webnovel

BAB 83. KEJUTAN ARYO (2)

Kabut pagi yang pekat berangsur memudar. Sinar pagi menyeruak menghangatkan suasana pagi kami.

Lengannya masih merengkuh tubuhku.

"Aku tahu kau memang wanita yang memiliki selera aneh." candanya sambil terkikik.

Aku menoleh kepadanya sambil menunjukkan wajah cemberut. Dia menggodaku.

"Seorang gadis biasanya menyukai kemewahan, barang-barang bagus dan istana yang megah. Sedangkan istriku, dia seliar alam ini. Dia menyukai alam bebas, hutan, gunung dan bahkan sungai yang mungkin berbahaya. Istriku benar-benar wanita aneh yang luar biasa." ejeknya sambil tergelak. "Kau cukup senang dengan hanya kuajak melihat matahari terbit, menjelajah ke tempat yang sulit dan asing."

Dia menggeleng kepala memandangku, kemudian mengecup keningku

"Tapi aku sangat mencintaimu." katanya dengan lirih.

Mataku segera berkabut. Senyumnya masih sangat indah. Wajah tampannya selalu seperti mimpi bagiku. Mungkin suatu hari aku akan terbangun dari mimpi ini. Saat itu mungkin senyum itu tak lagi bisa kunikmati. Tapi aku berjanji untuk menikmatinya hingga waktuku disini berakhir.

"Margaret..." panggilnya.

"Ya?"

"Apakah kau juga melihat matahari yang sama di jamanmu?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Apakah kau juga akan melihatnya dari atas tebing seperti ini?"

Mungkin saja. Aku kembali mengangguk.

"Jika suatu saat kau melihat sinar pagi seperti ini, apakah kau akan mengingatku?" gumamnya lirih, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.

Leherku terasa tercekat. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Nafasku sesak menahan tangis yang nyaris tumpah.

Mungkin karena hamil ataukah karena tubuh gadis van Jurrien ini, aku memang menjadi lebih sensitif.

"Aryo... Bahkan tanpa mataharipun sepertinya aku tetap tidak akan bisa melupakanmu." sahutku pelan.

Aryo mengeratkan rengkuhannya. Dia membenamkan bibirnya di rambutku.

Aku terpejam menikmatinya.

"Ayo. Masih ada tempat yang ingin kutunjukkan kepadamu."

Aryo membantuku berdiri. Dan kami mulai berjalan turun. Tapi kami berjalan dari sisi yang berbeda.

"Aryo." panggilku menghentikan langkahnya.

"Apa kita tidak salah jalan?"

Aryo kembali tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Tidak, istriku. Ikuti saja aku."

Jalanan itu lebih datar. Tapi batuan disepanjang jalan benar-benar menyulitkan langkah kita. Kuangkat tinggi-tinggi jarik yang melilit kakiku untuk memudahkanku melangkah. Dan tentu saja Aryo memprotes tindakanku. Tapi aku mengabaikannya dan terus berjalan, bahkan melangkah mendahuluinya.

"Pakaian ini sangat tidak nyaman untukku." gerutuku.

"Tentu saja. Tidak ada pakaian yang nyaman buatmu, istriku. Karena tingkahmu sungguh luar biasa."

Ya, dia masih menyindir tindakanku saat memanjat tembok waktu lalu.

"Di jamanku ada pakaian wanita yang nyaman untuk kegiatan seperti ini."

"Ya... Ya... Aku percaya itu. Semua hal di jamanmu sepertinya memang sangat luar biasa. Aku sampai sekarang belum bisa membayangkan besi yang bisa terbang di angkasa."

Aku berdecak

"Nada bicaramu seakan kau tidak mempercayai kata-kataku." gerutuku.

Dia tergelak.

"Aku percaya. Hanya tidak bisa membayangkannya saja. Dan kau datang ke tanah ini dengan menaikinya. Benar?"

Aku mengangguk. Aku menatapnya kesal karena meragukan kata-kataku.

Dia terkikik geli melihat tingkahku.

"Hei!" serunya saat aku berjalan lebih cepat didepannya.

Aku berhenti, karena jalan sempit itu mendadak hilang. Didepanku bertengger batu besar

Dia menepuk pundakku.

"Kau yakin bisa meneruskannya, istriku?"

Kata-katanya seakan menantangku.

Kenapa tidak? Hanya sebongkah batu.

Aku mencoba mencari ranting yang cukup kuat di belukar yang ada disekitar batu itu.

Aku menariknya kuat-kuat untuk memastikan cukup kuat untuk kupakai berpegangan.

Ketika kakiku mulai memanjat batu itu, Aryo berteriak menghentikanku.

"Tunggu!!"

Dia berdesis dan berdecak kesal.

"Bagaimana mungkin kau melakukannya?!"

Bukankah tadi dia yang menantangku untuk bisa memanjat batu itu.

Dengan sigap lengan Aryo segera merengkuhku dalam gendongannya dan membawaku melompati batu itu.

Aku sempat takjub melihat kemampuannya. Memang aku sudah pernah melihatnya membantuku melarikan diri saat di Batavia. Aku hanya tidak menyangka dia begitu hebat.

"Kenapa kau semakin berat saja?" godanya.

Tentu saja aku semakin berat, karena perutkupun juga semakin menggembung.

"Sudah! Turunkan aku!" bentakku sambil meronta.

"Aku masih ingin menggendong istri dan anakku." sahutnya datar.

Jalur yang kami lalui mulai menanjak lagi. Aku yang sedari tadi sudah berjalan sendiri, mulai terengah-engah. Tubuh gadis ini sangat lemah.

"Apa kau ingin beristirahat dulu?" tanyanya.

"Apakah masih jauh?" tanyaku balik

"Eemmm... Tidak juga. Tapi.."

"Kalo memang sudah dekat kita lanjut saja." selaku.

"Apa kau yakin baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja." jawabku.

Aryo memimpin perjalanan yang tidak bisa kubilang mudah. Walaupun aku memiliki mendaki gunung, tapi dengan kondisi nyaris tanpa peralatan, ditambah pakaian dan alas kaki yang tidak sesuai, maka ini menjadi sulit. Bebatuan besar seringkali menghadang jalan kami. Bahkan yang kami lalui bukanlah jalan setapak. Semak-semak yang disingkirkan Aryo dengan golok yang selalu dibawanya.

Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada lebih dari dua orang berada disekitar tempat kami.

Seketika tubuhku menegang.

Kami bukan orang bebas yang bisa berkeliaran dimana-mana sesuka kami. Aku sadar betul banyak orang yang ingin mencelakakan kami.

"Aryo!" panggilku setengah berbisik.

"Ada apa?" tanyanya sambil menoleh kepadaku.

"Apa kau tahu, ada orang yang mengikuti kita?" tanyaku berbisik.

Aryo mengangguk mengiyakan.

"Kau tahu?" tanyaku tidak percaya. "Siapa mereka?"

Aryo mengangkat bahunya.

"Entahlah."

Nächstes Kapitel