Aslan berkeliling di sekitar tempat parkir dengan hanya mengenakan celana pendeknya dan masih bertelanjang dada. Ia bahkan belum melepaskan sarung tinju yang ia gunakan ketika ia memutuskan untuk mencari Leon di sekitar gudang yang menjadi tempat arena tarung bebas tersebut.
"Leon!" seru Aslan. Untuk pertama kalinya ia kembali memanggil nama tersebut. "Tunjukin diri lu sekarang. Gue ngga bakal lari lagi." Sambil berteriak, Aslan mengedarkan pandangannya di sekitar tempat parkir.
"Leon!" Aslan kembali berseru memanggil Leon. "Gue tahu lu ada di sekitar sini. Cepet keluar." Ia terus berkeliling di sekitar tempat parkir. Namun sayangnya Leon sama sekali tidak muncul di hadapannya.
"Brengsek, cepet keluar!" teriak Aslan sekali lagi.
Salah seorang remaja tanggung yang menjaga di sekitat tempat parkir berjalan menghampiri Aslan yang terlihat seperti orang kebingungan. "Lu nyariin siapa, sih, Bang?"
Aslan segera menoleh pada remaja tersebut. "Lu liat ada orang yang mirip banget sama gue, ngga?"
Remaja itu terdiam dan mengingat-ngingat wajah orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Ia kemudian menggeleng pada Aslan. "Kayanya ngga ada, Bang."
"Yang bener lu?" tanya Aslan untuk memastikan.
"Beneran, Bang. Ngapain juga gue bohong," sahut remaja tersebut.
"Sialan," rutuk Aslan. Ia mendengus kesal dan kembali berjalan ke dalam gudang tua yang dijadikan arena pertarungan itu sembari melepaskan sarung tinjunya.
----
"Lu yakin ngga mau nemuin dia dulu?" ujar Nadia. Ia dan Leon sedang melihat Aslan yang sedang berjalan masuk ke dalam gudang tua tempatnya bertarung. Sedari tadi keduanya menyaksikan Aslan yang sedang berjalan mondar-mandir di sekitar tempat parkir. "Dia pasti lagi nyariin lu," lanjut Nadia.
"Ini bukan waktu yang tepat buat nemuin dia, Nad," sahut Leon.
"Terus kapan waktu yang tepat buat nemuin dia?" tanya Nadia.
Leon menggeleng pelan. "I don't know." Ia teringat tatapan mata Aslan ketika berada di dalam arena. Ia kemudian menghela napas panjang dan segera mengendarai motornya untuk menjauh dari kawasan gudang tua tersebut.
----
Aslan melemparkan sarung tinjunya dengan kasar ke arah bangku panjang tempat ia menaruh tasnya. Ia kemudian duduk di bangku panjang tersebut sambil meremas kepalanya. "Kenapa lu malah muncul sini? Gue ngga mau lu liat gue kaya tadi," rutuk Aslan di dalam hatinya.
Pintu ruang ganti Aslan tiba-tiba terbuka. Bang Ole masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah amplop tebal berisi uang. Ia menepuk-nepuk bahu Aslan menggunakan amplop tersebut.
Aslan mengangkat wajahnya dan menatap Bang Ole yang berdiri di depannya dengan amplop berisi uang. "Bonus buat lu," ujar Bang Ole sembari menyerahkan amplop yang ia bawa pada Aslan.
"Makasih, Bang," sahut Aslan sembari menerima amplop tersebut.
"Baru menang muka lu udah kusut begitu," goda Bang Ole.
Aslan tidak menghiraukan Bang Ole yang menggodanya. Ia berdiri dan segera mengenakan celana jeansnya. Bang Ole diam saja melihat Aslan yang merapikan barang-barangnya dan bersiap pergi dari tempat tersebut.
"Gue balik dulu, Bang," ujar Aslan sembari menyampirkan tas di punggungnya. Ia kemudian berjalan keluar dari ruang gantinya.
Bang Ole hanya bisa mengernyitkan dahinya melihat Aslan yang keluar begitu saja dari ruang gantinya setelah menerima bonusnya. "Kenapa itu anak?" ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
----
Seorang pria paruh baya berdiri di luar tembok gudang tua yang menjadi arena pertarungan liar sambil menghisap rokoknya. Matanya terus tertuju pada Aslan yang kini sedang berjalan ke arah motornya.
"Gara-gara dia gue jadi rugi terus," gumamnya setelah ia menghembuskan asap rokoknya ke udara. Ia kemudian mengalihkan perhatiannya pada jagoannya yang tadi dikalahkan di arena.
Jagoannya itu hanya bisa bersimpuh di depan pria paruh baya itu sambil tertunduk.
"Kita ngga bisa gini terus," ujar pria paruh baya tersebut. "Gue harus ngelakuin sesuatu biar si Aslan sama Ole ngga semakin merajalela." Pria paruh baya itu membuang puntung rokok yang baru ia hisap setengah ke tanah dan menginjaknya. Setelah itu, ia pergi meninggalkan area gudang tua tersebut dengan diikuti oleh para anak buahnya. Termasuk jagoannya yang tadi babak belur habis dihajar oleh Aslan.
----
"Arggh," teriak Leon kesal sambil membanting helm miliknya. Ia kemudian berjalan ke arah ruang keluarga yang ada di apartemennya dan meremas-remas kepalanya sendiri.
Nadia segera memungut helm milik Leon dan memperhatikannya sekilas sebelum ia kembali meletakannya di lemari kabinet. "Harga emang ngga bohong," ujarnya sembari meletakkan helm tersebut. Setelah itu ia berjalan menghampiri Leon yang sedang duduk di ruang keluarga.
"Why you so piss of?" tanya Nadia. "Lu yang memilih buat menghindar kali ini. Bukan Aslan. Dia di sana nyariin lu," lanjut Nadia.
"Did you really know what I feel right now? Did you?" sahut Leon dengan suara yang sedikit meninggi.
"I know," sahut Nadia. "Lu merasa ngga berdaya. Lu merasa hidup Aslan seperti ini karena itu salah lu yang ngga nyari dia lebih awal."
"Looking at your twin brothers fight just like an animal, and you expecting me to not feel anything—" Leon menghela napasnya. Ia kemudian melanjutkan kata-katanya. "I'm broken into pieces right now. That's all my fault. I have a chance to find him early, but I didn't take that chance. I'm too busy with my own life and I almost forget that I have twin brothers until a month ago. He can have a good life if I—"
Leon terdiam. Ia menatap Nadia dalam-dalam. "I just ruined his life. Even when I come back here, I can't change anything. I'm too late." Ia kembali tertunduk sambil meremas kepalanya.
Nadia mendekatkan dirinya pada Leon dan merangkulnya. "Don't push yourself too hard, Leon. You're here right now. And of course, you still have a chance. It's not too late. You have to meet him, he will understand why you've just come into his life now."
"I don't know, Nad," sahut Leon. "When I look into his eyes, I just can feel anger and desperate in his eyes."
"But you see by yourself when he tries to find you. It means he really wants to meet you or maybe he misses you too. Your bond with Aslan may be stronger than you know, and it'll become stronger when you two already met," ujar Nadia. "Let the past go."
Leon menegakkan tubuhnya sembari menghela napas panjang. "I'll try to meet him again."
"Nah," Nadia menepuk punggung Leon. "That's my Leon. Lu selalu bilang sama gue jangan biarkan masa lalu menghancurkan lu, sekarang waktunya lu buktiin ucapan lu itu. Ngga ada yang namanya terlambat kalau kita berniat untuk memperbaiki sesuatu."
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it.
Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^