webnovel

Imperial Hospital

DEAD ZONE

                    Zombie Crisis

Setelah Alice memutuskan untuk memberikan sebuah perintah kepada kami, hendaklah kami segera pergi meninggalkan gedung bar berlantai dua yang bernamakan Savoy Club.

Pandangan mataku kian menyebar kesepenjuru arah bagian untuk mengamati situasi keadaan sekitar yang tampak sepi nan sunyi.

Berada di belakangku, seorang gadis berambut pirang dengan ransel yang masih melekat pada punggungnya, berserta sebuah senjata yang berjeniskan Shoutgun SPASH-12 pada genggaman tangannya. Tak lain, ia adalah salah seorang anggota Mercenery Ops yang tengah ditugaskan untuk menjalankan sebuah misi bersamaku. Gadis itu bernamakan Alice Gratmen.

Suasana sepi nan sunyi seakan menyayatkan hati, dimana aku dan Alice yang kini tengah berjalan melewati rute perjalanan yang dipenuhi oleh tebalnya kabut putih yang pekat warnanya.

Reruntuhan gedung tampak terlihat menghias di setiap sudut mata memandang, diikuti oleh beberapa mobil yang tampak kebakaran dengan gejolak api yang tak kunjung padam. Hampir disetiap langkah kakiku, tak sedikit pun orang yang mampu kulihat oleh pandangan mataku, terkecuali potongan tangan dan beberapa bagian tubuh manusia yang terceceran pada tanah beraspal.

Meski sebenarnya aku telah dihantui oleh rasa ketakutan yang cukup mendalam, namun aku tahu bahwa kelangsungan hidupku tetaplah dibutuhkan untuk menjalankan misi di kota ini.

Kini kami telah sampai pada suatu titik pencarian. Yakni pada sebuah gedung rumah sakit yang terletak di sebelah barat kota New Castile.

Tepat berada di hadapan kami berdua, tampak terlihat sebuah bangunan tua yang lengkap dengan pagar besi berkaratnya. Tepat pada sebuah gerbang menuju ke halaman gedung, sebuah ukiran nama tampak terpapang jelas dengan sebutan nama Imperial Hospital.

Sesaat aku mencoba untuk menghentikan langkah kakiku, dimana aku yang telah mendapati bercak darah pada gedung hospital.

Sesosok pria berbaju putih dengan lambang palang merah pada dada kirinya tampak terlihat setelah ia berhasil membuka pintu utama rumah sakit tersebut.

"Alice, lihat itu!" ucapku menunjukan adanya manusia yang keluar dari dalam gedung dalam keadaan selamat pada Alice.

Aku hendak melangkah maju dalam rangka ingin menghampiri pria tersebut. Naas, Alice segera melentangkan sebelah tangannya pada dadaku seraya ia berkata,

"Tahan! Kita tidak bisa memastikan bahwa ia aman."

"Tapi-"

"Jangan gegabah ini perintah!" serunya padaku.

Pria itu berjalan semakin mendekat hingga ia berhenti tepat di hadapan ku. Dengan wajah yang kian memucat ia berusaha melangkah maju lebih dekat. Naas, sang pria malang kini mulai tak kuasa menahan rasa sakit yang tengah ia derita pada dadanya hingga pada akhirnya ia tersungkur tepat di hadapanku.

Pria itu mulai memuntahkan darah segar dari dalam mulutnya. Sesaat menatapku dengan pandangan mata yang dipenuhi oleh kegelisahan yang cukup mendalam. Entahlah, mungkin sesuatu telah terjadi pada dirinya atau pada keluarganya.

Aku bermaksud untuk menolongnya, namun Alice berusaha untuk menggenggam erat bajuku sehingga aku kesulitan untuk melangkah maju.

Pria itu merangkak, berusaha untuk mendekat dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Sayang, hanya dalam hitungan menit ia mulai menghembuskan nafas terakhirnya.

Aku merontah, namun Alice semakin meremas bajuku dengan sekuat tenaga seraya ia berkata,

"Hentikan Michael! Jika kau melanggar aturan yang sudah aku berikan maka hidupmu juga akan berakhir sama sepertinya."

"Kenapa kau selalu menghalangiku, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku Alice!" geramku padanya.

Beberapa detik telah berlalu setelah kematian dari sang pria malang tersebut. Kini ia kembali membuka matanya dan segera bangkit dari kematian yang telah merenggut nyawanya.

Ia semakin tak kuasa menahan rasa sakit yang kian di deritanya hingga dirinya kini harus mencekram sendiri kepala menggunakan kedua tangannya.

Matanya melotot menatap ke atas awan hitam yang menghiasi sang malam dengan mulut yang mengeluarkan lendir berwarna putih kehijauan. Tak hanya itu, kini kedua matanya mulai mengeluarkan genangan darah yang kian bercucuran pada kedua matanya layaknya air mata pada umumnya.

"Alice!" ucapku panik.

Alice tak ingin menjawab, ia hanya meliriku dengan sorot mata yang sadis. Sesaat ia melangkah maju, mendapati sesuatu yang tengah dilihatnya, yakni sebuah benjolan pada pungungg pria tersebut pada saat ia tengah bertekuk lutut di hadapan Alice yang tengah menghampirinya.

Benjolan itu semakin membesar hingga pada akhirnya Alice memutuskan untuk melangkah mundur dan mengamati keanehan yang tengah terjadi. Ada kalanya pria itu yang kian meronta, menahan rasa sakit pada punggungnya. Naas, benjolan tersebut semakin membesar hingga meletus dengan disertai oleh semburan darah dari dalam tubuhnya.

Butiran-butiran darah yang melayang di udara kini mulai berjatuhan layaknya air hujan.

"Apa yang telah terjadi?" ucapku tergagap kaku.

"Entahlah, ada kemungkinan sesuatu akan keluar dari dalam tubuhnya."

jawab Alice tampak tenang.

Tak lama kemudian, tiba-tiba munculah tangan yang berusaha menggapai udara dari dalam punggung sang pria. Aku terkejut dan segera bergegas mengambil sebuah pistol yang terselip pada pinggangku.

Sesaat setelah aku mengacungkan senjatamu dan ingin kutarik pelatuknya, sesaat itulah Alice yang segera menghentikan aksiku secara tiba-tiba,

"Jangan tembak! Aku penasaran dengan apa yang akan keluar..."

Sesosok makhluk hidup berbentuk manusia dengan sebelah tangan yang hampir menyerupai tangan gurita tampak terlihat menakutkan. Di tambah lagi dengan raut wajah yang hampir menyerupai tengkorak ikut mendominasi wujud aslinya.

Aku menelan ludah, sesaat aku berkata, "Oh my god... What the hell is that!"

"Melarikan diri bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan, maka dari itu kita juga tidak dapat menggunakan senjata tanpa peredam untuk melawan."

Dia benar, jika kami meletuskan satu peluru saja maka akibatnya akan fatal. Namun disisi lain aku tidak mungkin bertarung dengan belati yang hampir menyerupai bumerang tersebut, Amok Kukri.

Makhluk itu semakin mendekat dengan lendir menjijikkan yang masih menghiasi tubuhnya. Sesaat pandanganku terpaku pada suatu titik penglihatan, yakni pada benjolan kecil yang berdenyut pada leher kirinya. Aku beransumsi bahwa apa yang kulihat adalah titik kelemahannya, namun bagaimana caraku dapat mengalahkannya? Entahlah, mungkin Alice dapat menemukan jawabannya.

-Bersambung-

Nächstes Kapitel