webnovel

KEKASIH I

Dua tahun telah berlalu. Aku menjalani perkuliahan dengan nilai yang cukup baik. Selain nilai yang baik,  aku juga mendapatkan beasiswa dari kampus. Hal ini sangat menggembirakan untukku. Banyak hal telah aku lalui bersama Rifki dan Dani. Mereka sangat setia untuk menemani hari-hari liburku. Kami sering mendaki untuk mengisi waktu libur, dan itu sangat menyenangkan.

Selain itu semua. Di tahun kedua ini,  aku menemukan seorang wanita yang sangat aku harapkan. Dia sepwrti kekasih yang di kirimkan tuhan untukku. Meski kami belum menjalin hubungan apa pun selain pertemanan. Namun kebersamaan kami selama beberapa bulan belakangan. Sangat memberiku pengalaman baru. Ada banyak hal yang kami lakukan. Mulai dari jalan-jalan ke beberapa tempat wisata di kota ini, mengerjakan tugas bersama dan mengikuti beberapa acara kampus.

Seperti perawakannya yang anggun. Namanya juga adalah Anggun. Dia selalu menarik hatiku. Dia seperti kutub magnet yang berbeda dari kutub magnetku. Selalu saja menarik aku untuk berada di dekatnya. Senyumnya sangat manis dan selalu menawarkan kedamaian. Sifatnya lembut, membuatku selalu ingin berada di dekatnya. Entah, magis seperti apa ini? Aku selalu bertanya pada diriku sendiri. Dan aku selalu tak mampu menjawabnya. Karena mungkin saja,  ini bukan magis. Melainkan pertanda baik dari tuhan untukku. Ini adalah jawaban atas kesunyian hatiku selama ini. Mungkinkah, dia seorang kekasih yang dikirimkan tuhan untukku? Lagi-lagi aku tidak mampu menjawabnya dengan pasti.

Hari ini adalah hari yang akan tercatat indah dalam sejarah hidupku.  Aku akan menyatakan cinta padanya. Aku mengajaknya berkencan di sebuah taman kecil yang terletak di tepian pantai. Butuh bantuan alam, agar suasana menjadi romantis. Aku sangat ingin, jika dia mencatat ini dalam benaknya. Sebagai pengalaman yang indah. Aku juga telah menyiapkan sebuah puisi untuk aku baca di hadapannya.

"Ada sebuah perjalanan yang tidak bisa di bahasakan dengan bentuk diksi apa pun. perasaan yang sangat berkesan hingga mengubah segalanya menjadi satu hal sangat penting. Tidak ada bla-bla ataupun syair yang mampu untuk mengisyaratkannya. Pada ruang terdalam kehidupanku, dia mengugut untuk tetap di nomor satukan. Tidak ada yang boleh memainkan lidi apatah lagi belati. Takut ia-nya akan terluka. ini seperti menerjemahkan sebuah petualangan yang penuh kenangan. bukan sebuah liburan yang hanya mencari kesenangan. cinta adalah sebuah petualangan yang membutuhkan perjuangan. bukan sebuah liburan yang bisa terbeli dengan murahan.

hufff... Ada desah yang panjang untuk mengisyaratkan betapa rindunya hati ini akan sebuah pertemuan. Melihatmu menangis ketika pertemuan kita di waktu lalu. Selalu membuatku penasaran. Kau mudah mengambil perhatian orang lain. Kau menangis tampah peduli ada banyak orang di sekitarmu yang sedang memerhatikanmu. Aku bertanya pada diriku, setelah memerhatikanmu saat kejadian itu. Ada bayak tawa dari sekali tangisanmu hari itu. Saat aku pertanyakan " Bisakah aku menangis sepertimu lalu ikut tertawa bersama kemudian." Kau menjawab penuh canda " Kamu harus kehilangan tiketmu untuk menangis dan jika ingin tertawa orang biasa sepertiku punya selera humor berbeda dengan orang hebat sepertimu. hehehe." Kau tertawa lagi, aku makin canggung untuk berada didekat-Mu. Seperti ada ruang kosong yang memisahkan antara sebuah kenyataan dan perasaan ini. Kamu pernah terluka karena cinta sedang aku belum sedikit pun. Hidupku lancar-lancar saja. Seperti berselancar diatas es.  Aku belum bisa membahasakan tentang cinta yang begitu dalam dan suci itu. Tapi mengenalmu sudah cukup untuk membuatku menemukan petualanganku lagi. Petualangan yang penuh kenangan yang tampah segan terus berdatangan bertandang dalam setiap laju kontemplasiku.

Setelah peristiwa merebut tiket bus yang membuatmu menangis dan aku yang ketinggalan bus,  lalu harus memberimu tisu untuk menghapus air matamu.  Hemmm... Ada rintik hujan yang makin merinai diluar terminal dan pada atapnya. Ada hujan yang paling dinanti beberapa insan meski mereka juga takut jika menjadi sebuah bencana. Seolah menggambarkan tangismu yang kusalah paham dan tentang kisah asmara para pujangga muda. Mereka sangat menginginkan sebuah cinta tapi selalu takut jika menjadi sebuah kisah yang mengundang lagu kesedihan pada setiap pendengarannya kelak. Padahal itu makin indah, makin kuat, makin mendewasakan. Jika seseorang ingin belajar untuk menghargainya.

Sudah sebulan sejak pertemuan itu dan kau menjadi bagian hidupku yang mulai menemukan rentaknya. Sungguh ini sebuah petualangan yang menghadirkan seribu bahkan berjuta kenangan yang membangkitkan asa, menguatkan kehidupan. Bukannya sebuah liburan yang di impikan akan menjadi kesenangan namun berakhir pada kegamangan."

Lalu aku akan mengakhirinya dengan pernyataan cintaku padanya. Aku menjadi tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. Aku  melipat kembali puisi ini dan memasukkannya ke dalam dompetku. Menyalakan motor kemudian menuju tempat yang telah kami sepakati untuk bertemu. Dan sudah aku pastikan,  bahwa dia bukan milik siapa pun kecuali tuhan. Aku juga telah meminta pada tuhan dalam doaku,  untuk menjadikan Anggun sebagai kekasihku.

Dan kini aku sudah sampai, aku melihat anggun yang sedang duduk tidak jauh dari tempat aku memarkir motor. Kemudiaan aku bergegas menemuinya, takut ia terlalu bosan untuk menunggu.

"Hai.. "

Aku menyapanya, sekaligus membuyarkan lamunannya.

" Hai..."

Dia menjawabku dan tersenyum.

Aku makin salah tingkah di buatnya. Dan keraguan mendiami dadaku. Serta pertanyaan yang tak kunjung menghilang dari benakku, " Bagaimana jika dia menolakku, apakah aku masih bisa melihat senyumnya? "

" Sudah lama? "

"Belum juga."

"Maaf ya,  terlambat. "

" Kenapa harus minta maaf?  Santai saja. "

Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya. Lalu sesaat bisu,  dan kami hanya memandang jauh ke laut lepas.

"oh iya, kamu bilang ada yang ingin di bicarakan? "

Aku makin ragu untuk melakukan semua rencana yang telah aku persiapkan. Aku baru saja, mencoba mengeluarkan kertas yang berisi puisi dari dompetku. Namun aku hentikan ketika Anggun mulai berbicara lagi.

" Kamu tahu tidak, kenapa aku selalu menolak banyak laki-laki? "

"Oh iya,  kamu pernah menanyakan hal yang sama padaku?  Dan kamu belum memberikan jawabannya. "

Aku memasukkan kembali kertas itu dan mencoba mendengarkannya.

" Entahlah,  aku yang salah memahami mereka. Atau memang benar kata orang - orang, bahwa lelaki itu penuh dusta. Lagi pula, aku adalah wanita yang telah ditakdirkan akan menikah dengan seorang lelaki pilihan orang tuaku."

" Mungkin tidak semuanya."

Dia menatapku. Lalu aku melanjutkan.

" Maksud aku.. Mmmm..  Mungkin tidak semua laki-laki pendusta. Seperti tidak semua wanita itu lemah. Semua manusia di beri kebebasan untuk memilih. Dan yang pasti, tidak semuanya memilih menjadi seorang lelaki pendusta dan wanita lemah. Dan soal takdir, itu adalah rahasia tuhan. Meski seperti itu,  apa salahnya kita mencoba untuk memutuskan langkah kaki kita sendiri. Yang paling baik menurutku adalah seseorang harus bisa bertanggungjawab atas pilihannya."

"Tapi,  selama ini. Hampir semua, lelaki yang aku temui seperti itu. Dan aku merasa tak mampu untuk melawan kehendak orang tuaku. Walau bagaimanapun merekalah yang merawat dan menjagaku hingga saat ini."

"Mmm...  Mungkin kebetulan saja, laki-laki yang kamu temui seperti itu."

" Mungkin."

Dia kembali terdiam dan aku makin ragu untuk menyatakan perasaan ini padanya. Lalu dia kembali berbicara.

" Jadi,  apa yang ingin kamu katakan?"

" Oh iya.  Aku sudah lupa kayaknya. Nanti ya,  aku ingat-ingat dulu."

"Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu. Soalnya ada tugas kampus yang harus aku selesaikan. Nanti hubungi aku ya, kalau kamu sudah mengingatnya!"

"Ok,, sip"

Aku melepasnya pergi dengan kegamangan yang di hadirkan alam dengan malamnya. "Selamat jalan. Hati-hati di jalan" Bisikku.

Sudah seminggu aku tidak bertemu Anggun. Aku di sibukkan dengan belajar dan beberapa aktivitas organisasi kampus. Lagi pula, aku masih ke pikiran akan pernyataan Anggun terhadap lelaki. Aku makin ragu untuk mengungkapkan perasaanku.

Sore ini aku berada di tempat yang sama ketika aku dan Anggun bertemu tempo hari. Bukan aku yang mengajak bertemu. Melainkan anggun yang mengajakku. Katanya, dia ingin bertemu dan berbicara kepadaku. Kali ini aku membeli beberapa camilan dan minuman dingin sebelum kesini. Takut merasa canggung dan tegang saat berbicara nantinya. Aku berusaha, agar kami bisa lebih santai dan mampu saling bertukar cerita tampah ragu. Walau bagaimana pun aku belum begitu tahu akan dirinya. Yang aku tahu dia wanita baik-baik yang datang daerah ke kota besar ini, hanya ingin belajar dan memperluas pengetahuannya. Ia berbeda dari kebanyakan wanita yang bergelar mahasiswi di kampus. Banyak dari mereka yang datang ke kota ini hanya karena ingin merasakan kehidupan perkotaan lalu kemudian terbius dengan gemerlapnya malam. Hingga tak jarang dari mereka, melupakan perkuliahan. Mereka asyik pacaran, berhubungan dengan seorang lelaki secara berlebihan. Bergonta-ganti pasangan. Dan tak jarang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma sosial. Sering aku mendengar berita tentang mahasiswi yang kemudian terjerat kasus narkoba, berhenti kuliah karena hamil di luar nikah lalu menjadi korban pemerkosaan serta pembunuhan. Aku tidak menyalahkan sikap mereka yang mencoba mencari kesenangan di sela-sela padatnya perkuliahan. Lagi pula, kita butuh merefres otak kita. Agar tidak jenuh belajar dan menjalani perkuliahan.

Dan ketika aku berpikir seperti itu. Aku terlalu naif dan menjadi terlihat munafik. Sekarang ini, aku terjebak dalam perasaan yang dalam dengan seorang wanita. Yang berarti, aku tidak mengfokuskan diriku pada perkuliahan saja. Padahal itulah tujuanku datang kesini. Belajar dan terus belajar hingga nanti aku bisa memiliki pengetahuan yang cukup untuk melamar pekerjaan di salah satu perusahaan sebagai sarjana teknik mesin. Aku merasa malu dengan diriku. Dan karena itu, aku akan berusaha melupakan perasaanku kepada Anggun. Membiarkannya menjadi pengalaman yang paling indah dalam perjalanan hidupku.

"Hai.. "

Anggun sudah sampai dan ia menyapaku.

"iya, hai. "

Aku menjawab sapaannya.

" Sudah lama."

katanya lagi.

"Belum juga. Sekitar lima belas menit yang lalu aku disini. "

Sambil melihat jam di tanganku.

" Wah. Cukup lama dong. Maaf ya. "

"Tidak apa-apa.  Silahkan duduk. "

" Terima kasih. "

Tersenyum dan duduk. Dia menaruh ransel di pangkuannya. Lalu mengeluarkan sebuah laptop. Aku bisa menebak, apa yang membuatnya ingin bertemu. Ada yang bermasalah dengan laptopnya. Dan dia tahu,  bahwa aku sekarang sedang mengambil kursus komputer. Aku sendiri yang memberitahunya beberapa waktu yang lalu,  saat kami sedang makan di kantin. Beberapa teman kampus juga, sering datang kepadaku untuk meminta dibantu memperbaiki laptop mereka. Dari sana jugalah, aku mendapatkan uang jajan sekaligus menambah uang pembayaran biaya kursus.

Aku bersyukur mengikuti saran Rifki dan Dani untuk ikut dengan mereka kursus. Akhirnya berguna juga. Jika aku lebih memfokuskan belajar perangkat keras atau biasa aku sebut mesinnya komputer,  mereka memilih perangkat lunak. Dan alasan mereka memilih itu, karena mereka ingin lebih mengenal dunia digital lebih dalam lagi, dan kalau tidak salah ingatku mereka juga sangat aktif didunia maya.

Kata mereka suatu ketika " Jujur aku sangat suka dunia maya. Karena interaksi sosialnya sangat luas."

Itu kata Rifki. 

Sedangkan kata Dani "Dunia maya adalah wadah untuk berkarya. Dan konten digital adalah bentuk karyanya. Seperti video, tulisan, lukisan, foto, musik dan lainya. Aku berharap suatu saat nanti memiliki karyaku sendiri."

"Karya seperti apa?"

Tanyaku.

" Video atau Film. Gimana Dani,  mau ikut gak?"

Seperti itulah mereka.  Yang saya pikir sangat mewakili kehidupan anak muda di jaman ini. Generasi digital, interaksi sosial terbanyak berada dalam gadget dan internet. Aku juga termasuk di dalamnya. Namun aku dan Anggun bisa di kecualikan untuk beberapa hal. Kami lebih banyak menjalani kehidupan kami di dunia fisik atau kami lebih nyaman jika saling bertemu untuk berbicara dan sebagainya. Dunia internet atau dunia maya hanya sekedar alat untuk kami tidak terlalu buta akan kondisi kehidupan di zaman ini. Sekaligus alat untuk mengembangkan diri.

" Oh iya Rif.  Sepertinya ada masalah dengan laptop ini. Kamu bisa tidak memperbaikinya?"

Ternyata benar apa yang aku perkirakan. Ia ingin meminta bantuanku untuk memperbaiki laptopnya.

" Coba aku lihat. "

Aku meraih laptop itu.

" Awalnya aku tidak sengaja menumpahkan minumanku di atas meja. Lalu airnya mengenai bagian bawah laptop saya. Kemudian tercium aroma yang seperti gorengan hangus. Tapi,  saat itu laptopnya masih nyala dan masih bisa digunakan. Hanya saja, tadi pagi aku ingin melihat kembali tugas yang aku kerjakan semalam dan laptopnya tidak bisa di hidup kan."

Ia menjelaskan panjang lebar peristiwa yang membuat laptopnya menjadi rusak. Sedang aku khusyuk mendengarkannya.

" Sepertinya ada yang ke bakar di dalam."

"Jadi bagaimana dong. Soalnya,  ada banyak file berharga di laptop itu. Dan hampir semua tugas kuliah ada di situ Rif. "

Dia mulai gelisah tak karuan.

" Tenang saja,  ada calon profesor Rifki di sini. Semua file kamu tidak akan hilang kok. Meskipun laptop kamu todak bisa di perbaiki lagi. "

"Memang iya? "

Dia agak meragukan pernyataanku.

" Iya, benar. Kalaupun laptopnya tidak bisa berfungsi lagi. Kita bisa mengangkat Hardisknya. Nah, di dalam Hardisk itulah semua filemu berada dan kamu bisa menggunakannya di laptop lain yang masih berfungsi. Tapi,  belum tentu juga kalau laptop ini tidak akan berfungsi lagi. Aku akan membawanya pulang ke rumah dan mencoba memperbaikinya. Jadi,  kamu tenang saja. "

" Oh gitu. Ya sudah,  bawa saja ke rumahmu. "

Aku tersenyum padanya. Lalu memasukkan laptop itu ke ranselku. Setelah itu,  kami menikmati camilan yang aku sempat beli tadi. Sampai akhirnya senja tiba, kami berdua membisu memandanginya. Dan entah dengan semangat dan kekuatan seperti apa.  Aku menggenggam tangannya dan ia menoleh padaku. Aku menatap matanya lalu tersenyum.

" Pacaran yuk.... "

Kataku.

Dan Anggun mengangguk pelan. Kami berdua saling beradu senyum. Lalu kembali menatap rona senja di langit sambil bernafas lega. Kami berpisah dan kembali ke rumah masing-masing sesaat setelah ciuman bibir kami melegakan dada kami. Inilah saat termagis yang baru kurasakan. Aku ingin dia berada di sampingku selamanya, dan aku takut kehilangannya.