"Dhayu, besok siapkan, aku akan menemui Nyai."
Ada ketukan pelan di pintu, lalu terdengar suara Daniel dari baliknya.
"Margaret!" panggilnya
Apa aku harus menjawabnya? Atau aku pura-pura tidur saja. Pada akhirnya aku menjawabnya. Toh kupikir ada Dhayu bersamaku.
"Ya?" jawabku.
Dia membuka pintu kamar. Tubuhnya yang tinggi besar, tampak semakin menakutkan dalam bayangan cahaya lilin.
Dia melihat kearah Dhayu dan memberi isyarat untuk meninggalkan kami.
Dhayu melihatmu dengan ragu-ragu. Aku berusaha menunjukkan isyarat 'Tidak! Jangan pergi!'
Tapi wajah Daniel begitu menakutkan. Tubuh Dhayu terlihat mengkeret menjadi lebih kecil. Dhayu sekali lagi menoleh kepadaku dengan tatapan putus asa.
Dengan berat hati, aku hanya mampu menganggukkan kepala kepadanya untuk mengijinkannya pergi.
Suara pintu ditutup pun membuatku berjingkat terkejut. Aku tidak tahu apa yang diinginkan Daniel. Aku hanya berharap dia tidak akan memperlakukanku dengan buruk.
Aku diam menanti.
Daniel beringsut mendekatiku. Aku masih terduduk diatas ranjang. Tubuhku menjadi kaku saat dia mulai duduk sangat dekat denganku.
"Kau sudah sehat." katanya canggung.
Dia tidak sedang bertanya, tapi aku tetap menjawabnya. Aku menjawab dengan anggukan kepala.
"Aku akan tidur dikamar ini, mulai hari ini."
Apa?! Aku tidak mau! Aku tidak siap! Tunggu!
Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau tidur bersamanya! Aryo, aku harus mencari Aryo.
"Kenapa?" tanyanya, "Kau kelihatan ketakutan sekali." Raut mukanya mulai tampak tidak senang. Bibirnya menyeringai, menunjukkan senyuman sinisnya yang menakutkan.
Dia mendekatkan tubuhnya hingga dadanya menempel dengan punggungku. Aku beringsut menjauh. Tapi tangannya segera menangkap dan menarikku bahkan lebih dekat daripada sebelumnya.
"Daniel.." panggilku memberanikan diri. "Carilah wanita lain, wanita yang mencintaimu."
"Aku inginkan kau."
Bibirnya menempel di telingaku. Nafasnya terasa panas pada pipiku. Mungkin saat ini pipiku memerah. Tapi bukan karena tersipu dengan ucapannya. Bukan karena aku sedang jatuh cinta dengannya. Ada rasa muak dan kesal. Bukan kepada Daniel, tapi kepada diriku sendiri. Aku menjadi sangat bodoh. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta kepada Aryo dan bahkan menikah dengannya? Dan bagaimana juga aku dianggap sebagai istri dari Daniel?
Setelah terdiam tanpa mampu menanggapi kata-katanya. Pikiranku sibuk mencari solusi dari permasalahanku. Aku memikirkan berbagai kemungkinan yang dapat aku lakukan untuk lepas dari situasi ini.
"Daniel!" tegurku pada akhirnya, setelah menyadari tangan Daniel menyusup kebalik baju tidurku.
Aku berusaha menarik tangannya untuk menjauh dari payudaraku. Kekuatannya lebih besar dariku. aku bersusah payah menariknya tanpa hasil.
"Daniel, aku mohon!" sentakku meminta dia menghentikan aksinya meremas payudaraku. Aku sudah cukup kesakitan.
"Kenapa?" kepalannya semakin kuat, aku benar-benar berteriak kesakitan. Tapi tidak ada tanpa bahwa dia akan melepaskanku. Dia hanya mengendurkan remasannya. Tapi sebelah tangannya memelukku lebih erat.
"Kenapa kau selalu menolakku?" tanyanya lagi. "Aku masih ingat apa yanga kau lakukan dengannya di malam pernikahan kita!" geramnya.
Aku merinding ketakutan. Aku masih ingat bagaimana dia memperlakukanku malam itu. Dia bisa menjadi sangat menakutkan.
"Aku tidak bisa menerima penolakanmu lagi." Ada nada marah yang ditekan dalam suaranya, "Aku sangat sakit hati dengan apa yang sudah kau lakukan dengan inlander brengsek itu."
"Daniel... tunggu... Daniel!" Aku berusaha untuk menghalau gerakan tangannya yang semakin liar. "Daniel! Dengarkan aku!" seruku untuk mencoba membawanya kembali ke kewarasannya. "Dengarkan aku! Kita harus bicara! Aku harus meluruskannya!"
"Apa!" bentaknya sambil menyingkirkan tanganku.
Ditariknya tubuhku dan dihempaskannya diatas ranjang. Dia menindihku dengan tubuhnya. Aku berusaha berontak, tapi sekali lagi upayaku benar-benar sia-sia. Dia lebih kuat dariku. Tubuhnya jauh lebih besar dariku. Sebelah tangannya mencekik leherku, sementara yang lain terus bergerilya diseluruh tubuhku. Nafasku mulai tersengal. Air mataku mulai mengalir. Rasa panas membasahi pelupuk mataku yang terpejam.
"Aku... mohon." dengan sisa-sisa rongga di leherku yang tersisa, aku mencoba berbicara kepada Daniel.
Ditariknya rahangku, agar wajahku mengarah kepadanya. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Aku dapat merasakan nafasnya yang panas dan memburu yang menerpa wajahku.
"Kenapa kau menangis?" tanyanya dengan nada marah, "Rasa penghinaan yang kau berikan kepada dimalam pernikahan kita lebih menyakitkan! Apa kau tahu itu!"
Dia melepaskan tangannya dari leherku.
"Daniel... " dengan tersengal-sengal aku berusaha untuk berbicara, "Dengarkan penjelasanku. Tapi aku mohon kepadamu. Aku mohon kau mengerti."
Daniel mengakat baju tidurku. Dia menarik dengan paksa celana dalamku. Aku berusaha mencegahnya. Kita saling tarik, hingga bunyi .. KRAK...
Aahh... akhirnya sehelai kain itu yang kalah.
Aku melihat wajah kemenangan di raut muka Daniel.
"Daniel!" seruku marah. "Hentikan!... Cukup, Daniel! Hentikan! Aku mohon, Daniel!"
Aku berusaha mendorongnya dengan lebih kuat. Daniel seperti sudah kalap. Dia berusaha membuka kakiku. Aku bersikeras merapatkannya. Pahaku, betisku tersa sakit sekali karena tangan Daniel yang mencengkeram dan kaki Daniel yang terus mendorongnya.
"Kau pikir dirimu masih seorang perawan?" sergahnya marah. "Cukup, Margaret! Aku suamimu! Haruskah aku memperkosamu?!"
"Daniel tunggu.. Dengarkan penjelasanku, tunggu... Aku mohon dengarkan aku..." aku berusaha berbicara dengan nada rendah, agar tidak membuatnya semakin marah.
SRAKKK....
Kakiku sudah terbuka lebar.
Aahhh... Rasanya ingin aku berteriak. Pangkal pahaku sangat ngilu.
"Daniel aku mohon..." ucapku putus asa.