webnovel

BAB 65. PENYERANGAN

"Aryo?!"

Itu suara Aryo.

"Ya Tuhan, Margaret?!" serunya.

Disarungkannya golok yang dibawanya ke punggungnya.

Apa tadi dia akan membunuhku?

"Apa yang kau lakukan disini, Margaret?"

Dia segera merengkuhku dalam pelukannya.

"Aku merindukanmu" jawabku.

"Ya Allah, hampir saja aku melakukan kesalahan... Bagaimana mungkin kau tidak berteriak saat seseorang hendak membunuhmu?" ucapnya. "Bukankah harusnya wanita berteriak saat ketakutan?"

Dibenamkannya wajahnya di rambutku.

Setelah beberapa saat dia mulai kembali sadar akan situasi disekitar kami.

"Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tanyanya. "Lantai bawah sudah terbakar."

"Kita lompat lewat balkon." kataku

"Tadinya memang itu yang akan kulakukan. Tapi tidak denganmu. Kau hamil, Margaret!"

"Lalu... Apa kau akan membiarkanku mati disini?"

"Tentu saja tidak!"

Aryo tampak panik. Dia mencari-cari sesuatu. Entah apa yang dicarinya.

Aku tidak mau banyak berdebat. Aryo sedang bingung memikirkan cara agar aku bisa keluar dari sini dengan aman.

Aku segera menarik kelambu ranjangku dan merobeknya. Lalu menjalinnya menjadi seutas tali panjang. Kupikir tali itu cukup kuat untuk membawaku turun kebawah.

"Apa yang kaulakukan?!" tanyanya panik dengan apa yang hendak kulakukan.

Aku hanya tersenyum tanpa menjawabnya.

"Kau bisa membuatku mati ketakutan Margaret!" serunya.

"Percayalah pada kemampuan istrimu, kali ini." ucapku sambil mencium bibirnya sekilas.

"Kau yakin?" tanyanya lirih sambil menggenggam jemariku.

Aku tarik tanganku. Aku pun sebenarnya tidak yakin. Terutama dalam tubuh ini.

"Aku butuh penjelasanmu soal kejadian ini!" tukasku kepadanya sambil terus menjalin robekan kelambu dan sprei.

Aryo hanya memandangiku mengikat kelambu dan sprei di balkon.

"Margaret, tunggu! Aku akan mengendongmu turun."

"Tidak! Aku sudah cukup membengkak, akan berbahaya. Kau turunlah terlebih dahulu." kataku kepadanya.

Dia dengan sigap melompat ke bawah. Tubuhnya seakan sangat ringan. Dia menengadah melihatku menjulurkan ikatan sprei dan kelambu.

Aku pikir mudah. Aku lupa tangan gadis ini tidak memiliki otot yang cukup kuat dan lagi berat badanku bertambah karena kehamilanku.

Rasanya sulit sekali. Beberapa kali perut dan kakiku harus terbentur tembok. Kakiku sama sekali tidak bisa membantu. Aku merasa nyeri menjalari tubuhku.

Lututku terluka. Jari-jariku tergores tembok karena berusaha menahan tubuhku.

Ah, sial peganganku nyaris terlepas. Hampir saja aku terjun bebas.

"Lepaskan saja, aku akan memegangimu!" seru Aryo.

Baru separuh aku turun, Aryo melompat dan membawaku mendarat dengan mulus.

"Kau benar-benar lebih berat." katanya.

Apa Aryo sedang menggodaku? Tentu saja aku lebih berat.

"Ayo ikut aku!"

Aryo menarik tanganku dan membawaku berlari. Kami melewati jalan belakang. Beberapa kali aku melangkahi tubuh manusia.

Apakah itu mayat?

Mengerikan sekali. Ini pembantaian!

Dan orang yang melarikanku adalah salah satu pelakunya.

Sambil terus berlari air mataku mulai berjatuhan. Aku berada di jaman yang salah. Aku berada disituasi yang salah. Walaupun peperangan dan konflik kemanusiaan masih tetap ada hingga jaman modern, tapi berada langsung di tengah-tengahnya bukan sesuatu yang pernah kubayangkan. Melihat kilatan golok beradu, suara senjata api yang berdesing, orang-orang yang berteriak karena tubuhnya terbakar, dan berbagai keadaan mengerikan lainnya. Dalam kondisi suasana yang begitu kacau, bahkan bukan tidak mungkin kita bisa melukai kawan kita sendiri.

"Raden!" seseorang berseru kepada kami. "Raden akan kemana?"

"Aku akan ke hutan terlebih dahulu. Nanti aku akan menyusul kalian...."

"Tapi kami harus bagaimana..."

Aryo menghentikan langkahnya. Dia tampak bingung. Ya, dia adalah salah satu pemimpinnya. Dia yang mengendalikan mereka.

"Bawa dia ke pondok didekat sungai, secepatnya!" perintahnya kepada orang tersebut. "Aku akan menyelesaikan yang disini dan memimpin mereka!"

"Di hutan itu?" tanya orang itu bingung

"Ya!" jawab Aryo tak sabar.

Aku hanya terdiam, bahkan saat Aryo melepaskan genggaman tangannya.

Kami berjalan menuju seekor kuda yang tertambat di pohon.

Aryo mengangkatku untuk naik keatas pelana kuda.

"Kau ambil kuda lain!" perintahnya kepada orang lelaki tersebut.

Kondisi seperti ini pun dia masih juga tidak ingin aku disentuh pria lain.

"Kau jangan khawatir, aku akan segera menyusulmu." ujarnya sambil menggosok punggung tanganku untuk menenangkanku.

Ya, ini mirip arena pertempuran. Aryo bisa saja terbunuh setiap saat. Tapi setelah melihat begitu banyak mayat, rasanya aku sudah tidak mampu berpikir apapun. Kepalaku terasa ringan. Aku harus mengakui bahwa aku ketakutan melihat kengerian itu.

Pria tersebut dengan penurut membawaku ke pondok ditepi sungai yang sebelumnya kudatangi. Gubuk yang kusebut dengan pondok cinta kami.

Aku masih terdiam.

Pria itu pun tidak bicara. Setelah aku masuk kedalam pondok dia hanya duduk diluar pondok didekat kuda kami. Dia tidak berbicara sepatah katapun sampai aku memanggilnya.

"Hei..kamu!"

Untunglah aku sudah cukup mahir berbahasa Jawa, karena sepertinya dia tidak bisa berbahasa Belanda.

"Ada apa ini?!" tanyaku kepadanya

"Saya tidak paham maksud Noni."

"Apa yang terjadi?!" bentakku menuntut penjelasannya.

Aku bahkan tidak tahu nasib orang-orang yang kukenal. Dhayu, Papa, Nyai, Daniel, apa kabar dengan mereka?

Pria ini hanya menggeleng atas semua pertanyaanku. Akhirnya aku memilih mendiamkannya.

Fajar sudah hampir menjelang, tapi tak ada tanda-tanda Aryo datang. Aku cemas dan takut.

Perasaanku campur aduk. Aryo dan kelompoknya menyerang kami. Membunuh kami. Lebih tepatnya membantai kami. Tapi aku juga takut terjadi sesuatu dengannya. Rasionalitasku, logikaku dan perasaanku tidak lagi sejalan.

Nächstes Kapitel