Tuan Arjun menatap kedua tangannya, kemudian menyesali kembali apa yang telah ia lakukan pada Dinda dulu.
Bulir air mata tidak sengaja terjun bebas dari pelupuk matanya.
"Aku telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku pantas mati di tanganmu setan kecilku sayang."
Tuan Arjun memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Hatinya sakit jika harus membayangkan peristiwa mengerikan itu.
Bagaimana ia tega, dengan kedua tangannya menyiksa wanita yang sangat ia cintai itu dengan begitu kejam. Tuan Arjun sangat mencintai Dinda melebihi nyawanya sendiri.
"Selamanya sayang. Aku akan selalu menjagamu dengan nyawaku. Bahkan aku rela jika aku harus menukar sisa umurku untukmu sayang. Bahkan jika kau mau, ambillah kedua tanganku ini. Tangan yang sudah melukaimu dan calon anak kita."
Mungkin sampai sekitar jam tiga pagi, tuan Arjun Saputra merenungi kesalahannya di kegelapan malam. Bersimpuh menatap ke arah jendela kamar Dinda yang sudah gelap.
"Setan kecilku. Apapun yang akan terjadi nantinya. Percayalah bayi besarmu ini akan selalu menjadi milik setan kecil. Aku akan tetap hidup selama kau hidup sayang. Dan aku juga akan mati jika kau mati. Kita akan hidup dan mati dalam waktu yang sama. Aku janji itu padamu sayang."
"Enngghhhh...." Dinda mencoba merenggangkan otot-ototnya.
"Selamat pagi tuan putri." sapa Daniar.
"Astaga, baru juga buka mata. Sudah nemu beginian saja."
"Ini sudah siang Non. Lihat tuh sudah jam berapa bahkan burung-burung sudah siap untuk tidur siang."
"Baru juga jam setengah dua belas."
"Baru kamu bilang?" Daniar menepuk jidatnya.
"Baik, mandilah nyonya. Tuan Arjun Saputra sudah menunggu anda di ruang kerjanya."
"Ada apa memangnya?"
Daniar menghela nafasnya "Kata tuan Arjun Saputra begini, dengar baik-baik ya."
Dinda hanya menganggukkan kepalanya.
"Dinda setan kecilku cintaku. Selamat pagi menjelang siang setan kecilku. Kalau kau sudah bangun langsung mandi ya, dandan yang cantik. Aku ingin membawamu ke suatu tempat. Oh ya, jangan buru-buru juga ya mandinya nanti enggak bersih. Pakai pakaian yang sopan ya. No undressed clothes?! No no no no. Aku tunggu kamu di ruang kerjaku. See you setan kecilku. Mmuuuuaach." Daniar sedikit tertekan sepertinya. Saat dirinya harus menyampaikan persis seperti apa pesan yang di katakan tuan Arjun Saputra padanya untuk Dinda.
Rasa-rasanya Daniar juga sedikit mual karenanya.
"Ahh so sweet. Muach muach muach. Kiss banyak-banyak."
"Hooeeeekkkkkk...."
"Daniar!!" seru Dinda.
"Maaf maaf, hehe soalnya aku tidak terbiasa menelan hal romantis seperti itu."
"Sudah ah. Cepat bantu aku bersiap-siap. Kayaknya Arjun mau ngajak Dinda kencan deh."
"Baik nyonya. Siap."
Daniar begitu telaten mengurus Dinda layaknya seorang anak kecil yang harus masih ia layani. Membantunya menyisir rambut, memilihkan baju dan memoleskan riasan di wajahnya. Nampak sekali jika keberadaan Daniar sangat berarti baginya. Tak bisa di pungkiri, dari awal dia menginjakkan kakinya di kediaman itu Dinda sudah sangat bergantung pada pelayannya itu.
Daniar bukan hanya seperti pelayan. Bagi Dinda, dia seperti ibu, kakak sekaligus sahabat untuknya. Dinda menganggap Daniar bukan hanya sebagai pelayannya saja. Dinda terlalu menyayangi Daniar layaknya keluarga yang tidak ingin di pisahkan satu sama lain.
"Apa ini sudah cantik?" tanya Dinda sembari terus melihat pantulan wajahnya di cermin.
"Tentu saja, kau akan selalu cantik Dinda."
"Ya, tanganmu memang ajaib. Bisa melakukan apapun. Hmm.... Jadi iri."
"Apa yang kau katakan itu. Kita hidup memiliki kelebihan masing-masing Dinda. Jadi tidak perlu rendah diri begitu."
Dinda menatap Daniar lekat "Aku sungguh beruntung di pertemukan denganmu di dunia ini. Kalau boleh berharap, semoga saja di kehidupan selanjutnya kau menjadi kakakku. Menjadi satu keluarga yang harmonis dan saling menyayangi satu sama lain."
"Kamu ini apa sih Dinda, pagi-pagi sudah bikin hati aku galau saja."
"Hehehehe.."
"Sudah sana cepat. Tuan Arjun pasti sudah menunggumu lama."
"Okey...."
Gegas Dinda melangkah pergi, meninggalkan Daniar sendirian di kamarnya.
Daniar hanya bisa terkekeh melihat tingkah Dinda yang semakin hari semakin aneh.
"Bukan hanya dirimu Dinda. Aku juga berharap seperti yang kau harapkan tadi." gumam Daniar lirih.
----
"Kita mau kemana?" tanya Dinda antusias saat tuan Arjun mengajaknya pergi menaiki mobilnya.
"Menemui papa mertua sayang."
"Jadi papa sudah bisa di jenguk."
"Tentu saja."
"Akhirnya aku bisa memeluk papaku lagi."
Tuan Arjun tentu bahagia melihat Dinda seantusias itu kali ini. Dalam hatinya, tuan Arjun telah ribuan kali berjanji akan selalu melindungi senyum Dinda sampai akhir hayatnya.
"Ayo cepat sayang." Dinda sudah tidak sabar lagi ketika mobil tuan Arjun berhenti.
"Rendi di sini juga." Dinda menunjuk Rendi yang memang tengah berdiri di depan pintu rumah dokter Raihan.
"Selamat pagi tuan dan nyonya." sapa Rendi.
"Bagaimana keadaan papa mertuaku?" tanya tuan Arjun.
"Beliau sudah sadar tuan."
"Hah benarkah?" Dinda menyela.
"Tapi nyonya.."
"Tapi kenapa?"
Rendi terdiam, seperti ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Ada apa? Katakan padaku?" seru Dinda tidak sabar.
"Beliau seperti orang linglung ketika sadar. Ketakutan yang teramat sangat. Dokter Raihan khawatir pak Ferdi mengalami trauma sehingga lupa diri."
Dinda berlari ke dalam rumah dokter Raihan. Tuan Arjun yang ikut panik hanya bisa menyusul Dinda masuk ke dalam.
"Papa.. Papa.. Papa.. Papa.." panggil Dinda.
Dinda menatap ayahnya dari balik jendela kaca ruangan ayahnya di rawat. Terlihat sekarang pak Ferdi tengah duduk bersandar dengan tatapan kosong menatap ke depan.
Tuan Arjun memegangi pundaknya untuk memberinya dukungan mental "Kamu harus tegar sayang."
"Aku tidak apa, me melihat papa yang sudah bertahan hidup saja aku sudah sangat bahagia."
Dokter Raihan datang menghampiri tuan Arjun dan mengajaknya untuk berdiskusi.
"Bagaimana? Apa dia berbicara sesuatu?" tanya tuan Arjun.
Dokter Raihan menggeleng "Tidak tuan, Rasa trauma di pikirannya membuatnya begitu. Susah rasanya untuk menggali informasi dari beliau untuk sekarang."
"Tapi apa papa mertuaku sudah bisa di temui?" tanya Tuan Arjun sembari memperhatikan Dinda yang terus menatap ayahnya itu.
"Tentu saja bisa tuan. Tapi kalian harus hati-hati."
"Baiklah."
Tuan Arjun mendekati Dinda ketika sudah mendapatkan izin dari Dokter Raihan untuk bertatap muka dengan pak Ferdi.
Dengan lutut yang bergetar Dinda melangkah lebih dekat ke arah ayahnya. Sementara tuan Arjun mengawasinya dari belakang Dinda. Memberikan kebebasan pada istrinya untuk melepas rindu dengan ayahnya itu.
"Papa...." panggil Dinda.
Tidak ada respon dari pak Ferdi. Dia masih saja tetap saja fokus dengan satu titik yang menyita perhatiannya.
Dinda menyentuh tangan pak Ferdi yang di balut perban itu "Papa ini aku Dinda."
Dinda menangis, dia terlalu berharap saat ia datang maka kehidupannya akan berubah. Tapi melihat ayahnya yang begitu, tentu membuat dada Dinda tidak kuasa menahan sesak yang teramat sangat.
"Papa pasti kesakitan ya? Boleh Dinda melihatnya?"
Dinda meraih tangan pak Ferdi, kemudian menggenggamnya dan menciumnya.
"Lihat, tangan papa sekarang lebih halus di banding biasanya. Kemana tangan papa yang kasar itu, yang selalu menjewer telinga Dinda. Memukul bokong Dinda dan mengusap air mata Dinda ketika Dinda bersedih atau menangis."
"Apa papa pada Dinda? Kata papa waktu itu bukannya Dinda anak yang paling papa khawatirkan? Lihatlah Dinda papa. Dinda sudah datang untuk papa. Apakah papa tak mau memeluk Dinda."
"Hiks.... Hikss.... Sadarlah papa. Mama tengah menunggu papa." kata Dinda lirih.
"Mama merindukan papa setiap hari. Mama menginginkan papa kembali. Mama selalu menunggu papa."
Dinda tidak kuasa menahan tangisnya. Dadanya terlalu sakit untuk menyaksikan ini semua. Pilu di hatinya seakan bertambah ketika membayangkan kondisi keluarganya yang porak poranda tanpa adanya nahkoda.