Kata orang, ketika kita khawatir terhadap keadaan seseorang berarti kita sedang peduli. Entah itu karena cinta, sayang, suka atau apapun kata kerja yang memiliki arti tidak jauh dari ketiga hal tersebut.
Maka, Lamanda menyimpulkan bahwa ia tidak pernah bisa berhenti mencintai Davino hingga saat ini. Hingga saat Davino telah berganti menjadi sosok yang sedikit berbeda, sosok bernama Alta.
Seberapa inginpun Lamanda untuk merasa biasa saja saat lelaki itu tidak menghubunginya dan menghilang namun hatinya tidak bisa di ajak kerja sama.
Ia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan keadaan lelaki itu. Karena ia tidak pernah bisa berhenti untuk peduli. Alasanya, Lamanda begitu mencintai lelaki itu.
Lamanda pernah merasakan tidak enaknya kehilangan. Dan ia tidak ingin hal itu terulang lagi.
Lamanda tidak ingin kehilangan Davino, Alta-nya.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Lamanda menoleh pada seseorang disampingnya. Mereka terlibat saling tatap beberapa detik sampai Lamanda memutus eye contack.
"Cuma mau mastiin kamu baik-baik aja," tutur Lamanda jujur karena sejak malam dimana Alta menyuruhnya menghitung domba. Lelaki itu tidak pernah lagi datang menjenguknya.
"Gue baik-baik aja," kata Alta. "Gue tiga hari ke Bali nemenin nyokap soalnya ada urusan keluarga penting, jadi nggak bisa jenguk lo lagi," jelas Alta menjawab kebingungan Lamanda.
Lamanda tersenyum. Ia lega begitu Alta memaparkan alasannya menghilang beberapa hari ini.
Ia mengayunkan-ayunkan kakinya lalu melihat ke Alta sekilas.
"Gimana kabar tante Viola?" tanya Lamanda. Setelah itu ia menengadah, memandang dua kenari sedang bertengger di salah satu dahan pohon flamboyan.
"Baik," jawab Alta singkat.
Kemudian mereka saling diam sebentar. Saling memberi space untuk mereka menikmati udara sejuk di taman belakang sekolah.
Saat pagi begini, taman selalu sepi karena jam pelajaran sedang berlangsung. Sedikit senyap, tidak banyak suara yang tertangkap telinga. Hanya suara gemericik air mancur kolam, cicitan burung-burung, juga suara desau angin yang menabrak dedaunan juga sayup-sayup suara murid di gedung sekolah.
Hal itu membuat keduanya merasa damai.
"Lo kenapa udah pulang?" tanya Alta kemudian. Ia memandang bekas infus di tangan Lamanda lalu menaikkan pandangan ke wajah pucat gadis itu.
"Udah sembuh." Lamanda menoleh kemudian tersenyum.
Alta mengangguk paham. Ia menyenderkan tubuhnya ke bangku taman. "Balik ke kelas sana. Entar lo dimarahin gara-gara bolos," suruh Alta pada Lamanda.
Lamanda menggeleng. "Kata Budi, gurunya lagi nggak ada. Makanya aku nyusul kamu ke lapangan indoor tadi."
Gadis itu menarik tas Alta yang berada di antara keduanya dan memeluknya erat. Tangannya mulai iseng memainkan resleting tas berwarna navy tersebut. Menaik-turunkannya dengan berulang.
"Jangan digituin. Nanti rusak," seru Alta.
Lamanda memandang Alta dan menghentikan gerakan tangannya. Ia beralih menarik-narik ujung dasi Alta.
"Lo kenapa sih?" dumel Alta kesal melihat simpul dasinya rusak. "Benerin."
Lamanda mendekat. Membuka dasi Alta lalu memasangkannya dengan teliti.
"Yang bener. Masa kaya gini," celoteh Alta. Ia menarik lengan Lamanda agar mendekat.
Lamanda yakin bahwa jantungnya akan melompat keluar jika Alta masih enggan merenggangkan jarak.
Pipi Lamanda memanas ketika merasakan hembusan napas hangat Alta mengenai keningnya.
"Lamanda," seru Alta karena Lamanda masih diam.
Dengan gemetar Lamanda membuka kembali simpul dasi Alta. Menarik salah satu ujungnya sedikit lebih panjang dan mulai memasangkan dasi Alta. Selama itu Lamanda menahan napas, ia merasa seperti ada ubur-ubur menyelinap ke dalam perutnya. Membuat ia meraskaan geli yang sukar diartikan.
"Kebalik," kata Alta melihat logo sekolah di dasinya tidak terlihat.
Lamanda membuka kembali simpul dasi tersebut. Lalu menatapnya kosong. Sekarang ia jadi lupa cara memasang simpul dasi karena nervous berdekatan dengan Alta. Lamanda menatap Alta sejenak.
"Aku lupa."
Alta mendengus. "Makanya jangan ngerusak."
"Iya maaf," ucap Lamanda sambil kembali menghadap depan.
"Lam," panggil Alta.
Lamanda menoleh. "Ya?"
Alta menyeringai begitu melihat ekspresi polos Lamanda.
Sebelum Lamanda membuka suara. Alta sudah menarik dasi Lamanda sangat kencang membuat dasi gadis itu buruk rupa seketika.
"Alta! Dasi aku jadi jelek," sungut Lamanda. Tapi lelaki disampingnya itu tidak mengubris dan fokus memasang dasinya sendiri.
"Kenapa ngeliatin? Mau gue pasangin juga?" tanya Alta setelah selesai.
Lamanda menunduk menatap dasinya. Ia membuka simpulnya lalu mulai memasangnya kembali.
"Tadi lo bilang lupa," sindir Alta. Ia menjumput bunga flamboyan merah yang mendarat di rambut Lamanda lalu membuangnya asal.
"Kalau lihat kamu jadi lupa. Habisnya muka kamu serem."
"Oh."
Lamanda menengadah lagi ketika mendengar cicitan kecil dari atas pohon. Ia kembali melihat dua kenari yang sejak tadi bertengger di dahan pohon. Matanya sontak menutup ketika guguran bunga flamboyan mengenai wajahnya.
"Mereka lucu ya," gumam Lamanda membuat Alta ikut menengadah.
"Nggak. Mereka nakal," ucap Alta.
"Nakal?" tanya Lamanda menoleh pada Alta.
"Masih kecil udah berani ngintipin kita berduaan."
"Kamu ngelucu ya?"
"Sekali-kali."
"Tapi garing."
"Makasih."
Lamanda memeluk erat tas Alta di pangkuannya sambil menyandar di kursi. Ia memandang lurus ke arah air mancur di tengah-tengah kolam ikan. Terpaan angin pagi di wajahnya membuat ia mengantuk. Mungkin itu juga efek dari obat yang diminumnya tadi pagi. Lamanda menguap.
Beberapa saat mereka saling diam hingga terdengar suara pergantian jam pelajaran menggema di seantero sekolah.
Alta berdiri dari duduknya, mengambil tas di pangkuan Lamanda lalu memandang Lamanda.
"Ayo," ujar Alta sambil mengulurkan tangan kananya.
"Mau kemana?"
"Kelas."
"Kamu mau ke kelas?" tanya Lamanda memastikan.
"Iya. Gue ada pelajaran matematika soalnya."
Lamanda diam sejenak. Ia tersenyum kecil. "Ya udah. Duluan aja. Aku bentar lagi nyusul."
"Serius?"
Lamanda mengangguk.
Alta mengusap kepala Lamanda. "Nanti cepet balik ke kelas. Gue duluan," ucap Alta sebelum benar-benar melangkah pergi.
Lamanda memutar tubuhnya memandang punggung Alta yang semakin menjauh dan mengecil sampai sosok itu hilang di belokan koridor.
Lamanda menghela nafas dan berbalik.
Sebenarnya ia masih ingin menikmati moment berdua dengan Alta dan berharap Alta mengurungkan niatnya untuk kembali ke kelas lalu menemaninya disini. Karena ia sangat merindukan sosok tersebut.
Kadang, Lamanda ingin menjadi egois agar semua yang ia inginkan bisa didapatkan dan ia bahagia. Namun, Lamanda tidak pernah bisa lagi. Karena ia pernah merasakan kehilangan karena keegoisannya.
Lamanda memejamkan matanya.
Matanya lelah. Ia ingin tidur.
***
Grup WA chat di 082329534750, jadi ini grup buat info update dan lain2 soal Grey dan ceritaaaa akuuuu lainnya oke. Buat ngerumpi juga hahahaha. Buat curhat, sharing, dan apapun ituuu.