webnovel

Enam puluh sembilan

Tak ada rutinitas pagi yang sama selama seminggu ini. Fritz memutuskan untuk melakukan pekerjaannya dari rumah. Dia merasa lebih tenang begitu, mengingat kondisi Freya yang belum stabil. Yah meski dirumah tetap ada perawat dan para asisten, juga Brendan, tapi itu tetap membuat Fritz merasa tidak tenang.

Setelah beberapa kali berkonsultasi dengan dokter, Fritz akhirnya memutuskan untuk memberitahu keadaan Freya. Menjelaskan kepada adiknya sesuai dengan apa yang dikatakan dokter.

Setelah Freya menyelesaikan 'rutinitas setelah makan', Fritz membawa Freya ke kamarnya. Bahkan kini adiknya harus mendapatkan infus karena kondisinya yang semakin memburuk. Benar-benar membuat Fritz frustasi.

"Kamu minum obat dengan rajin? Suplemen makan?" Fritz mengingatkan. Karena itu sangat penting.

"Udah. Semua." jawab Freya, yang selalu memberikan senyum terbaiknya. Padahal dia tahu, adiknya itu sangat kesulitan. Bahkan untuk membuka mata sekalipun.

"Freya, I want to tell you something." Fritz mencoba mengamati reaksi adiknya. Apa ini saat yang tepat atau tidak, dia tetap harus mengatakan semuanya.

"What about?"

"About your condition." Fritz menghela napas untuk menyiapkan diri. "Kamu hamil."

Keheningan langsung menyergap. Keduanya terlarut dalam pemikiran masing-masing. Sejurus kemudian, Fritz mengamati wajah adiknya. Tidak ada reaksi apa-apa disana, hanya tatapan kosong.

"Itu sebabnya kami mual dan muntah." tambah Fritz.

"Sejak kapan?" Freya mencoba merespon informasi ini dengan tenang.

"Dokter bilang 10 minggu saat kamu pingsan. Mungkin sekarang sudah 11 minggu."

Ini berita yang sangat membingungkan. Freya tidak tahu harus bahagia atau sedih. Tentu dia bahagia karena pada akhirnya dia bisa hamil lagi, tapi tidak dalam keadaan seperti ini. Tanpa suami.

Dan sekali lagi, Freya tidak pernah mengira kalau kejadian ini akan berulang. Dia hanya sekali melakukannya dengan Troy, dan sekarang benih cinta mereka tumbuh di dalam tubuh Freya. Apa yang harus dia lakukan?

"What should I do?" suara Freya terdengar panik.

"Semua keputusan ada di tangan kamu. Apakah kamu mau mengakhiri ini atau melanjutkan."

Apa maksudnya mengakhiri atau melanjutkan? Apa yang Fritz maksudkan adalah membunuh anak tak berdosa ini agar dia bisa melanjutkan hidup? Tanpa perlu tersiksa dengan semua hal konyol tentang mual dan muntah?

"Apa itu artinya kamu menyuruhku untuk menggugurkannya?" tatapan sinis Freya menghujam Fritz.

"Kamu tahu betul maksud aku, Freya. Lihat kondisi kamu sekarang. Bahkan untuk mendapat nutrisi pun kamu harus dibantu infus. Mau sampai kapan kamu bertahan?" tak terasa suara Fritz meninggi. Membuat dirinya dan Freya terkaget mendengarnya.

"Kenapa kamu berpikiran sejahat itu? Apa yang sudah anak ini perbuat sampai kamu menginginkan kematiannya? Apa kamu Tuhan yang berhak memutuskan kehidupan atau kematian seseorang?"

Suara napas Freya tersengal. Hanya mengatakan beberapa kalimat itu saja sudah menghabiskan seluruh kekuatannya.

"Apa yang dia perbuat? Dia sudah merebut adikku, satu-satunya keluargaku. Aku nggak bisa lihat kamu terus-terusan seperti ini. Apa kamu pernah memikirkan aku untuk sebentar saja? Aku kakakmu!" akhirnya kemarahan Fritz keluar. Dia benar-benar merasa bisa meledak kapan saja bila tidak mengatakan itu sekarang. Bahkan mungkin kata-kata yang lebih menyakitkan yang akan keluar.

Tak terasa air mata Freya mengalir, tapi entah apa yang dia tangisi. Apakah kehamilannya yang tidak dia harapakn datang saat ini? Atau pemikiran kakaknya untuk menghilangkan anak itu? Atau karena dia tidak berdaya seperti yang Fritz bilang?

Melihat adiknya yang berlinang air mata membuat Fritz merasa bersalah. Tidak seharusnya dia meluapkan emosinya seperti ini. Mungkin seharusnya dia tidak mengungkapkannya sekarang. Fritz ingin memberikan pelukan hangat kepada Freya, agar setidaknya adiknya merasa lebih baik. Tapi dengan tegas Freya menolaknya.

"Aku mau istirahat, tolong keluar kamarku." saat mengatakan itu Freya bahkan tidak menatap ke arah Fritz.

Dengan langkah berat, Fritz meninggalkan kamar adiknya. Membiarkan Freya menenangkan diri. Mungkin ini yang dibutuhkannya sekarang. Kesendirian untuk bisa berpikir jernih.

Sepeninggalan kakaknya, Freya langsung menangis sejadi-jadinya. Dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan hamil. Selama ini dia mengira bahwa dia terlambat menstruasi karena sedang stres. Karena biasanya begitu ketika Freya sedang stres. Tak pernah menyangka dan curiga dengan apa yang terjadi.

Dan sekarang, apa yang akan dia lakukan? Memberitahu Troy tentang keadaannya hanya akan membuat dia kembali ke jalan yang dulu ditinggalkannya. Atau mengikuti saran Fritz untuk menyingkirkannya? Rasanya itu terlalu kejam.

Dia ingat betul bahwa rasa sakit karena kehilangan itu masih terasa. Dan kalau harus memilih untuk mempertahankan atau menyingkirkan, Freya akan dengan mantap memilih opsi pertama. Iya, dulu dia selalu memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan untuk bisa merasakan hamil. Ketika akhirnya dia bisa hamil sekarang, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Meski dia harus berjuang seorang diri.

...

Mimpi itu datang lagi. Masih dengan gambaran yang sama, dan masih dengan Troy yang tidak bisa melihat wajah keduanya. Ketika dia terbangun, jam baru menunjukkan pukul empat pagi. Itu artinya dia baru tidur selama dua jam.

Berusaha untuk tidur lagi, tapi jelas dia tidak bisa. Iya, insomnia Troy kembali lagi. Apa sekarang semakin parah? Mungkin. Karena rekor tidak tidurnya kini adalah tiga hari. Apa yang dia lakukan? Tentu saja bekerja. Bekerja memang menghilang kebosanan paling ampun yang bisa dipikirkan oleh Troy. Karena dia tidak mau minum alkohol berlebihan lagi. Berusaha menuruti permintaan Fenita untuk hidup sehat.

Setelah mempersiapkan segala keperluannya untuk liburan, Troy segera memasukkan kopernya ke mobil dan melajukannya menuju bandara. Lebih baik dia menunggu disana, karena akan lebih ramai ketimbang di rumah.

'Aku tunggu kalian di bandara.'

Segera Troy mematikan ponselnya. Dia hanya ingin menikmati waktu menunggunya dengan bekerja. Dan selalu bekerja.

Tepat pukul 8 pagi, semua rombongan sudah berkumpul. Aaron dan keluarganya, serta Digta yang datang seorang diri menghampiri Troy yang sibuk dengan laptopnya.

"Apa kamu melamar menjadi keamanan bandara sekarang?" ejek Aaron, yang mendapati sahabatnya itu duduk di depan pintu keberangkatan.

"Aku yakin dia tidak bisa tidur semalam karena terlalu bersemangat. Seperti anak kecil yang mau melakukan piknik bersama." kali ini Digta yang menambahi.

"Terserah."

Dengan langkah ringannya Troy meninggalkan gerombolan itu. Tak mau tertinggal, gerombolan itu mengikuti Troy, sang bos yang memberi mereka akomodasi liburan kali ini.

Penerbangan akan memakan waktu sekitar 10 jam lebih. Itupun mereka mengambil penerbangan dengan transit tercepat yang bisa mereka dapatkan. Mengingat ada anak kecil yang ikut bersama mereka.

Brisbane sudah malam ketika kelima orang itu keluar bandara. Beruntungnya mereka sudah ditunggu oleh mobil yang sudah dipersiapkan oleh Troy. Bahkan untuk tempat tinggal pun mereka tidak perlu memikirkannya. Apa guna memiliki sahabat yang kaya raya kalau dia tidak mampu menyiapkan tempat tinggal selama mereka liburan disini?

"Oke, kita istirahat dulu. Besok baru main." Aaron dengan bijak segera menghalau semua orang untuk masuk ke kamar. Itu dimaksudkan agar anaknya bisa segera beristirahat, dan dia bisa menikmati malam bersama istrinya.

Hanya Troy yang tidak masuk ke dalam kamarnya. Dia berjalan menuju balkon dengan membawa sebotol wine favoritnya dan rokok. Menatap jauh langit Brisbane yang menggelap tanpa bintang. Kini, sekali lagi dia berada di bawah langit yang sama dengan Fenita. Mereka sama-sama berada di Negeri Kanguru yang terkenal ini. Jaraklah yang memisahkan keduanya.

"Paling nggak sekarang jarak kalian lebih dekat ketimbang kemarin." Digta duduk di sofa. Entah sejak kapan dia ada di balkon.

"Dia yang ninggalin. Sama kaya Belle." ucap Troy lirih, tak berani menatap mata Digta. Rasanya dia hanya akan tampak bodoh bila menampakkan wajahnya.

"Aku yakin Fenita berbeda dengan Belle. Dan Fenita pasti punya alasan untuk itu semua. Hanya saja kalian kurang komunikasi." Digta berusaha membesarkan hati sahabatnya.

Bukan hanya sehari dua hari mereka mengenal. Bahkan ketika akhirnya Troy mulai mengenal kata setia, Digta menjadi saksi bagaimana Troy perlahan berubah. Dan kedua perempuan itu memang berbeda. Belle memang lebih ekpresif, dia akan menyuarakan apa yang menjadi pemikirannya. Berbeda dengan Fenita yang lebih pendiam, tapi juga penurut. Dan Digta merasa, alasan keduanya meninggalkan Troy pun berbeda.

Nächstes Kapitel