Rabu, 17 Juli.
_Ya tuhan apa-apaan ini_
Sore yang masih terik dan seseorang berdiri di bawah pohon beringin tua tepat di depan lobby jurusan Desain universitas Tripusaka.
Aruna mengizinkan calon suami berdarah blasteran itu datang dengan gaya casual tujuannya agar tidak menarik perhatian. Nyatanya beberapa gadis dan teman-temannya sengaja berhenti di sekitar lobby atau sekedar penasaran melirik lelaki tinggi tegap dengan pesona berbeda.
"Aruna, kau juga melihatnya?". Dea teman satu angkatan, membicarakan calon suami Aruna sendiri yang berada satu lantai di bawah mereka. Gedung lantai 2 full kaca ini, tempat paling menyenangkan untuk menikmati pemandangan taman yang dimiliki jurusan Design.
"Rasanya aku ingin menghilang saja". Balas Aruna melantur.
"Hah?! apa?!, Tunggu-tunggu, kau menatapnya dan bilang ingin menghilang". Puzzle-puzzle neuron Dea mulai bergerak menyusun kesimpulan.
"Jangan bilang itu tunanganmu?". Dea Larasati adalah salah satu sahabat terbaik Aruna di antara banyak sahabat yang akrab dengannya. Dea memiliki tempat tersendiri karena ikut aktif dalam kegiatan sosial bersama dan membantu startup Aruna. Dengan santai Aruna beberapa kali menceritakan gundahnya pada Dea, gadis ini terkesan simpel dan cuek diluar namun sangat menghargai prinsip dan privasi temannya. Untuk itu Aruna paling mudah bercerita dan tukar pikiran dengannya.
Aruna membalas dengan anggukan kecil perlahan. Selayaknya anak yang malas makan tapi harus membuka mulutnya.
"Sebaiknya segera kau temui, kalau tidak.. akan lebih banyak yang penasaran". Dea memberikan ide.
"Baiklah". Ungkapan pasrah Aruna mengiringi langkah enggannya.
Langkah Aruna semakin cepat, Tapi perlahan berhenti sesaat. Dia putuskan menghubungi Hendra via Handphone dari pada langsung menyapa. Ternyata Lobby Jurusan penuh dengan lalu lalang Mahasiswa dan beberapa ada yang menyapa Hendra basa basi.
_Casual Style apanya!? Dia makin menarik perhatian_
Celana jeans coklat Army, kaos putih polos dipadu dengan jaket bomber serta topi dan kacamata bulat. Berdiri jangkung tegap dengan postur sempurna dan kulit bersih keemasan ditambah garis dagu tegasnya memberi aura lebih.
_Tanpa melihat wajahnya pun orang tahu dia tampan. Topinya?!?.. ya tuhan.. sepatunya.. bagaimana bisa menggunakan brand Guc*i ke kampus_ Aruna mulai kesal. Segera memencet tombol di handphonenya.
"Aku melihat mu, sebentar lagi aku akan berjalan di depanmu, kita tak perlu saling menyapa ikuti saja langkahku". Ketus Aruna.
"Kau siapa menyuruhku??!!". Balas Hendra.
"Berhentilah bicara dengan gadis-gadis itu mereka hanya basa-basi, tapi kalau kau suka lanjutkan saja". Aruna menimpali
"Mereka hanya menanyaiku apa ada yang bisa dibantu. Kau tahu aku seperti orang bodong disini, kau lama sekali dan satu lagi... ". Belum sempat Hendra menyelesaikan ucapanya. suara berisik terdengar.
"Wah cewek mu marah kayaknya. bla bla". Beberapa ucapan dari gadis - gadis itu terdengar di handphone Aruna. Lalu mereka perlahan pergi disambut senyum manis Hendra.
Aruna menutup handphonenya lalu berjalan menuju Hendra. Tanpa sapa Aruna benar-benar melangkah sendiri. Terpaksa Hendra mengikutinya di belakang. Sesaat kemudian dering telepon seluler Hendra berbunyi.
"Hanya beda lima langkah kenapa telepon?".
_wah anak ini benar- benar aneh_ Hendra tak mengerti maunya cewek itu.
"Aku tak ingin berjalan beriringan!. Pelankan langkahmu". Timpal Aruna. Hendra merasa dipermainkan, dia putuskan mengabaikan suara di handphonenya, bergerak gesit menarik tangan Aruna.
"Beraninya kau membuatku marah". Mata biru Hendra menatap tajam sembari mencengkram tangan Aruna. Tuan muda yang selalu memimpin langkah, diminta berjalan dibelakang untuk menuruti kemauan gadis yang baru ditemuinya dua kali.
"aaawwa Lepaskan sakit tahu..." Aruna reflek menarik tangannya namun tak bergerak sedikit pun.
"Tolonglah, ini kampusku dan aku tak mau masa muda ku hancur karena pernikahan kontrak konyol ini". Pekik Aruna. Perlahan Hendra melepaskannya, menyadari siapa yang dihadapi. Ya, gadis aneh nan lugu dengan kepribadian abstrak.
"Dimana mobil mu? kita bicara di mobil saja". pinta Aruna.
"Di parkiran". Jawab Hendra enggan. Aruna melanjutkan langkahnya.
"Tunggu sebentar. Kali ini aku yang didepan, aku tak suka membuntuti orang lain apa lagi kamu". Lanjut Hendra menegaskan.
"Oh penting sekali ya. Siapa yang berjalan dibelakang siapa". Ledek Aruna. Hendra mengabaikannya.
***
Surya tersenyum menyambut Aruna ketika dirinya memasuki mobil tuannya. Aruna menghela nafas panjang. Sepertinya Hendra tidak menyadari bahwa dirinya membuat Aruna kesal.
"Mengapa kau berdiri di depan lobby jurusan ku?, Sudah ku katakan beberapa kali. Boleh menjemput dengan syarat kenakan pakaian casual agar tak mencolok dan sebaiknya tidak keluar dari mobilmu kecuali terpaksa". Protes Aruna
"Coba kamu lihat diri ku, aku sudah mengikuti kemauanmu, aku sudah menggunakan baju sesuai selera mu. keluar dari mobil karena terpaksa juga". Hendra menjawab dengan tenang kali ini.
"Terpaksa??". Aruna tak yakin.
"Ya.. kau lama sekali. Aku menunggu di mobil hampir 2 jam". Hendra
"Mengapa tidak menelpon ku". Balas Aruna
"Tidak selayaknya seorang yang berada di kelas mendapat telepon. Itu akan mengganggu. Namun aku penasaran kenapa kau lama sekali. Aku lebih curiga apa kau benar-benar di dalam kelas atau sengaja mengabaikan ku". Penjelasan Hendra lebih banyak benarnya, Tepatnya Aruna enggan menemuinya. Mengingat terakhir kali bertemu laki-laki ini sungguh menyebalkan. Sehingga dia mencoba mengulur waktu.
"Apa kamu punya pacar di kampus?. Pasti kau tak ingin pacar mu melihat ku kan". Tambah Hendra
"Tida a k.. tidak.. bukan begitu, aku tak punya pacar. Hanya saja aku tidak suka dibicarakan teman-teman ku. Mereka akan ribut sekali jika tahu ada yang menjemput ku. Ditambah lagi kenapa kau kenakan brand langit itu hanya untuk ke kampus. Itu norak tahu".
"Brand langit?? Apa itu??". Hendra tak memiliki kosa kata itu di benaknya. Surya asistennya seperti biasa memberikan penjelasan secara spontan.
"Baju dan benda-benda yang anda gunakan terlalu di atas rata-rata". Jelas Surya. Namun ekspresi Hendra masih dalam tahap belum mengerti.
"Lebih tepatnya Style anda tidak pada tempatnya". Berhati-hati Surya menyusun kata-kata.
"APA... ?! apa maksudnya?? bukankah ini casual". Kebingungan menerpa cucu Djoyodiningrat. Surya dan Aruna menghela nafas, menyadari penjelasan apapun akan berakhir sia-sia. Brand langit adalah outfit tuan muda Djoyodiningrat sehari-hari.
"Sudahlah tak usah diributkan, kita fokus saja. Apa ada yang perlu dibahas pada pertemuan kali ini". Pangkas Aruna.
"Secara perlahan anda berdua sebaiknya mulai mendiskusikan konsep pernikahan". Jelas Surya.
"Secepat itukah pak Surya??, Baru saja bertemu dua kali". Protes Aruna.
"Itu permintaan tetua... eemm.. Maksudnya saya permintaan Opa dan Oma". Surya mengemudikan mobil lebih lambat agar penumpangnya bisa memahami setiap kata-katanya.
"Mereka menginginkan pernikahan anda berdua segera dilangsungkan, Saya masih berharap anda segera konfirmasi terkait fitting baju pengantin". Tambah Surya.
"Mohon maaf Pak Surya. Untuk hari Sabtu sepertinya belum bisa memastikan, Sabtu jadwal rutin teman-teman tim Surat Ajaib (brand startup Aruna) rapat mingguan". Keluh Aruna. Surya tersenyum.
"Bagaimana dengan tuan Hendra??". Surya dengan sengaja memancing tuannya agar turut komentar.
"Oh iya sekali lagi saya ingatkan, jangan panggil saya PAK. Saya masih 30 tahun dan belum menikah". Ucapan Surya membuat dua orang penumpangnya tak mampu menahan tawa.
"Sudahlah akui saja kalau wajahmu terlalu boros". Tawa yang awalnya tertahan tahan itu kini menggetarkan setiap sudut mobil. Ekspresi mahal Hendra terlukis dengan indah bersama lesung pipinya.
_Bisa tertawa juga manusia itu_ gumam Aruna menangkap renyahnya suara Hendra.
Surya memutar setir mobilnya ke arah kiri, mobil itu berhenti mendadak di tepi jalan. Untung saja lalu lintas dari arah belakang sepi.
"Saya mengajukan ijin selesai bekerja lebih awal". Surya menoleh kebelakang, menatap tajam kearah Hendra tidak seperti biasanya.
"Tidak ada ACC untuk permintaan mu. Kau tetap bekerja sesuai jadwal". Balas Hendra. Lesung pipi Hendra sekali lagi menghiasi wajahnya.
"Kau benar-benar keterlaluan. Setidaknya beri aku ruang untuk membalas mu". Surya mulai berbicara non formal pada tuannya.
"Oh, maaf nona Aruna anda pasti terkejut". Surya menyadari raut muka bingung Aruna melihat interaksi dua orang yang mendadak berubah.
"Kami satu almamater di kampus. Maksud saya dia junior saya". Jelas Surya.
"Oh iya perlu anda ketahui. Sebenarnya masa itu karena tidak ada yang berani menjadi temannya, maka terpaksa saya berteman dengannya. Dan sekarang setelah banyak yang tidak tahan menjadi asistennya, maka dengan cara diPAKSA saya dijadikan asisten". Susunan kata Surya begitu menarik. Sebuah balasan datar namun menusuk pendengar.
"Ya.. tentu Surya bisa dipaksa jadi asisten. Aku saja dipaksa jadi istri". Aruna bergumam, melirik lelaki di sampingnya.
"Kau jangan ikut-ikutan termakan kata-katanya". Hendra merasa kikuk, di serang balik oleh dua orang sekaligus.
"Apa-apaan kalian? jangan menatapku seperti itu?!?. Kalian mau apa??". Pernyataan tidak penting. Hendra merasa terpojok.
"Aargh... Aku mau makan.. aku lapar sekali..". Seruan Aruna mendorong Surya menggerakkan kakinya menekan pedal gas. Mobil mereka melaju lebih cepat.
***
Sebuah rumah makan bernuansa putih dengan konsep santai. Mereka benar-benar tidak bicara sebelum makanan dimeja tinggal pencuci mulut. Awalnya Aruna pikir hal itu hanya kebetulan karena dia dan dua orang laki-laki di sampingnya merasa sangat lapar. Namun nyatanya ketika Aruna ingin membuka mulutnya mengawali percakapan. Surya mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan mulut lalu tersenyum. Sebuah teguran agar Aruna tidak bicara.
"Anda ingin pernikahan seperti apa?". Kali ini Surya mengawali percakapan. Pertanyaannya sekali lagi ditujukan untuk Aruna.
"Apa saja asal tidak ribet. Sederhana dan dihadiri keluarga dekat serta beberapa teman saja". Jawab Aruna sembari menikmati potongan cupcake miliknya.
"Aku rasa itu mustahil". Ungkap Hendra
"Minimal akan ada satu pesta besar untuk para kolega keluarga". Tambah Hendra. Aruna memainkan cupcake-nya tanda dirinya mulai gelisah.
"Untuk gaun pengantin bagaimana? Apakah ada request dari anda nona?". Sekali lagi Surya menanyakan hal-hal yang tidak ingin Aruna jawab.
"Apa saja asal aku tidak perlu memakai high heels". Jawab Aruna singkat.
"Oh iya satu lagi, aku tidak ingin gaunnya menjuntai panjang atau mengembang. Yang simpel ringan dengan sedikit pita". Tambah Aruna.
"Sekarang aku mengerti. Pilihan tuan Wiryo memang paling tepat, selera anda bisa membuat keluarga Djoyodiningrat semakin kaya raya". Surya melempar sarkasme. Berharap lawan bicaranya ikut nimbrung dalam candanya.
"Oh maaf". Surya segera mengatur fokusnya. Ketika dua orang di depannya sama sekali tidak tertarik.
"Baiklah saya list lagi apa yang harus kita bahas". Asisten itu bicara sendiri. Aruna melempar tatap kosong ke arah kerumunan anak muda yang sedang asik makan bersama, mereka tampak seru dan saling melempar candaan satu sama lain.
_Bagaimana bisa aku berada disini dan membicarakan pernikahan. Ya tuhan, aku pun akan bercerai 2 tahun lagi. Apa yang harus aku lakukan?_
Hendra menangkap keresahan Aruna. Sepertinya tatapan kosong yang khas itu bukan kebetulan, namun lebih kepada kebiasaan ketika gadis itu merasa gelisah.
"Berapa usiamu?". Hendra yang dari tadi memperhatikan Aruna mencoba mengalihkan fokusnya.
"Eh, Apaa?? usia? Usia ku?". Aruna teralihkan.
"Aku akan 20 tahun. emh.. maksudnya 3 bulan lagi usiaku 20 tahun". Jawab Aruna
Jawaban itu membuat Hendra baru menyadari bahwa gadis kecil unik ini memang berbakat.
_Ternyata dia masih sangat muda, sudah berperan sebagai pemateri pada kegiatan komunitasnya. Sedikit polesan akan membuatnya tumbuh lebih hebat. Hanya butuh mentor yang tepat dan konsisiten_ Hendra mengamati gadis itu dengan seksama.
"Oh iya, Ini yang paling penting. Hampir saja saya melewatkannya". Surya memotong komunikasi kecil calon pengantin dari pernikahan kontrak.
"Nona, Opa Wiryo berharap anda sendiri yang mendesain undangan pernikahan anda. Sepertinya Opa tahu startup anda menyediakan jasa ini". Surya mengajukan permohonan. Aruna hanya geleng kepala. dia merasa tidak akan mampu melakukannya.
"Mengapa tidak?". Hendra tidak mengerti apa yang dipikirkan gadis itu.
"Sangat tidak mudah bagi seorang desainer mengerjakan project design untuk dirinya sendiri". Ungkapan Aruna menyadarkan Hendra, apalagi pernikahan ini tidak diinginkannya.
"Aku yakin kamu punya tim, sangat tidak baik menolak permintaan ini. Bukan sekedar untuk meningkatkan people insights pada akun mu, aku yakin project ini akan mengupgrade brand mu. Dan lagi kamu tidak boleh mengabaikan permintaan khusus orang yang akan menjadi keluargamu". Hendra mencoba meyakinkan Aruna. Entah apa yang membuat lelaki itu tertarik membujuknya.
"Ehmm... tapi aku satu-satunya desain project di tim ku". Jelas Aruna.
"Aku yakin pasti tim mu punya solusinya. Hanya butuh sedikit dorongan, mereka pasti bisa menyelesaikan project ini". (Mereka pasti bisa membujuk mu). Hendra mencoba mengatur kata katanya
_Jika pernikahan ku nanti cuma menghasilkan status janda, Surat Ajaib adalah mimpi terakhir ku untuk diperjuangkan, mungkin perlu ku coba_ Aruna.
"Berikan aku kesempatan 30 menit saja di agenda meeting mu". Tambah Hendra. Aruna melirik Surya berharap dukungan agar permintaan Hendra tidak perlu diiyakan. Nyatanya asisten itu malah mengangguk-angguk menyetujui. Walau atasanya terkenal dengan tabiat yang kurang baik bahkan sering membuat orang lain tertekan. Tidak ada yang bisa meragukan insting bisnisnya. Ditambah lagi kekuatanya memberikan dorongan pada setiap divisi di mega bisnis yang diwariskan untuknya adalah kekuatan tersendiri yang belum pernah dimiliki generasi sebelumnya.
"Tapi kamu tidak boleh mengungkapkan kalau kita akan menikah". Pinta Aruna.
"Buat apa menyembunyikannya. Jangan konyol, jelas-jelas projectnya apa". Mendengar kata-kata Hendra, Aruna hanya menunduk pasrah.
"Berapa item undangan yang akan kami kerjakan?". Aruna meminta penjelasan dari Surya.
"Minimal 2.000 undangan, saya yakin yang datang lebih banyak". Jelas Surya.
"Apa?? kalau kami tidak bisa menyelesaikannya bisa jadi blunder". Aruna tidak bisa membayangkan bagaimana cara mengerjakan undangan 3D sebanyak itu. Pemesanan yang paling banyak selama ini hanya 300 item. Pemesannya pun di lobi agar menurunkan permintaan. Menyeleksi orang orang tertentu sajadah yang mendapat undangan custom Surat Ajaib 3D.
"Jangan terlalu khawatir seburuk apapun hasilnya, setelah kita menikah semua kebutuhanmu akan terpenuhi, bahkan ketika kita berpisah nanti, aku jamin kau tak kekurangan apapun". Hendra mencoba membaca keresahan Aruna. Dan tampaknya malah memperburuk keadaan. Bagi Aruna kata kata yang baru saja Hendra sampaikan adalah bumerang yang paling dia khawatirkan. Ketika dirinya yang selama ini hidup dengan banyak mimpi dan indahnya merajut semua harapan itu bersama sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba setiap usaha tampak sia-sia karena dirinya sudah berada di puncak gunung tertinggi. Semua usaha yang dikerjakan entah berhasil atau gagal tidak akan berarti dimata siapapun karena orang hanya melihatnya sebagai menantu keluarga Djoyodiningrat.
Wajah Aruna semakin masam.
"Kau masih tidak yakin?". Tanya Hendra penasaran dengan ekspresi Aruna.
"Kita akan membayar dua kali lipat berapapun harganya". Hendra memberikan dorongan terakhirnya. Aruna menatapnya, mata biru itu seperti sedang menantangnya untuk segera mengambil keputusan.
"Baiklah akan aku coba". Aruna membulatkan tekad.