webnovel

Part 56 : Tanda Tangan

''Sesuai yang aku janjikan, aku akan memberikan ratusan uang biru buat kamu ...'' Pria berpakaian serba biru ini meletakan amplop coklat di atas meja kerjaku.

''Di amplop itu ada 5 juta, apakah itu cukup?'' ujar dia lagi.

''Itu lebih dari cukup, tapi aku tidak menjual sebuah karya. Karena karya sejatinya tak ternilai dengan apa pun.''

''Anggaplah itu sebagai imbalan atas kerja kerasmu menuliskan tentang kisahku.''

''Tidak. Aku tidak bisa menerimanya ...''

''Kenapa?''

''Kau lebih membutuhkan uang itu ...''

''Aku masih memiliki tabungan yang cukup untuk biaya hidupku. Kurasa kau tahu itu.''

''Maaf, bukan aku menolak rejeki. Namun, aku tak tega menerimanya. Kau masih memerlukan uang itu.''

Dia menghela napas. Menatapku risau dengan pandangan heran di mata birunya.

''Bagiku menulis itu sebuah hobby. Menulis kisahmu adalah sebuah kebetulan. Kebetulan yang menyenangkan. Karena banyak pembaca wattpad yang menyukai kisahmu. Dan itu sudah menjadi kepuasan tersendiri buatku.''

''Jadi kau tidak mau menerima uang biru ini?''

''Iya ... tetapi ada beberapa yang ingin kupertanyakan kepadamu.''

''Apa yang hendak kau pertanyakan padaku?''

''Aku dan pembacaku masih penasaran dengan kisah hidupmu selepas kau lulus dari bangku SMA. Apa kau bersedia menceritakannya?''

''Hehehe ...'' Dia tersenyum. Cukup manis. Indah. Dia memang lelaki cantik yang sempurna. Pantas bila banyak laki-laki 'BELOK' yang menyukainya.

''Apa kau masih berhubungan dengan Bang Sam?''

''Apa kau bercinta lagi dengan Bang Sam setelah kejadian malam itu?''

''Hahaha ... kau kepo sekali?'' Pria biru ini mengernyit tajam.

''Bukan aku, tetapi pembacaku!'' sergahku membela diri.

''Hehehe ... sama saja!''

''Hahaha ...'' Kami jadi tertawa. Renyah juga tertawanya. Seperti kerupuk garing.

''Apa kau tidak memiliki rasa sedikit pun terhadap Hua Wei?''

''Hmmm ...''

''Dan satu pertanyaan lagi ...''

''Apa?''

''Apa kau menemukan ayah kandungmu? Banyak pembaca termasuk aku mengira kalau Mr. Iphone itu ayah kandungmu, apa itu benar?''

''Hahaha ... oke, oke ... aku akan ceritakan semua yang menjadi pertanyaanmu itu.''

__***__

Hari kelulusan itu sangat menyenangkan bagi kami. Seragam putih abu-abu yang bersih berubah menjadi corak warna-warni piloks. Penuh dengan tanda tangan teman-teman yang ingin membubuhkan kenang-kenangan.

''Vivo ...''

''Iya ...''

''Apa aku boleh menempelkan tanda tanganku di baju seragammu?''

''Ya, tentu saja, Wei ... silakan!''

''Asiiikkk!''

Kemudian dengan muka yang berseri-seri Hua Wei mengambil sebuah spidol dari dalam tasnya. Cowok keturunan Tiong Hoa ini langsung mencoretkan spidol tersebut ke pakaian seragam sekolahku. Dia membubuhkan tanda tangannya tepat di dada kiriku. Selain tanda tangan ia juga menuliskan sebuah kalimat yang cukup menggelitik yang berbunyi, 'Kenanglah daku di hatimu'. Puitis sekali. Aku jadi tertawa. Dia juga.

''Sekarang giliran kamu, Vo ...'' Hua Wei menyerahkan spidol itu ke tanganku, ''Kau boleh mencoret di bagian mana saja dan tulisan apa pun sesuai keinginanmu!''

''Hehehe ... di bajumu sudah terlalu penuh coretan, Wei ... bagaimana kalau aku membubuhkan tanda tanganku di celana abu-abumu saja.'' Aku merundukan tubuhku dan jongkok di hadapan Hua Wei. Kepalaku sejajar dengan selangkangannya. Kedua tanganku berpegangan pada kedua pahanya. Seperti orang yang akan menyepong. Ooops!

''Kau mau menulis di mana, Vo?''

''Di sini!'' Aku menunjuk paha bagian kanannya.

''Oh ... oke, tidak apa-apa!''

Tanpa banyak berpikir lagi, aku segera memborehkan tanda tanganku di celana Hua wei tepatnya di bagaian pahanya. Saat aku menulis, Hua Wei tersenyum-senyum seolah menahan geli.

''Hehehe ...''

''Kenapa, kok ketawa?''

''Geli, tapi enak!''

''Hahaha ... dasar!''

''Aduh!'' seru Hua Wei tiba-tiba.

''Aduh, kenapa, Wei?''

''Aku jadi ngaceng nih, Vo!''

''Hahaha ... kok bisa?''

''Habisnya kamu mengelus-elus pahaku, sih.''

Memang benar, saat aku memperhatikan area antara kedua pahanya, ada tonjolan yang membesar. Kupikir itu kontol Hua Wei yang sedang ereksi.

''Kau harus bertanggung jawab, Vo ...''

''Tanggung jawab apa?''

''Lemesin lagi kontolku!''

''Please. Jangan bercanda, Wei ...''

''Kali ini aku serius, Vo ...''

Hua Wei menarik tanganku dan membawaku masuk ke ruang toilet.

''Wei, kita mau ngapain ke sini?''

''Mau apa aja yang penting enak!''

Hua Wei dan Aku berdiri saling berhadapan. Saling menatap. Saling menyimpan rahasia pikiran masing-masing.

''Vivo ... sejujurnya, aku menyukaimu.''

''Hah? Apa kamu gay?''

''Bukan.''

''Terus kenapa kau menyukai aku. Padahal kau tahu, aku ini laki-laki juga.''

''Memangnya kalau aku bukan gay, aku tidak boleh menyukaimu?''

Aku jadi terdiam.

''Aku mencintaimu, Vo ...''

''Apa kau sudah mengetahui kalau aku ini gay, Wei?''

Hua Wei mengangguk.

"Siapa yang bilang?"

"Sikapmu, Vo ... Cara memandangmu terhadap laki-laki sangat mencerminkan bahwa kau penyuka sejenis."

"Sejelas itu?"

Hua Wei mengangguk lagi.

''Kau tidak takut? Kau tidak membenciku?''

''Tidak. Aku justru jatuh cinta padamu, Vo ...''

''Kenapa?''

''Karena kau baik, pintar, cerdas ... dan aku ingin kau jadi pacarku.''

''Kau tidak sedang serius, kan?''

''Aku tidak bercanda, Vo ...''

Aku dan Hua Wei terdiam sesaat.

''Aku mencintaimu,'' Hua Wei mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sangat dekat. Lebih dekat lagi. Kemudian, dia mengecup bibirku. Mencium bibirku. Melumat bibirku. Enak. Sama enaknya dengan ciuman bibir Bang Sam. Aku menikmatinya. Aku terbuai. Aku terlena. Kami hanyut dalam nikmatnya berciuman. Saling memberi tanda bibir. Saling memagut.

Nächstes Kapitel