatap ke Kokru, yang juga mogok makan. Tidak seperti Wander, wajah Kokru tampak gelap dan muram, ia hanya menatap ayahnya tanpa suara, penuh permohonan.
Merasa begitu muak, marah, dan tidak berdaya, Likuun meninggalkan meja makan.
Ketika Chiru'un melihat suaminya duduk di dalam kamar dengan wajah ditutupi kedua bekah tangannya, ia perlahan mendekati dan memeluknya dengan lembut. Likuun tetap tidak bergerak atau bersuara. Lama waktu berlalu di antara mereka, sampai ia mendadak bertanya, "Ia tidak…"
"Ia tidak makan apa pun. Ia masih minum susu dua hari yang lalu."
"…. Kenapa kau tidak menghentikannya? Sebagai ibunya..."
"Ketika aku melihatnya seperti itu… Aku tidak bisa tidak mengingat betapa serupanya kau dengan Wuan dulu. Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan sifat teguh dan keras kepala yang dahulu membuat kita bisa bersama?" Ia menghela napas panjang.
Wajah Likuun memerah, sebelum bergumam bingung, "Mengapa ia melakukan hal ini?"
Chiru'un tersenyum. Akhirnya, Likuun dipaksa untuk mau mendengarkan.
"Karena ia tidak bisa mengatakan padamu alasannya. Ia hanya bisa berjuang begini. Ini satu-satunya cara yang bisa ia pikirkan. Ia benar-benar ingin menjadi kuat."
"Dan…. Kau juga tidak akan memberitahuku apa yang terjadi?" Ia mendesah meski tahu betapa keras kepalanya istrinya kalau sudah menyangkut anak mereka. Ia tahu betul, karena ia pun keras kepala.
"Aku menghargai tekad anakku. Ia terlalu sayang pada ayahnya untuk bisa mengatakan hal ini. Ia percaya bahwa ia bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, tapi pertama-tama ia harus mendapatkan restumu. Akan tetapi, selama kau tidak mempercayainya, ia tidak punya jalan lain kecuali… menunjukkan tekadnya. Anak itu sungguh polos."
Likuun berbisik, "... dan cerdas. Ia tidak akan melakukan hal ini tanpa alasan.
Chiru'un lalu berkata, "Likuun, ingatkan kamu akan kisah anak yang menemukan koin emas di sungai?"
Likuun menatap istrinya dalam-dalam sebelum mengangguk. Teguran istrinya kadang datang dalam bentuk kisah. "Anak itu bijaksana karena membuang koin emas itu. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menyimpannya sendiri. Bagaimana kalau ia sampai bertemu dengan bandit atau orang jahat? Tentu ia akan celaka. Demikian juga petani itu, ia membeli yang ia butuhkan dan bergembira dengannya. Namun saudagar itu bisa terkena bencana jika tidak bijaksana dalam mencari harta terpendam, apalagi jika diincar raja atau panglima. Sesuatu hanya benar-benar berharga jika kita memiliki kebijaksanaan dan kekuatan untuk menciptakan nilai darinya."
Ini adalah kisah kesukaan Likuun sejak kecil, inilah kisah yang membuatnya bertekad belajar sekeras mungkin agar memperoleh pengetahuan. Pengetahuanlah yang menjadi kekuatan dalam hidup yang sulit ini, pikirnya. Namun apa yang mengenai hal yang belum pernah dibahas dalam kisah itu bergema dalam hatinya.
Lama berlalu, sebelum Chiru'un mendesah dan melanjutkan, "Tanpa kekuatan untuk menjaganya, semua perolehan hanya akan menjadi bencana. Wander pun sama, berikanlah ia kesempatan untuk menjadi kuat, dengan cara yang ia inginkan, untuk menjaga dirinya."
Likuun mengangguk, sebelum menggeleng pilu, "Sudah terlambat! Bahkan jika pun aku mau… Aku takkan bisa menemukan guru lainnya untuk Wuan! Namanya pasti sudah masuk daftar hitam di semua perguruan…."
"Tapi kamu bahkan belum mencobanya! Banyak sekali perguruan Rijeen di kota ini! Tentu ada satu yang mau menerima Wuan."
"Kalau begitu kenapa aku harus melakukan hal yang memalukan itu! Beritahu aku, Chiren!"
Chiru'un terdiam beberapa lama. Lalu ia perlahan mengungkapkan segalanya dengan lembut dan tenang hingga Likuun terpana. Bagaimana dan mengapa Wander disiksa, menjadi korban fitnah, dan bagaimana Likuun malah mempercayai orang-orang lain bukannya anaknya sendiri. Itulah penyebab kenapa Wander tidak akan mengatakan alasannya pada ayahnya. Ia ingin melindungi ayahnya. Istrinya menutup ceritanya, "... karena kau berutang sebanyak itu kepadanya."
Likuun merasa bagaikan petir baru mendarat di batang hidungnya. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya… sekarang segalanya mendadak begitu jelas baginya.
"Biarkan aku sendiri dulu, Chiren…. Aku merasa begitu tidak berharga sekarang," Ia mengeluh pada istrinya.
Chiru'un tidak meninggalkannya sama sekali, "Ini bukan salahmu. Kami semua menyayangimu, Likuun. Tanpamu, di mana kita bisa hidup dengan kepala tegak, tanpa harus menipu, menyakiti, atau membunuh?"
Umari'l Waya - Cerita Tambahan
Ia berharap rasa sakitnya yang menerpanya hanya seperti dua hari yang lalu. Tidak, seperti kemarin pun sudah cukup. Saat itu, perutnya hanya mati rasa. Tidak perih. Kaku tapi tidak perih. Tapi sekarang, ia merasa perutnya bagaikan ditusuk ribuan jarum panas dan dingin.
Keringat dinginnya bercucuran melintasi wajahnya meski tubuhnya ditutup selimut. Ia tidak bisa berhenti menggigil, dan menginginkan makan. Dalam khayalannya yang sudah lemah, ia melihat dirinya duduk di hadapan begitu banyak hidangan penuh berisi roti, selai, buah-buahan, bahkan seekor ayam utuh penuh menari-nari di hadapannya.
Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir khayalan demi khayalan. Tapi ia tidak bisa menghentikan rasa sakit yang menusuk-nusuk dan kelemahan tubuhnya yang terus membuatnya terguncang-guncang. Ia merasa bagaikan kembali ke masa-masa kecilnya yang penuh derita.
Mendadak ia bisa mencium bau sup yang kental dan hangat. Sup bawang dan kaldu yang begitu menggiurkan… Air liurnya terbit dan menetes tanpa bisa ia kendalikan. Sampai ia melihat Ayahnya yang membawa sup itu! Wander berjuang keras untuk bertahan. Rasanya bagaikan hidup dan mati sulitnya untuk tidak menyambar mangkuk sup itu.
"Makanlah," Likuun menaruh mangkuk sup itu di hadapannya.
Ia menggelengkan kepalanya.
Likuun duduk di sisinya. Mendadak ia mengelus rambut Wander, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya.
"Baiklah. Aku mengerti. Aku berjanji akan mencarikanmu seorang Guru."
Wander hanya menatap Likuun, sebelum ia menggeleng kembali.
"Apa lagi yang kau mau?" Likuun berusaha menahan sabar.
"A-aku… juga ingin pergi, bersama-sama… Memilih guru…"
Likuun menahan emosinya dengan segala dayanya. Ia mengelah napas sangat panjang, tiga kali, sebelum ia akhirnya mengabulkan juga.
"Baik. Aku janji. Sekarang, maukah kau makan? Aku tidak bisa membawamu kalau kau sakit…"
Wander sudah menyerbu supnya seperti serigaa kelaparan.
"Makan pelan-pelan. Masih ada banyak," Wander hanya mengangguk mendengar kata-kata ayahnya.
Ketika ia selesai dengan mangkuknya, Chiru'un sudah muncul dengan sebuah keranjang dan mangkuk baru berisi hidangan lunak dan ringan.
"Gafan vita veegi?" Wander bertanya dengan mulut penuh dengan remahan roti.
Chiru'un menjawabnya, "Bagaimana kalau dua hari dari sekarang, sayang? Kamu bisa mengambil cuti, kan? Lagipula, itu adalah hari baik sesuai di penanggalan."
Likuun setuju dengan tanggal itu, dan terhanyut gelombang perasaan Wander pun menangis, memeluk ayahnya, "Maaf Yah… Maaf…."
Likuun mendesah, "Maafkan juga Ayahmu yang keras kepala ini, Nak."
Berteman cahaya lilin
Kerasnya meja
Dinginnya malam
Hangatnya selimut
Aku bersikeras menunggu