Kondisi Sekar semakin membaik dan dokter pun sudah memperbolehkan Sekar untuk pulang, tapi Ardan memaksa Sekar untuk beristirahat lebih lama sampai luka operasinya benar-benar kering. Hubungan mereka masih tetap sama, naik turun dan terkadang diselingi pertengkaran untuk masalah sepele.
"Kamu tidak perlu sekasar itu ke orang lain, bikin malu saja," ujar Sekar setelah perawat keluar dari ruang perawatannya. Ardan dan perawat sempat bersitegang saat Ardan tidak suka melihat Sekar meringis kesakitan saat perawat itu membersihkan luka bekas operasi Sekar yang belum mengering.
Ardan diam dan mengacuhkan omelan Sekar, "Suster itu tidak salah dan kamu selalu melampiaskan kekesalan dengan menghardik dan memaki orang lain. Cobalah belajar menghargai orang lain," sambung Sekar lagi yang masih belum bisa menerima sikap arogan Ardan tak kunjung berubah.
"Dia teledor dan membuat kamu kesakitan dan aku tidak suka, salah?" tanya Ardan. Sekar kehilangan kata-kata dan malas melanjutkan pertengkaran mereka. Sejak menikah pun mereka mulai mengurangi sapaan formal dan menyapa selayaknya pasangan suami istri, tentu atas paksaan Ardan.
"Bayi aku ...."
"Bayi kita, perlu kamu ingat kalau bayi itu tidak saja anak kamu tapi juga anak aku. Aku sudah mendaftarkan namanya dan menurut hukum yang berlaku bayi itu berhak menyandang nama Mahesa ... dan nama yang aku pilih adalah Alleia Sakara Mahesa," ujar Ardan memberi tahu nama yang sudah dipersiapkannya untuk anaknya.
"Kamu benar-benar manusia egois yang pernah aku kenal! Kamu tidak berhak atas anak aku. Aku lebih berhak memberinya nama, Alleia! Aku nggak suka!" amarah membuat Sekar berteriak kesal. Andai bekas jahitannya sudah mengering mungkin ia akan turun dari ranjang dan menghajar Ardan yang seenaknya mengklaim anaknya dengan nama Mahesa dan tanpa seizinnya memberi nama Alleia.
"Stttt bayi kita," Ardan meletakkan jari telunjuknya di bibir.
"Kamu ..." Sekar menghentikan makiannya saat pintu terbuka. Perawat datang membawa box Alleia masuk ke dalam ruang rawat Sekar. Sekar sangat ingin melihat Alleia meminta perawat langsung mengantar Alleia ke pangkuannya tapi Ardan menahan perawat itu.
"Selamat sore ayah dan ibu, sudah waktunya Alleia mimik susu."
"Terima kasih sus, saya yang akan menyerahkan Alleia ke istri saya," perawat itu tersenyum dan meninggalkan box Alleia di tangan Ardan.
Ardan menggendong Alleia yang masih tertidur pulas dan menciumnya dengan tulus. Alleia tidak terbangun meski Ardan menciumnya beberapa kali.
"Halo anak ayah, pagi ini kamu wangi dan cantik sekali," Ardan sengaja menggendong Alleia di depan Sekar untuk memanas-manasinya.
"Kembalikan anak aku," Sekar mencoba meminta Alleia yang masih digendong Ardan. Ardan menggeleng dan memeluk Alleia seakan itu miliknya. Sekar ingin turun dari ranjang tapi bekas jahitannya masih terasa ngilu, "Apa yang kamu inginkan? Belum cukup kamu menyiksa aku?" tanya Sekar dengan suara bergetar. Ia sangat ingin memeluk Alleia tapi Ardan tak kunjung menyerahkan Alleia ke tangannya.
"Aku akan menyerahkan Alleia tapi kamu harus berjanji untuk selalu ingat kalau Alleia itu anak kita bedua. Aku ayahnya dan kamu ibunya, di depan Alleia kita harus bersikap layaknya sebuah keluarga harmonis dan berjanjilah jangan buat kegaduhan di depannya. Saya tidak mau Alleia tumbuh di dekat ibu yang suka berteriak dan marah-marah," ujar Ardan memberi syarat. Hanya ini yang bisa ia lakukan agar kelak Sekar tidak berusaha pergi darinya, dulu ia berjanji tidak akan memaksakan kehendaknya lagi tapi Sekar terlalu keras dan akan membangkang jika tidak dipaksa.
"Jangan harap!" tolak Sekar yang merasa Ardan sudah melewati batas. Sekar memang istri sahnya tapi untuk hidup selayaknya kelurga, Sekar belum mampu. Masih ada rasa benci di hatinya walau terkadang ada saatnya Sekar luluh melihat sikap hangat Ardan.
"Oke, kalau begitu aku akan minta perawat mengembalikan Alleia ke ruangan bayi dan menyuruh perawat memberikan susu formula. Aku juga akan melarang kamu menggendongnya sampai syarat yang aku buat tadi kamu penuhi," Ardan memutar tubuhnya dan berancang-ancang ingin membawa Alleia keluar dari kamarnya.
"Jangan ... oke ... lagi-lagi kamu menang," akhirnya Sekar pasrah dan terpaksa mengalah untuk kesekian kalinya. Sekar tidak mau Alleia minum susu formula sedangkan payudaranya sudah membengkak karena ASI semakin lama semakin melimpah.
"Jadi ..."
"Kamu ayahnya dan aku ibunya, kita keluarga harmonis dan kita tidak diizinkan bertengkar atau berteriak jika Alleia ada di dekat kita, puas!" sindir Sekar sambil mengulang semua ucapan Ardan tadi.
"Bagus,"Ardan mendekati Sekar dan menyerahkan Alleia ke pangkuan Sekar. Bayi mungil itu menggeliat manja dan mengeluarkan lidahnya seakan tahu kalau kedua orangtuanya terkadang bersikap kekanakan. Ardan menyentuh pipi gembil Alleia dengan jarinya dan menyentuh pucuk kepala Sekar lalu mengelusnya. Sekar mencoba menghindar tapi tatapan Ardan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sabar Sekar, terimalah nasib kalau laki-laki menyebalkan ini adalah suamimu," ujar Sekar dalam hati.
Sekar mulai membuka satu persatu kancing baju untuk menyusui Alleia tapi berhubung Ardan masih tidak beranjak dari tempatnya membuat Sekar menghentikan kegiatannya lalu melirik Ardan yang menatapnya tanpa berkedip.
"Aku mau menyusui Alleia," ujar Sekar.
"Silakan, aku tidak pernah larang kamu menyusui Alleia. Ya bagus kalau seorang ibu menyusui anaknya, bukankah itu sudah tugas seorang ibu," balas Ardan acuh dan tetap tidak peka dengan sindiran Sekar.
"Iya, tapi aku tidak nyaman saat menyusui ada kamu,"
"Kenapa? Aku ayahnya Alleia dan aku berhak mendampingi dia saat menyusu dengan kamu. Aku tidak mau gizinya tidak terpenuhi jika kamu malas-malasan menyusuinya," balas Ardan. Bukannya pergi Ardan malah menarik kursi dan duduk di samping Sekar. Alleia mulai kehausan dan minta segera disusui.
"Ya Tuhan! Sabar Sekar," Sekar hanya bisa mengeluh dalam hati dan mulai menyusui Alleia walau ia harus memutar tubuhnya agar Ardan tidak melihat payudaranya.
"Aditya," lagi-lagi nama itu yang keluar dari mulut ibunya saat Pasha datang berkunjung. Pasha meletakkan beberapa barang keperluan ibunya dan makanan kesukaan ibunya.
"Aku Pasha Bu, bukan Aditya."
Kematian Aditya membuat keluarga Pasha hancur berantakan, sang ibu yang belum menerima kematian Aditya semakin lama semakin menunjukkan tanda-tanda tidak waras. Setiap hari ia menangis dan memanggil nama Aditya. Terkadang ibunya memanggil Pasha dengan nama Aditya. Dokter akhirnya menyuruh Pasha memasukkan ibunya ke dalam rumah sakit jiwa dan hampir dua bulan ini belum ada perubahan apa-apa.
Sang ayah yang seharusnya menjadi penguat malah kabur dengan wanita simpanannya dan meninggalkan Pasha serta ibunya dengan menanggung luka batin.
"Kamu baik-baik saja Aditya? Ibu sudah bilang berulang kali kalau wanita itu jahat. Dia hanya memanfaatkan kamu, pokoknya kamu nggak boleh dekat-dekat wanita sial itu," oceh ibunya sambil menimang sebuah boneka dan menganggap boneka itu adalah Aditya.
"Bu,"
"Stttt Aditya sedang bobok," airmata Pasha jatuh dan hatinya hancur melihat ibunya seperti ini. Pasha ingin ibunya segera sembuh dan memulai hidup baru bersamanya.
"Bu, kalau aku bawa anak Aditya ke pangkuan Ibu ..." Pasha menggelengkan kepalanya untuk mengusir rencana bodohnya. Untuk menemukan Sekar saja ia kesulitan apalagi mengambil anak Aditya dari Sekar, bisa-bisa Sekar membencinya dan enggan memaafkannya.
"Anak? Ibu mau ketemu anak Aditya, hanya anak itu satu-satunya peninggalan Aditya," ujar ibunya dengan wajah mengiba. Pasha mengutuk kebodohannya karena mengungkit anak yang entah berada di mana.
"Bu,"
"Ibu tidak mau bertemu kamu kalau belum bisa menemukan cucu Ibu," ibu Pasha memutar tubuhnya dan melanjutkan nyanyiannya sambil menepuk-nepuk bonekanya.
Pasha menghempaskan tubuhnya di sofa dan membuka jaketnya dengan kesal. Renata meletakkan air es di meja dan melihat wajah Pasha muram sejak kepulangannya.
"Kamu kenapa?" tanya Renata sambil memungut jaket yang dibuang Pasha sembarangan.
"Ibu meminta hal yang mungkin tidak bisa aku penuhi," balas Pasha.
Renata meletakkan bakinya dan duduk di samping Pasha. Renata sudah menganggap Pasha seperti adiknya sendiri dan ia yakin masalah kali ini sangat pelik sehingga Pasha pulang dalam kondisi kacau dan tercium aroma minuman keras dari mulutnya.
"Ibu minta apa?" tanya Renata penasaran. Pasha menjambak rambutnya dan meminum air es yang disediakan Renata sampai habis.
"Sesuatu yang mungkin aku tidak bisa kabulkan dalam waktu dekat. Butuh waktu dan usaha keras agar keinginan ibu itu bisa aku penuhi. Arghhhhhh, kenapa semuanya jadi kacau!" teriak Pasha. Renata memegang tangan Pasha untuk menenangkannya.
"Coba kamu ceritakan, siapa tahu aku bisa membantu,"
"Ibu meminta aku datang membawa cucunya, sedangkan aku sama sekali tidak tahu di mana istri mendiang adikku kini berada. Ibu tidak mau bertemu aku sebelum aku memenuhi keinginannya," ujar Pasha. Renata membuang napasnya dan merasa masalah Pasha memang sangat sulit dan pelik.
"Bagaimana kalau kita cari orang yang mau kita ajak kerjasama,"
"Kerjasama?"
"Iya, orang itu harus punya bayi dan bayi itu nantinya kita jadikan sebagai anak adik kamu. Ibu pasti senang dan perlahan demi perlahan ibu pasti akan sembuh," ujar Renata.
"Tapi ibu bukan orang bodoh, dia pasti tahu kalau bayi itu bukan anak Aditya. Ide itu bagus tapi beresiko,"
"Hmmmm, iya juga sih. Ada satu cara lagi tapi butuh waktu dan kesediaan kamu," Renata menggigit bibirnya. Ide yang akan diutarakannya ini memang beresiko besar untuk dirinya tapi hanya ini satu-satunya cara menolong Pasha.
Pasha menatap Renata antusias, "Rencana apa?" tanya Pasha penasaran.
"Anak kandung kamu," Pasha cukup kaget dengan ucapan Renata. Ingatannya tentang Sekar dan anak yang tidak diketahuinya kembali hadir dalam benaknya, tapi sama seperti Sekar. Anak itu pun hilang bak ditelan bumi, Pasha sama sekali tidak tahu di mana anak itu, "Kamu harus menikah atau menghamili perempuan jika kamu tidak mau ada ikatan. Dalam waktu sembilan bulan anak itu akan lahir dan bisa menjadi obat untuk kesembuhan ibu kamu," sambung Renata.
Pasha tertawa terpingkal-pingkal, "Ya Tuhan, ide apa itu. Kamu pikir 'menghamili' itu main-main? Ini masalah kehidupan seorang anak, kamu pikir setelah ibu sembuh dan tahu kalau anak itu ternyata anak aku bukan anak Aditya, dia nggak akan sakit lagi?"
"Ibu jangan sampai tahu. Maaf kalau ide aku itu aneh," Renata menunduk malu. Pasha memegang tangan Renata dan menepuknya pelan.
"Makasih sudah peduli, tapi aku akan cari cara lain ...."
Drtt drttt
Pasha mengeluarkan ponselnya dan melihat nomor rumah sakit muncul di layar ponselnya.
"Halo ..."
"Ibu Bapak mencoba bunuh diri ..."
Ponsel yang dipegang Pasha jatuh ke lantai, Renata memungut ponsel itu dan mendengar dari perawat kalau ibu Pasha mengalami koma dan kesempatannya untuk bertahan sangat tipis.
"Baik, saya akan menyuruh anaknya ..." Pasha merebut ponsel dari tangan Renata dan mematikannya. Pasha menatap Renata dengan mata merah dan wajah kalut.
"Pasha ibu kamu ..."
"Izinkan aku menghamili kamu, please."