webnovel

No Foto, Hoax

(Lagi pacaran, jangan ganggu!) seseorang menulis itu di grup, aku tak tahu siapa karena aku menyimpan nomornya.

Aku segera menatap ke arah dangau saat menyadari kalau satu-satunya nomor telpon yang tidak kusimpan adalah milik Ali. Aku melihatnya tengah tersenyum menatap ponselnya. Aku terkejut dengan keisengan Ali saat membaca kalimat yang ditulisnya di grup karena aku yakin hal itu pasti akan menimbulkan kehebohan.

(Gak usah gosip deh, Al! Mana mungkin Zie mau sama kamu, yang ada kamu pasti lagi bully dia!) komentar Ria tak lama setelah Ali memposting kata-kata yang bisa menimbulkan bias itu..

Ali menanggapi komentar Ria dengan emoticon tertawa.

(Iya, aku gak percaya Zie mau pacaran sama kamu. Dia kan tipe cewek yang setia kecuali kamu bisa nunjukin fotonya) tulis Atikah.

(Betul! Gak ada foto berarti hoax,) komentar Seri menanggapi Ali.

(Iyes, no foto=hoax,) Ria menimpali.

Airin mengomentari postingan Ali dengan emoji kaget, jelas dia tak bisa menerima kalau berita itu benar karena dia sudah lama berharap menjadi pacar Ali, sayangnya Ali hanya menganggapnya tak lebih dari teman biasa.

Ali memang selalu ramah dengan semua orang terutama dengan para gadis kecuali dengan aku tentunya. Keramahan dan sikapnya yang suka perhatian seringkali membuat para gadis salah mengartikan sikapnya.

(Ayo mana fotonya?)

(Fotonya, Al!)

Meski sudah menyangka kalau kalimat yang Ali tulis akan menimbulkan kehebohan, aku tak menyangka anggota grup akan segera menanggapi keisengan Ali. Berbagai komentar kepo memenuhi percakapan di grup, mereka terutama meminta Ali menunjukkan foto kebersamaan kami.

Aku membaca setiap komentar dengan perasaan berdebar, aku takut Ali akan mengirimkan foto-foto kami yang terlihat sangat mesra tadi. Aku takut kalau ada yang mengirimkan foto-foto itu pada Harsya dan menimbulkan kesalahpahaman di antara kami.

(Zie yang ngambil fotonya tadi, pakai ponsel dia) tulis Ali.

(Zie..)

Aku mengerutkan kening membaca kalimat terakhir yang ditulis Ali dengan men-tag nomorku yang membuat anggota grup yang lain memanggilku. Aku masih berdiri di sebelah sepeda motor saat melihat Ali turun dari dangau. Tiba-tiba aku merasa gugup saat melihatnya berjalan mendekat ke arahku.

Sebuah ide meluncur begitu saja di benakku. Aku segera memilih salah satu foto yang yang ada di galeri dan mengirim sebuah foto Ali yang lagi sholat dengan menyertakan keterangan ( Iya, lagi pacaran sama Tuhannya)

Sontak foto yang aku kirim membuat obrolan di grup makin ramai. Mereka memprotes foto yang aku kirimkan dengan emoji tertawa lebar.

(Ih, gak seru, kirain Ali sama Zie!)

(😃😃😃)

(Apa kubilang? Gak mungkinlah Zie mau Ali,)

(Yah, siapa tahu kalau dibalik sikap membenci mereka selama ini ternyata tumbuh juga perasaan cinta. Lihat saja tadi Ali mau duduk di sebelah Zie padahal biasanya dia selalu menjaga jarak sejauh mungkin, hehehe) tulis Atikah.

(Gak usah gosip, aku ada di grup) balasku yang hanya ditanggapi emoticon ketawa guling-guling oleh Atikah.

Masih banyak komentar lainnya yang membuatku tersenyum-senyum hingga tak menyadari Ali sudah berada di dekatku.

"Zie..." panggil Ali membuatku kaget dan memalingkan wajah ke arahnya. Ali tersenyum, jarak kami cukup dekat sehingga membuatku merasa sesak.

Detik berikutnya aku baru menyadari kalau Ali baru saja mengambil foto kedekatan kami tadi sehingga aku berusaha merebut ponselnya untuk menghapus foto- foto tadi. Ali menjauhkan ponselnya dariku sambil terus tertawa. Aku bergerak-gerak di sekitar Ali untuk mendapatkan ponsel itu tapi dia bisa menjauhkan ponselnya dariku dengan mengangkat tinggi-tinggi ponselnya hingga aku menyerah. Akhirnya hanya berdiri diam dengan wajah cemberut dengan nafas sedikit ngos-ngosan.

"Mau pulang atau mau tetap di sini?" tanya Ali sambil menaiki ke atas motor dan menghidupkan mesinnya.

Meski aku merasa jengkel, aku tetap naik di belakangnya. Tentunya aku tidak mau ditinggal di sini sendiri dan harus berjalan kaki sampai di rumah Mak Ijah. Lagipula aku belum tahu jalannya, bisa-bisa aku nyasar

Ali melajukan motornya dengan cepat, kami tak saling berbicara sepanjang sisa perjalanan. Kami akhirnya sampai di halaman rumah Mak Ijah sepuluh menit kemudian.

Lucky, Rendi, Ria dan Airin yang sedang berada di teras heran melihat kami pulang berboncengan.

"Motor siapa, Al?" tanya Rendi dan Lucky mendekat.

"Dipinjami salah satu penduduk yang kami data tadi." jawab Ali sambil turun dari motor, aku mengikutinya.

" Wuih, baik banget!" seru Rendi, "Aku tadi jalan sampai pegal ga ada yang nawarin tumpangan, hehehe,"

Ali hanya terkekeh, aku berjalan ke dalam rumah meninggalkan ke tiga cowok itu di halaman, Lucky dan Rendi tampak mengagumi motor yang dipakai Ali tadi.

"Kok lama banget, sih?" tanya Airin saat aku aku baru saja meletakkan pantatku di kursi teras.

"Medannya ada yang sulit, tadi aku hampir jatuh saat melewatinya, jadi kami disarankan pulangnya memutar saja, untung dapat pinjaman motor kalau tidak masih nanti pulangnya." aku melepas ranselku dan meletakkannya di sebelah kursi dan meletakkan kedua kakiku di kursi yang lain.

"Ting!"

Aku segera membuka chat di grup saat ada notifikasi, sebuah foto dikirim Ali dengan keterangan. (bukan hoax)

***

Nächstes Kapitel