webnovel

Diam-diam Mengambil Fotonya.

Setelah memasuki gerbang RT 4, kami kemudian mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk melakukan pendataan. Aku dan Ali bergantian melakukan wawancara dan menulis hasil wawancara di kertas kuisioner. Sebenarnya aku merasa heran karena hari ini aku dan Ali bisa bekerja sama dan tak ada hambatan komunikasi seperti biasanya. Meski kami tak saling bicara satu sama lain tapi kegiatn ini berlangsung lancar.

Sembari melakukan wawancara, aku dan Ali juga mengecek langsung kondisi kamar mandi, kandang, ventilasi dan lainnya. Kondisi rumah di RT ini masih banyak yng masih banyak tidak memenuhi syarat kesehatan, banyak rumah yang lantainya belum berubin, ventilasi yang kurang, kandang yang masih menjadi satu dengan rumah dan masih sedikit warga yang memiliki jamban sehat' Untuk buang air besar, masih banyak warga yang buang air besar sembarangan.

Selain itu kondisi kesehatan masyarakat di wilayah ini cukup memprihatinkan karena banyak anak yang menderita diare maupun batuk pilek dan masalah kesehatan lainnya. Meski begitu warga di sini ramah dan sangat kooperatif apalagi keberadaan bu Santi sebagai kader pendamping kami dalam melakukan pendataan sungguh sangat membantu. Meski bukan penduduk asli dari desa ini Bu Santi sangat dihormati oleh warga desa terutama dari warga Rt 4.

Aku, Ali dan Bu Santi terpaksa menolak makanan dan minuman yang akan diberikan warga yang kami kunjungi karena kalau tiap rumah kami harus berhenti sejenak untuk minum dan makan maka sampai kapan kami akan menyelesaikan pendataan. Mungkin sampai gelap baru selesai!

Tanpa terasa langkah kami sampai rumah terakhir yang kami data, kami segera duduk setelah dipersilahkan masuk. Aku mengeluarkan kuisioner dan alat tulis kemudian mewawancarai pemilik rumah sementara Ali mengecek kamar mandi dan kandang setelah mendapat ijin dari yang punya rumah.

"Kita sudah selesai kan, Bu?" kataku sambil memasukkan kertas berisi kuisioner ke dalam ranselku. Aku menghitung sisa kuisioner yang masih kosong, masih ada empat yang belum terisi. Mungkinkah tadi Ali salah menghitung tadi?

"Belum, mbak. Masih ada empat rumah lagi yang belum di data," Bu Santi tertawa melihat aku me

"Benarkah? Perasaan sudah semua kita datangi, bu." Aku mengedarkan pandanganku ke bawah menatap rumah-rumah yang sudah kami kunjungi rasanya tidak ada yang terlewat.

Ali juga menyatakan hal yang sama denganku, dia juga merasa semua rumah sudah kita data. Bu Santi tersenyum menatap kami, ia menunjuk jalan setapak yang menuju ke kiri dari tempatku berdiri.

"Kita ikuti jalan itu, nanti akan ada jalan menurun, masih ada empat rumah di bawah sana,"

"Oh..." sahutku.

"Mari kita ke sana, biar segera selesai," ajak Ali yang segera diiyakan Bu Santi.

Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Ali menyusuri jalan setapak di bawah kaki kami, Aku dibuat takjub saat melihat pemandangan di tempat ini yang lebih indah dari sebelumnya. Aku segera mengabaikan pemandangan di sekitar dengan kamera ponselku. Selain mengabaikan pemandangan, aku juga melakukan selfie dengan bu Santi beberapa kali dan mengabaikan Ali.

Kami berhenti di suatu tempat di bawah sebuah pohon besar, di sebelah pohon itu ada jalan tanah yang dibuat berundak menurun. Sepertinya ini jalan menuju rumah-rumah di bawah, jalan itu terlihat lembab dan licin. Aku melihat empat rumah yang terpisah satu sama lain di bawah sana. Aku mengambil foto rumah-rumah itu untuk menunjukkan pada teman-temanku lokasi rumah yang kami data.

Tiba-tiba telpon bu Santi berdering, Ia segera mengangkatnya dan berbicara beberapa hal kepada penelponnya. Aku dan Ali berhenti, menunggu bu Santi yang sedang menelpon. Tanpa sadar aku menatap Ali yang berdiri di bawah pohon besar itu memadang rumah-rumah yang ada di bawah. Ali terlihat sangat tampan dan mempesona membuatku tak bisa mengalihkan tatapanku darinya. Itu adalah pemandangan yang sempurna untuk diabadikan.

Diam-diam aku mengarahkan kamera ponselku ke arahnya dan mengambil beberapa gambarnya. Tiba-tiba saja Ali menoleh seolah sadar aku tengah menatapnya dan mengambil fotonya, Aku merasa gugup karena ketahuan, aku merasa seperti maling yang kepergok saat beraksi. Aku tak tahu apa yang akan kukatakan pada cowok itu dan entah apa yang akan dia katakan padaku. Aku merasa jantungku berhenti berdetak dan pipiku terasa panas karena terpergok olehnya.

Aku segera mengarahkan kamera ponselku ke arah lain dengan canggung, mencoba mengabadikan pemandangan di sekitarnya. Aku berusaha mengabaikannya dan pura-pura tak melihat senyumnya. Setelah beberapa waktu Aku menatap bu Santi yang baru selesai menerima telponn.

Setelah panggilan teleponnya selesai, Bu Santi tampak sibuk untuk melakukan sebuah panggilan. Setelah beberapa waktu berbincang dengan orang yang berada di ujung telepon , Bu Santi mendekat ke arah kami yang berdiri sedikit berjauhan.

"Maaf Mas Ali, mbak Zie, Ibu gak bisa menemani kalian pendataan di bawah. Ibu ada tamu di rumah yang tidak bisa menunggu karena mereka mau segera ke kota lagi." katanya kemudian, wajahnya menunjukkan permohonan maaf.

"Ibu sudah menghubungi bu Astuti untuk membantu kalian." lanjutnya sambil tersenyum kemudian dia menunjuk jalan setapak di sebelah pohon besar, "dia akan menunggu kalian di bawah jalan ini."

Aku terdiam sesaat tanpa sadar mataku menatap Ali, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku hanya bersama Ali. Mungkinkah dia akan menindasku? Apalagi tadi dia mengetahui aku mengambil fotonya diam-diam.

"Ya, bu. Tidak apa-apa. Terimakasih sudah ditemani sejauh ini." Ali tersenyum kepada bu Santi.

"Terimakasih, bu." ucapku dengan senyum yang kupaksakan.

Bu Santi tersenyum dan menyemangati kami sebelum bergegas kembali ke jalan setapak yang kami lalui tadi. Aku melihat seorang bapak mengendarai sepeda motor mendatangi kami untuk menjemput bu Santi.

***

Nächstes Kapitel