webnovel

Kartu AS

Sekar masih tetap menggosok lantai kamar mandi yang kotor meski perutnya sudah berontak minta diisi makanan. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan mungkin pinggangnya sudah tidak berasa pinggang saking capek dan lelah. Niat Sekar hanya satu, menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin dan setelah itu ia akan menyusun rencana untuk bisa kabur dari sekapan Ardan.

"Tuan sudah tidur. Lebih baik kamu selesaikan semuanya dengan cepat dan setelah itu makan," ujar Arjuna dengan iba. Sekar mengangkat wajahnya dan menatap Arjuna sama seperti ia menatap Ardan.

"Puas kalian menyiksa saya seperti ini? Sampai kapan kalian memperlakukan saya seperti budak dan tahanan? Saya manusia punya hati dan perasaan," tanya Sekar sambil melempar bros yang dipegangnya. Dadanya sesak dan emosinya sulit ditahan lagi.

Tangan Sekar mulai perih dan memerah akibat air sabun dan obat pembersih lantai. Arjuna membuang napas dan masuk ke dalam kamar mandi lalu mengambil segayung air dan menyiramkan air itu ke lantai yang kotor. Sekar membuang napasnya dan berkecak pinggang.

"Saya hanya menuruti apa yang diperintahkan Tuan, tapi bukan berarti saya setuju dengan apa yang dilakukannya. Tuan hanya sedang terbakar amarah dan dendam," bela Arjuna. Sekar tertawa sinis dan mengambil gayung yang dipegang Arjuna.

"Lebih baik kamu keluar dan jangan ganggu pekerjaan saya, kalian semuanya sama saja. Tidak punya hati dan perasaan," usir Sekar dengan kasar sambil menyiramkan air ke arah kaki Arjuna. Arjuna sedikit pun tidak mengelak dan membiarkan saja Sekar menyiramnya.

Ardan sejak tadi melihat apa yang dilakukan Arjuna. Emosinya sedikit tersulut karena Arjuna berani membantu Sekar tanpa sepengetahuannya. Ardan lalu masuk ke dalam kamar yang akan ditempati Sekar dan mengambil kasur lipat untuk menyimpannya.

"Aku terlalu baik dengan memberinya tempat tidur. Budak itu tidurnya di lantai dingin. Agar dia tahu bagaimana rasanya tidur di tempat dingin, seperti yang kini dirasakan Maudy dan calon anakku. Mereka tidur di dalam tanah karena kesalahan bodoh bajingan itu," Ardan mengeram dan menyuruh pengawal lainnya membuang kasur lipat itu.

Jarum jam menunjukkan angka 11 barulah semua pekerjaan Sekar selesai. Kamar mandi yang tadinya kotor mulai bersih dan wangi. Tidak ada lagi lumut dan kerak-kerak hitam membandel. Air dalam bak mandi pun sudah diganti dengan air bersih.

Sekar menghapus peluh yang membasahi wajahnya dan membuang napas dengan berat. Sekar mengangkat tangannya dan seluruh telapak tangannya mulai memutih dan keriput. Rasa perih tidak di tangannya tidak sebanding dengan rasa perih di hati Sekar.

"Kamu baik-baik saya, nak?" tanya Sekar pelan agar tidak ada yang mendengar perbincangannya dengan bayinya, "Ibu harap kamu baik-baik saja dan kuat. Kita harus kuat dan bantu ibu untuk bisa keluar dari penjara ini. Ibu tidak mau kamu tumbuh dan besar di sini. Di samping laki-laki jahat itu," sambungnya lagi.

"Ayo," panggil pengawal. Sekar menghentikan suaranya dan keluar dari kamar mandi dengan pakaian sudah basah dan penampilan berantakan.

"Tolong beritahu Tuan kamu kalau saya butuh baju ganti dan mandi," ujar Sekar dengan sinis. Pengawal itu melepaskan pegangannya dan mengetuk pintu kamar Ardan.

Tok tok tok

"Ada apa," jawab Ardan dengan dingin dan mata tertutup rapat. Terlalu sulit untuk memejamkan mata semenjak Maudy meninggal dan kali ini pun Ardan masih sulit untuk tidur meski seluruh tubuhnya terasa kaku dan letih.

"Maaf saya mengganggu Tuan,"

"Masuk dan bawa wanita itu masuk," ujar Ardan lagi. Sekar mendengar perintah Ardan langsung menolak dan takut Ardan melakukan hal gila apalagi di dalam kamar itu tidak ada cahaya sama sekali. Sekar menggeleng dan meminta pengawal tidak membawanya ke kamar Ardan.

"Saya tidak mau!" tolak Sekar. Pengawal itu tetap menarik tangan Sekar walau cakaran ia dapatkan. Perintah Ardan lebih menakutkan dibandingkan apa pun.

"Masuk dan bersikaplah baik kalau mau hidup tenang," bisik pengawal itu pelan sebelum ia mendorong tubuh Sekar masuk ke dalam kamar Ardan yang gelap. Sekar kembali menggigil, bukan karena kedinginan tapi rasa trauma yang masih ada dan sulit hilang dari pikirannya.

"Sudah selesai semua pekerjaan kamu? Itu baju ganti, hanya beberapa helai dan saya tidak akan pernah memberikan baju ganti lain," tanya Ardan sambil melemparkan sebuah tas berisi baju ganti.

Sekar memungut tas itu dengan tangan bergetar. Tubuhnya panas dingin dan peluh semakin membasahi tubuhnya. "Tolong izinkan gue keluar dari sini dan berhenti menyiksa gue. Sudah cukup lo ganti wajah gue dengan wajah orang lain, jadikan gue budak, dan menyiksa gue dengan ketakutan seperti ini," pinta Sekar dengan suara lirih. Ardan mendekati Sekar dan mencengkram dagu Sekar dengan kasar dan kini jarak mereka sangat dekat bahkan Sekar bisa merasakan hembusan napas Ardan di wajahnya.

"Sesuai kesepakatan yang kita sepakati. Sekali saja mulut ini berkata tidak sopan maka akan ada hukumannya. Dan …" Ardan melepaskan cengkramannya dan menjauhi Sekar, "Dan barusan saya mendengar kamu masih tidak memanggil saya Tuan," Ardan menepuk pelan tangannya dan saat pengawal membuka pintu kamar terbuka secercah sinar membuat Sekar melihat Ardan sedang berdiri tanpa memakai baju di badannya. Sayangnya cahaya itu hanya sebentar dan pintu itu kembali tertutup.

"Hari ini tidak ada makan malam untuk budak ini, paham?" ujar Ardan sambil berbaring di ranjangnya.

"Baik Tuan," jawab pengawal sambil menarik Sekar keluar dari kamar Ardan.

Sekar ingin memaki Ardan tapi pengawal itu langsung menariknya keluar. Sekar menghempaskan tangan pengawal itu dan masuk ke dalam kamarnya. Sekar paham betul Ardan akan menggunakan rasa takut dan traumanya untuk dijadikan alat pengancam dan Sekar tidak mau itu terus terjadi dan membiarkan Ardan semakin menginjak-injak harga dirinya.

"Apa yang harus ibu lakukan, nak?" tanya Sekar lirih. Sekar berdiri di depan cermin besar di dinding. Sekar memegang wajahnya dan lagi-lagi air matanya jatuh.

"Kenapa hidup kita jadi seperti ini Mbak. Mbak harus hidup dengan laki-laki kejam itu untuk uang. Mbak menjual diri agar bisa menghidupi keluarga Mbak dan aku, tapi akhirnya? Bukan kebahagiaan yang Mbak dapatkan tapi hilangnya nyawa Mbak ...." Sekar terdiam beberapa saat, "Aku yakin kecelakaan itu terjadi tanpa disengaja Mas Aditya. Mbak harus percaya kalau dia bukan peminum," Sekar membuang napas saat sadar kebodohannya yang bicara sendiri sedangkan Maudy sama sekali tidak ada di depannya.

"Andai aku tahu kalau uang itu hasil dari menjual diri mungkin aku… aku nggak sanggup membayangkan penderitaan yang Mbak jalani. Maaf … maaf … maaf aku nggak bisa menolong Mbak," ujar Sekar lagi.

Setelah puas mencurahkan hatinya Sekar pun membuka tas yang tadi diberi Ardan. Di dalamnya berisi beberapa lembar daster lusuh dan pakaian dalam yang hanya ada tiga pasang.

"Laki-laki itu memang manusia kejam. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkan semua perbuatannya," geram Sekar dengan kesal. Sekar mengambil sebuah daster dan menggantinya. Sekar tidak peduli dan memilih tidur beralaskan kain tipis saat ia tidak menemukan kasur lipat.

Prankkkkkkk

Tuan Felix menunduk ketakutan dan meremas tangannya yang dingin wanita yang berdiri di depannya menatapnya tajam. Lemparan gelas di dinding tadi semakin membuatnya ketakutan. Peluh membasahi tubuh Tuan Felix dan Tuan Felix tahu wanita itu sangat membenci melihatnya ketakutan seperti tadi.

"Semuanya memang di luar rencana. Wanita murahan itu menggagalkan semua rencana kita, tapi aku janji kali ini rencana kita tidak akan gagal lagi. Aku sudah …." Wanita itu mengangkat tangannya dan mengambil sebotol minuman beralkohol dari lemari penyimpan yang ada di ruangan itu.

Tidak ada kata-kata keluar dari mulut wanita itu semakin membuat Tuan Felix ketakutan. Sejak kecil Tuan Felix selalu tidak berkutik di depan wanita yang selalu menindas dan memperalatnya agar semua rencana liciknya berjalan lancar.

"Aku sudah peringatkan berulang kali … berulang kali Felix," akhirnya wanita itu mengeluarkan suaranya.

"Aku minta maaf karena menggagalkan rencana Mbak Marinka," wanita yang ternyata Ibu Marinka meletakkan gelas yang dipegangnya dengan keras di atas meja.

"Aku marah … sangat-sangat marah. Rencana yang kita susun seharusnya sebentar lagi berhasil tapi …." Ibu Marinka mendekati Felix dan mencengkram kerah baju adiknya itu dengan kasar.

"Tapi kebodohan kamu mengacaukan semuanya. Wanita itu dan anaknya sebentar lagi akan menguasai seluruh harta Ardan. Harta itu sudah di depan mata kita dan seharusnya tinggal menunggu waktu semua harta itu jatuh ke tangan kita," Ibu Marinka mengeram kesal.

Sudah cukup ia memasang topeng sebagai ibu tiri yang baik hati. Selama ini ia diam dan menerima apa pun keputusan mendiang suaminya saat membawa anak hasil selingkuhannya tinggal seatap dengan dirinya, tapi tidak saat mendiang suaminya lebih memilih mewariskan semua harta Mahesa Group ke tangan Ardan bukan Renata yang jelas-jelas hasil dari pernikahan sah.

"Ma … maafin aku Mbak,"

"Andai saja aku tidak punya mata-mata di kantor pengacara mungkin sampai kiamat datang pun aku tidak tahu kalau Ardan sudah mengubah surat wasiatnya. Ardan menyerahkan setengah harta warisannya untuk Maudy dan setengahnya lagi untuk anak kandungnya. Kamu tahu artinya? Itu artinya Maudy bisa menguasai seluruh harta Ardan jika anak sialan itu mati," Tuan Felix tercengang dan tidak percaya dengan apa yang Ibu Marinka katakan.

"Mbak serius?" tanya Tuan Felix.

"Ya, dan sekarang rencana apa pun tidak akan membuat kita bisa menguasai harta Mahesa Group. Maudy meninggal dan anak kandungnya pun meninggal, dan itu berarti seluruh keluarga harta Mahesa Group akan menjadi milik panti asuhan," Ibu Marinka sangat marah dan menendang kaki Tuan Felix saking kesalnya.

"Ti … tidak Mbak. Kita masih bisa menguasai seluruh harta itu jika Ardan kita bunuh. Kita habisi seolah-olah anak sialan itu mati karena kecelakaan atau terserah Mbak,"

"Kamu tuli atau bodoh, hah! Jika kita bunuh Ardan berarti harta itu akan berpindah ke panti asuhan dan kita akan jadi gelandangan," Tuan Felix mengutuk kebodohannya lagi. Rasa kalut dan takut membuat Tuan Felix memutar otaknya.

"Ah, sepertinya ada seseorang yang akan membantu kita."

"Siapa?" tanya Ibu Marinka.

Tuan Felix membisikkan sesuatu di telinga Ibu Marinka. Kening Ibu Marinka langsung berkerut dan senyum licik akhirnya keluar ketika Tuan Felix selesai memberi tahunya sebuah rencana terakhir yang cukup jitu walau butuh waktu untuk menemukan kartu AS itu.

Nächstes Kapitel