Nyatanya Alta membawa Lamanda ke koridor tempat loker siswa-siswi SMA Advent berada. Tempat itu lumayan sepi, selain karena masih jam istirahat juga karena tempat itu berada di ujung selatan bangunan. Alta berhenti di depan loker yang atasnya terdapat beberapa kotak kado dan coklat, begitupula Lamanda.
Lamanda otomatis mundur melihat Alta yang mulai menanggalkan kemejanya, ia menelan ludahnya susah payah. Melihat itu Alta mendengus, ia kemudian menyerahkan kemeja di tangannya itu pada Lamanda. "Pakai seragam gue dulu."
"Nggak mau."
"Lo bau ayam."
"Baju lo kebesaran!!"
Alta menarik napas dan menghembuskannya kasar untuk menahan emosinya. "Tapi baju lo basah. Nggak mungkin lo ikut pelajaran dengan keadaan kayak gitu."
"Gue bilang nggak mau ya nggak mau!!"
"Nggak bisa lo bilang makasih?" sindir Alta.
Meskipun masih kesal, Lamanda mengambil kemeja yang diulurkan Alta dengan kasar.
Alta mulai membuka loker dihadapannya lalu mengambil jaket boomber navy dan memakainya kemudian kembali menghadap Lamanda, "Gue antar ke kamar mandi."
"Nggak usah."
"Lo mau dicelupin ke toilet sama mereka?" Alta mengedikkan dagunya ke arah gerombolan siswi yang sedang memperhatikan gerak-gerik mereka sedari tadi.
Lamanda memandang punggung Alta yang mulai menjauh, ia tersenyum miris, "Semuanya bakal baik-baik aja kalau lo berhenti."
Alta menghentikan langkahnya, enggan berbalik, "Hadapi bukan berhenti. Kalau lo berhenti lo akan diam di tempat yang sama bareng pengecut lainnya."
"Gue bahkan nggak tau apa-apa. Lalu gue disalahkan atas kesalahan yang nggak gue lakukan." Lamanda mengucapkannya dengan menahan emosi yang membuat bahunya naik-turun.
Alta menghela napas, "Kesalahan lo adalah ketemu gue lagi. "
"Kalau gitu gue nggak akan temuin lo lagi begitupun sebaliknya."
"Telat, Lam. Udah terlanjur."
"Lo cuma bikin hidup gue runyam tahu nggak!!"
"Harusnya gue yang ngomong itu ke lo," kata Alta sinis.
"Maksud lo apa?"
Alta tidak menjawab. Ia melanjutkan jalannya yang sempat tertuda tadi dan mau tidak mau Lamanda mengikutinya dari belakang.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, Al!!"
"Alta!!"
Alta mengabaikan dan terus berjalan hingga langkahnya berhenti di depan kamar mandi cewek. Ia berbalik dan menghadap Lamanda langsung. "Lo nggak usah sok lupa deh, Lam. Kalau aja gue nggak kecelakaan dua tahun yang lalu, gue udah sekolah penerbangan sekarang. Bukan ngulang sekolah dan jadi orang lain kayak gini."
Lamanda tercekat. Ia ingin bertanya banyak hal tapi kata-katanya seolah tertahan di tenggorokan.
"And you know who caused it." Alta berdecih dan tersenyum sinis. "Jadi, siapa yang bikin hidup siapa runyam disini?"
"Who are you?" tanya Lamanda mengabaikan pertanyaan Alta.
Alta berdecak. "Mending lo ganti baju dulu. Gue lagi nggak mood bahas beginian."
Lamanda menggeleng. "Siapa lo sebenarnya?"
Lamanda membuat kesabaran Alta menipis. Dengan kesal, Alta memukul pintu kamar mandi di dekatnya, menimbulkan suara gebrakan yang membuat Lamanda berjegit kaget.
"Gue Davino!! Harus berapa kali gue bilang ke lo?!!" geram Alta.
Dengan sisa keberaniannya, Lamanda menatap Alta. "No. Youre not him!!"
Alta menghembuskan napas kasar. "Terserah lo!! Gue males debat. Sebaiknya lo cepetan ganti baju sekarang!!"
"Nggak!! Sebelum lo ngaku yang--"
Brakkk
"GUE BILANG GANTI BAJU SEKARANG!!!"
Lamanda mundur, kaget begitu Alta menendang pintu di depannya. Wajah Alta merah padam, menyiratkan betapa marahnya lelaki itu saat ini.
Lamanda meraih handle pintu, bergegas masuk dan mengganti bajunya di salah-satu bilik kamar mandi. Setelah selesai ia keluar dan mendekati wastafel.
Ia membasuh wajah dan rambutnya yang kotor kemudian menatap pantulan dirinya di cermin, mengamati baju Alta yang kebesaran di tubuhnya juga luka kecil di pelipis, tepat di samping mata kanannya. Keadaannya begitu mengenaskan. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya kalau bundanya bertanya soal luka itu. Mungkin ia akan berbohong karena tidak ingin membuat bundanya khawatir.
Lamanda menghela napas. Banyak hal yang tidak terduga ia alami saat ini. Padahal ia hanya ingin hidup normal seperti sebelumnya, tidak diasingkan dan homeshooling ataupun bolak-balik psikiater lagi. Namun, keinginan itu justru menimbulkan masalah lain.
Lamanda mencengkram pinggiran wastafel. Kilas balik perkataan Alta tadi berputar di pikirannya. Tidak bisa ia pungkiri jika Alta mengetahui lumayan detail dari masa lalunya dan hal itu membuatnya bingung darimana Alta tahu semua itu. Sebagian dirinya hampir mempercayai Alta, tapi sebagian lagi malah masih mengelaknya, Alta masih terlalu abu-abu untuk dipercaya. Lelaki itu hanya membuatnya terkelit masalah di sekolah, membuat kegiatan dan gerak-geriknya terbatasi.
Lamanda membasuh wajahnya lagi, membersihkan airmatanya yang tiba-tiba mengalir dan seolah tidak mau berhenti. Ia membiarkan dirinya menangis, melegakan sesak yang mengganjal di dadanya. Setelah itu, ia membersihkan wajahnya yang sembab dan menenangkan dirinya bebera menit.
Setelah merasa lebih baik, ia keluar. Lamanda melongokkan kepalanya di balik pintu, ia lega karena Alta tidak ada disana. Saat Lamanda keluar dan mulai melangkahkan kakinya ia dikejutkan Alta yang tiba-tiba saja didepannya.
"Astagfirullah." Lamanda berhenti dan mengusap dadanya karena kaget setengah mampus.
"Udah?"
Lamanda enggan menanggapi. Ia sudah hendak melangkah ketika Alta meraih pergelangan tangannya, membuatnya menghadap lelaki itu. Alta mengusap dahi dan pipi Lamanda bergantian, kemudian menempelkan plester di pelipis gadis itu.
Lamanda membeku menerima perlakuan Alta sedangkan Alta malah tersenyum lalu mendekatkan wajahnya membuat Lamanda mencengkram kemejanya erat. Alta hampir saja melakukan hal seperti di UKS tempo lalu kalau Lamanda tidak keburu mendorong lelaki itu dan menjauh.
Melihat wajah sembab dan Lamanda hampir menangis, Alta meraih tubuh gadis itu dan membawanya dalam dekapan.
"Maaf."
Pada akhirnya Lamanda menangis. Lagi. Tidak peduli tempatnya saat ini, ia hanya ingin lega dengan sesakknya beban selama ini. Setidaknya, menangis membantunya meskipun sedikit.
"Sstttt, udah jangan nangis lagi," bisik Alta. Sebenarnya ia paling tidak bisa dihadapakan dengan keadaan seperti. Melihat orang menangis hanya membuatnya tidak tega dan bingung harus berbuat apa.
"Maksud lo apa sih Al ngaku sebagai Davino?" tanya Lamanda parau.
Alta diam dan menghentikan usapannya di bahu Lamanda. Lelaki itu melonggarkan pelukannya dan menunduk, menatap Lamanda yang hanya sebahunya.
Alta tidak menjawab. Ia mengambil alih kemeja kotor Lamanda dan memasukkannya pada kresek yang ia bawa. Setelah itu, ia kembali menatap mata Lamanda yang memerah. Ia mengusap pelan pipi dan dahi Lamanda, merapikan anak-anak rambut yang berantakan disana.
"Gue emang Davino, Lam. Dan lo harus percaya itu."
Alta melepaskan ikatan rambut Lamanda yang longgar. Ia menyelipkan helaian rambut Lamanda ke belakang telinga, mengusap anak rambut yang berantakan di kening lalu menyatukannya dalam satu genggaman tangan dan mengikat sebisanya. Hasilnya tidak terlalu buruk, cukup berhasil walaupun ikatannya tidak rapi.
Setelah itu, Alta meraih tangan Lamanda yang masih mencengkram kemejanya lalu membawa gadis itu menjauh dari sana.
***
Alta masih sibuk mengotak atik DJ Mixer di hadapannya, menciptakan dentuman musik yang memekakkan telinga bagi orang awam. Ia menyeringai memandang orang-orang yang nampak meliuk-liukan badannya di dance floor. Dirasakannya seorang perempuan berpakain mini bergelut di lengannya yang membuat moodnya hancur, ia memberi kode kepada Mike, DJ sebelumnya tadi untuk menggantikan posisinya. Alta segera menghempas kasar tangan perempuan tersebut membuat perempuan itu mengerucutkan bibirnya.
Setelah itu Alta memilih duduk di kursi depan bar kemudian menoleh ke arah Bartender, "Seth, vodka."
Seth segera menuangkan vodka pada gelas berukuran mini untuk Alta, lalu menyodorkannya, "Tumben minum," Seth jadi heran karena memang baru kali ini ia melihat Alta minum.
"Pengen aja," Alta melihat ke arah tiga temannya yang terlihat sudah typsi sedang duduk di sofa sambil merokok. Ia meneguk minumannya lalu meletakkan gelasnya di meja bar, "tiga lagi, Seth."
Seth geleng-geleng kepala karena tidak biasanya Alta begini, namun tak urung ia tetap membuatkan pesanan Alta dan meletakkannya di dekat Alta.
Alta menyunggingkan senyum tipisnya lalu menggeser ketiga gelas tadi, "Buat lo aja deh," ia mengeluarkan puluhan lembar uang berwarna merah pada Seth lalu beranjak bendiri hendak ke arah ketiga temannya.
"AL, KEMBALIANNYA."
Alta menghiraukan Seth sambil mengangkat sebelah tangannya, "Ambil aja."
Seth melongo, kalau saja semua pengunjung club ini seperti Alta sudah kaya sejak dulu ia. Ia menghitung jumlah uang yang diberikan Alta, lalu memelototkan matanya, baru saja ia mendapatkan tips sebesar 1,4 juta dalam semalam. Mimpi apa Seth kemarin.
Saat Alta sudah berdiri di dekat teman-temannya, ia memijit pelipisnya karena sedikit pusing lalu melirik Raskal yang sudah mabuk parah, "Minum berapa dia?" tanya Alta.
"Dua," Keral yang masih sadar menjawab, "Dua botol tequila, dua gelas brendi."
Alta kemudian menepuk pipi Raskal, cukup keras untuk sedikit menyadarkannya,"Lo pulang sama gue," tegasnya. Karena kalau ia membiarkan Raskal menyetir sendiri bisa dipastikan temannya itu hanya akan tinggal nama besok. Alta masih mengingat jelas terakhir kali Raskal menyetir saat mabuk lelaki itu menabrak tiang listrik yang membuat motornya terpelanting keras dan menyebabkannya koma dua minggu.
Raskal tertawa tidak jelas, "Yes, babe."
"Set*n," umpat Alta sambil menendang tulang kering Raskal. Lagi-lagi Raskal tertawa.
"Lo minum Al?" tanya Satya sambil menghembuskan asap rokoknya.
Alta mengangguk lalu duduk di sofa. Sebenarnya Alta sudah lama tidak minum, terakhir saat ia di Prancis dulu karena pergaulannya yang sedikit bebas tapi entah kenapa tiba-tiba saja ia ingin minum tadi.
Melihat keadaan Alta yang sedikit tipsy akhirnya Keral mengalah, "Gue yang antar kalian semua," putus Keral.
Alta mengibaskan tangannya, "Nggak usah. Gue masih oke," tegasnya.
Keral akhirnya mengalah. Percuma melawan Alta, pada akhirnya ia juga yang akan kalah.
Saat jam tangan Alta menujukkan angka 01:23 Alta berdiri lalu mengajak teman-temannya pulang. Raskal yang masih mabuk ia papah keluar menuju mobilnya di parkiran. Setelah menemukan mobilnya yang berada tidak jauh dari motor Raskal ia merogoh saku jaketnya lalu membuka pintu mobil dan menghempaskan tubuh Raskal di kursi penumpang.
Alta segera menyusul masuk lalu mulai mengemudikan mobilnya. Urusan motor Raskal ia abaikan saja. Biar dicuri sekalian Alta tidak peduli. Itu pelajaran agar Raskal lebih berpikir panjang terlebih dahulu dalam melakukan suatu hal.
Setelah sampai di basement apartemen, Alta memapah Raskal yang sibuk meracau. Ia memilih membawa Raskal ke apartemenya. Dengan segera Alta berjalan menuju lift dan menekan angka 19. Setelah pintu lift terbuka Alta segara keluar, menyusuri lorong panjang menuju apartemennya. Setelah sampai Alta menekan kodenya lalu bergegas masuk, membuka pintu kamar dan membantu Raskal berbaring di tempat tidur kemudian melepaskan sepatu Raskal.
Saat ia hendak beranjak ke kamar mandi, ponsel Raskal berdering. Alta merogoh saku celana Raskal dan mengambil benda pipih tersebut. Ternyata notifikasi pesan WA. Siapa tahu penting jadi Alta membukanya, toh Raskal tidak akan keberatan. Alta mengernyitkah dahinya melihat nama pengirim yang tertera di layar ponsel Raskal.
Lamanda
Kal, jangan lupa catatan sejarah gue dibawa.
Alta memilih duduk di tepian ranjang sambil melihat sekilas ke arah Raskal. Menuruti kemauannya, Alta scroll up pesan-pesan sebelumnya, meskipun lancang, ia tidak peduli.
Tidak banyak pesan penting memang tapi begitu tahu soal Raskal yang memberi Lamanda coklat, membuat Alta berdecih dan menghapus kontak Lamanda. Ia meletakkan ponsel Raskal di atas nakas dengan kasar.
Setelah itu, ia meraih ponselnya dan menekan tombol 1, tombol pintas menuju kontak seseorang, lalu menelfonya.
Benerapa detik berlalu, dan nyatanya, masih sama seperti sebelumnya. Suara perempuan di seberang membuat harapan-harapan Alta kembali pupus.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi. The numb--
***
NEXT???