webnovel

Checkpoint

Hening...

Aku mematung dimana tempat aku berdiri, aku tidak tahu apa yang dia inginkan apakah dia membawa senjata atau tidak tapi dari kata-kata mengancamnya itu sepertinya dia membawa senjata.

Hantu atau bukan akh tidak tahu.

"Berbalik! Cepat!"

Perlahan aku berbalik menuruti apa yang orang itu katakan, benar saja dia ternyata memegang senjata sebuah revolver.

"Apa yang kamu inginkan di sini?" teriaknya dari jauh.

Aku mulai menyadari kalau dia bukan hantu, bodoh juga kenapa pikiranku melayang ke makhluk seperti itu.

"Aku hanya ingin mencari tempat beristirahat sekaligus ingin mengobati temanku, dia tidak sadarkan diri bisakah kamu membantu kami?"

Dia diam, tak lama dia menurunkan revolvernya dan mengajak kami masuk. Syukurlah.

Aku tetap waspada saat masuk mansion itu, ruangannya memang besar dan terkesan kelam serta historis seperti telah banyak tragedi di masa lalu masih terpelihara auranya hingga saat ini.

Memang begitu, hampir di setiap daun pintu yang serba besar di ruangan itu berukiran aneh dan lantai keramiknya sedikit mengalami keretakan bahkan ada bekas goresan di kusen serta bagian bawah dinding aula utamanya.

"Baringkan saja dulu dia di sofa yang ada sana, aku akan kembali" perempuan itu pergi ke dalam ruangan yang sedikit redup di bawah tangga menuju lantai lainnya. Entah mengarah kemana ruangan itu.

Perlahan Mondays kubaringkan di sofa yang telah ditunjukkan perempuan tadi.

Tak berapa lama dia kembali sambil membawa nampan berisikan beberapa cangkir dan sebuah teko. Mungkin teh?

"Kakinya, perlu dinaikkan lagi" perempuan itu menaruh nampan tadi di meja dekat sofa dan mengatur posisi Mondays dan aku hanya menilai saja apa yang aku lihat.

Kemampuan perempuan ini pasti di bidang medis, tapi kenapa pakaiannya penuh darah begitu?

Kalau begitu aku tidak perlu meminta benda berbau tajam, heh, itu juga hal konyol belum tentu orang langsung bangun.

"Maaf atas berantakannya tempat ini, darah, pecahan kaca, aku stres akhir-akhir ini... Hehe... Huuh" perempuan itu menghela nafas dan menunduk, jujur saja dia sedikit menyeramkan namun dia juga baik.

"Silahkan minum teh ini, aku berharap bisa membuatmu tenang selama beristirahat di sini" segera ia mengambil teko dan menuangkannya ke dua cangkir satu untuknya dan satu lagi untukku.

"Ya, terima kasih banyak mau membantu kami" aku tidak langsung meminum tehnya takut kalau-kalau ada sesuatu yang berbahaya di dalamnya karena dia masih orang asing dan aku belum sepenuhnya kenal dia, aku lebih memilih menunggu dia meminumnya lebih dulu.

"Kenapa? Kamu tidak suka teh?" sepertinya dia kesal, benar-benar kesal entah karena aku tidak minum tehnya atau karena hal lainnya.

Seketika dia meneguk habis tehnya dan meletakkan cangkirnya ke meja dengan keras.

Suara benturan cangkir dan meja porselen itu menggema keras di seluruh aula, nampak cangkirnya retak karena benturan itu.

"Maaf nona" aku terkejut, ada suara orang dari ruangan tempat dia membawakan teh tadi.

Kami berdua menoleh ke sumber suara, ada pria tinggi berkaca mata bundar mengayunkan tangannya memanggil kami, eh bukan, hanya perempuan di depanku saja yang dia panggil.

"Aaah, itu Harry... Harry Douverhans, dia membantu merawat rumah ini, tunggu sebentar" segera dia pergi ke arah lelaki itu dan mereka berdua berdebat sambil berbisik entah masalah apa.

Lumayan lama mereka berbicara, aku kembali mengurus Mondays.

"Mondays bangunlah, masih bernafas kok... Kenapa belum bangun juga?" sedikit kuguncang-guncang tubuhnya namun dia tetap tidak sadar.

"Biarkan dia beristirahat dulu, darah yang mengalir dari tubuhnya belum sepenuhnya sampai ke otaknya itulah sebabnya dia menolak untuk bangun... Haha konyol bukan" perempuan itu datang akupun tidak tahu, gerakannya sangat sunyi... Tak bersuara.

"Oh ya? Maaf kalau begitu" aku kembali ke tempat dudukku, canggung diantara kami berdua hingga jeda percakapan sekitar bermenit-menit tak bisa kami hindari.

Aku menyibukkan diriku dengan melihat-lihat sekitar ruangan, desain interior, setiap sudut dan pintu-pintunya. Tak kusadari perempuan itu menatapku terus dari tadi.

"Siapa namamu?" dia mulai lagi kali ini dengan percakapan basic antara orang baru bertemu, perkenalan tentu saja.

"Uh-oh, namaku Michella..."

"Dan..." aku tidak tahu yang dia maksud tapi dia sepertinya ingin setiap detail dari diriku.

"Namaku Michella Vincensia Goretti, ah! Jangan pedulikan nama dengan awalan huruf G itu, hanya marga saja"

Perempuan itu tersenyum halus namun terkesan datar dan menyeramkan, aku semakin ragu kalau dia itu manusia.

"Kenapa? Marga itu membawa keberuntungan di setiap maknanya itulah sebabnya di berikan turun temurun kepada setiap generasi keluarganya..."

Perempuan itu sempat di panggil dengan sebutan nona oleh seorang pria bernama Harry tadi apakah dia seorang darah biru atau hanya pengusaha sukses.

"Ya, aku tahu... Sedikit mencemaskan jika kamu memikirkan maknanya" aku menunduk dan memainkan kaki kanan dengan kaki kiri menghindari kegugupan.

"Tidak perlu bicara soal nama terlalu dalam, namaku Claire McClarity... Lebih aneh bukan dengan panggilan Mc? Tapi itu tidak masalah karena aku suka namaku"

Tunggu sebentar, Claire McClarity? Bukankah itu nama seorang penulis terkenal sekaligus inspirator tingkat dunia? Aku hampir membaca semua buku seri horror ke sembilan miliknya!

Aku penggemarnya... Namun aku tidak pernah tahu wajahnya karena memang di setiap majalah yang ada mengakui saat mewawancarainya, dia tidak pernah terbuka... Sosial media tidak pernah dia sentuh, palingan handphonenya hanya untuk menelpon atau sms.

Identitasnya rahasia, bahkan terlalu rahasia sehingga tidak ada tentang penulis di bagian akhir setiap volume bukunya.

"McClarity? Pe-pe-penulis?" aku tak sanggup bicara karena rasa terkejut sekaligus senang menjalar dari permainan kakiku hingga memompa ke pinggangku dan menguap lagi ke otak.

"Yap, kenapa?" dia melirikku aneh, ada orang bilang kalau McClarity orang yang sombong dan ambisius namun ternyata dia baik hati dan sopan meskipun di awal pertemuan dia agresif.

"Uh-huh, kapan volume ke-10 dari cerita horrormu akan diterbitkan?" aku semakin gugup, mulutku asal bicara.

"Hups, maksudmu... Ah-hahahaha!" dia tertawa keras di depanku, suara gema tawanya menambah rasa gugupku sekaligus takut.

"Ya, ya... Aku penggemar buku-bukumu fantasi, romantis, lainnya" kegembiraan sekilas disaat dunia kiamat, heh.

"Bagaimana mungkin aku menerbitkan buku jika keadaan seperti ini, lagipula para kanibal itu bisa membaca buku?"

Aku tahu dia berusaha merespon tapi nada bicaranya berubah berat dan sedih.

"Mungkin mansion ini bukanlah tempat yang aman untuk berlindung, selain persediaan makanan bisa habis kita juga waspada dengan makhluk di luar sana, mereka manusia tapi sifatnya bertolak belakang dengan kita"

"Sialan wabah ini! Kenapa memangnya!"

McClarity mendorong cangkirnya hingga terjatuh dari meja dan pecah. Sifatnya benar-benar cepat berubah, dari yang bersahabat tiba-tiba menjadi menakutkan.

Aku rasa dia ingin berbagi cerita kepadaku, karena saat perasaan sedang bingung dan emosi beginilah saat yang tepat untuk berdiskusi.

"Tadi pagi, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi... Berlagak orang bodoh aku hanya sibuk mengunci diriku dalam kamar sedang mengarang naskah sambil mendengarkan radio, radio yang melantunkan lagu merdu kemudian berisikan berita darurat serta teriakan. Tidak masuk akal!"

"Aku mengerti perasaanmu, kita ketakutan dan kebingungan... Aku juga tidak mengerti kenapa wabah ini bisa menyebar begitu cepat hanya satu hari"

"Huuuh, mungkin ini akhir dunia, Dooms Day orang-orang mengatakannya... Mungkin aku bisa membuat cerita tentang keadaan sekarang, membuat cerita tentang Dooms Day dimana tak akan ada yang membacanya"

McClarity segera berdiri dan berjalan ke arah lemari kaca yang penuh porselen antik. Kemudian dia membuka laci lemari paling bawah dan mengeluarkan sesuatu.

Dengan perlahan dia membawa benda itu kepadaku, benda yang rapuh, itu patung kucing melambai 'Maneki Neko' berwarna emas dengan loreng cokelat karamel.

"Wah, cantik dan bersinar" aku sangat senang melihat patung kucing itu, gerakannya yang melambai dan bentuknya yang lucu selalu membuatku tersenyum.

"Yah, ini aku anggap sumber keberuntunganku... Saat kecil, bukan sekarang, sekarang aku bukan orang yang percaya akan patung-patung seperti itu. Walaupun begitu aku tetap merawat dan menyimpan benda ini sebaik mungkin berharap bisa memberikannya pada orang lainnya yang sangat dekat denganku"

Aku mengangguk pelan mendengarkan penjelasannya, dia juga mengatakan kalau patung itu hadiah pertama ulang tahunnya.

"By The Way, si mungil ini siapa?" tanya nya sambil melirik ke arah Mondays yang masih belum sadar.

"Namanya Mondays, dia temanku... Baru hari ini juga aku menemukannya, sendirian. Orang tuanya meninggal"

"Ouh, pasti rasanya menyakitkan... Berjuang hidup melawan sesuatu yang seperti ini sebatang kara dan umurmu masih muda, heh?"

Aku mengangguk saja sambil menatap kasihan kepada Mondays, memang dia masih kecil tapi perjuangan hidupnya sangatlah berbahaya. Aku harap aku bisa bertahan untuknya lebih lama.

"McClarity..."

"Ehemm, tidak tidak, panggil saja Claire"

Aku tersipu sambil menggaruk kepalaku lalu melanjutkan bicaraku.

"Apakah memang suka tinggal di tempat sepi seperti ini?"

"Ya, bersama beberapa pelayanku aku betah saja karena ketenangan sangat kubutuhkan jika mengarang naskah... Aku baru saja kemarin tiba di Bunny East, tak lama aku baru di sini dan di sambut oleh kanibalisme"

"Aku juga kalau begitu, baru kemarin tiba di sini dan..."

Aku tiba-tiba teringat pada apa yang terjadi semalam...

Pria aneh dengan kameranya yang dia bilang bukti... Bukti apa sebenarnya, aku belum memeriksa kameranya hingga ke bagian-bagian lain.

Dia ingin aku memberikannya pada... Tidak, dia tidak menyuruhku memberikannya pada siapa-siapa namun dia ingin aku menyebarkan beritanya atau lebih tepatnya memperluas buktinya kepada orang lain!

Itu tugasku? Aku tidak tahu...

Aku perlu memeriksa rekamannya terlebih dahulu...

Claire melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku, aku langsung terlepas dari lamunanku.

"Ada apa? Pikiran berat yah?" dia segera berdiri dan membereskan cangkir dan gelas bekas minum teh namun cangkir yang pecah tadi dia biarkan saja.

"Aku akan tinggalkan kalian sebentar, mungkin sedikit lama karena aku ingin beres-beres dulu... Bajuku seperti orang gila bukan?" dia segera kembali ke ruangan di balik tangga itu yang aku yakin di sana adalah dapur.

Terdengar dari dalam ruangan itu dia meminta agar Harry si pelayannya membersihkan pecahan cangkirnya.

Apalagi yang aku lakukan selain menunggu Mondays sadar? Tidur sebentar tidak apakan?

Tak lama pelayan bernama Harry itu datang dan permisi kepadaku ingin membersihkan pecahan cangkir, aku sih mempersilahkan saja karena aku cuman tamu biasa plus sedikit sekarat yang numpang beristirahat.

"Anda temannya Nona McClarity ya?"

"Uh, bisa dibilang begitu, aku baru saja tiba di sini dan asik berbincang serta berkenalan dengannya, aku penggemar bukunya"

Harry hanya mengangguk kemudian menyapu pecahan kaca dengan sapu kecil dan memasukanya ke dalam pengki (bentuknya seperti cangkul dan seperti sekop untuk ukuran kecil digunakan untuk menampung kotoran bekas menyapu).

Setelah selesai dia tidak langsung pergi melainkan duduk sebentar di samping Mondays.

"Gadis manis, anakmu?"

LOL, yang benar saja, apakah aku terlihat tua seperti wanita yang sudah memiliki keluarga sendiri?

"Uh, bukan, kami bersama-sama menyelamatkan diri saat wabah terjadi jadi kami sampai di sini tetap bersama"

"Kalau begitu, uh, pasti orang tuanya tiada benar bukan?"

Aku mengangguk pelan membalas tebakan Harry. Perlahan dia menaikkan kacamata bundarnya dan membelai tangan Mondays.

"Aku tak menduga aku terpisah dengan keluargaku disaat seperti ini tepatnya istriku dan putriku, mereka jauh berada di Wing Bay, entahlah apakah di sana ada wabah seperti ini atau tidak... Aku harap di sana aman"

Aku lihat Harry ataupun Claire mereka berdua sama-sama berantakan, baju dengan bercak darah dan sedikit luka gores, apakah sempat ada kanibal menyerang tempat ini?

"Aku mengerti" aku juga berharap orang yang dari kemarin kucari ini masih hidup, Sam.

Orang tuaku meninggalkanku saat masih sekolah dasar, kecelakaan mengerikan saat itu untungnya aku tidak ikut kendaraan yang mereka tumpangi.

Aku tidak ingin menceritakannya sekarang, hal itu akan membuat hatiku semakin sedih.

"Nona McClarity sangat emosional akhir-akhir ini, ditambah lagi wabah ini dirinya kurasa semakin buruk... Asal kamu tahu..." Harry segera mendekat ke arahku dan berbisik "Nona McClarity terkadang berperilaku berbeda layaknya ada dua orang di dalam tubuhnya, satu menyenangkan dan yang lainnya aneh, sangat aneh. Hati-hati berteman dengannya" Harry tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

"Kau tidak sedang berusaha menakutiku bukan?" Harry menggeleng dan berdiri hendak meninggalkanku.

"Tidak perlu takut asalkan kamu tidak terlalu dekat dengannya, dia terkadang menyukai orang yang begitu dekat dengannya tak peduli laki-laki atau perempuan, dia memiliki obsesi besar terhadap orang tersebut"

Obsesi besar?

Kenapa orang ini? Apa yang dia beritahukan kepadaku barusan seperti tidak masuk akal, apa mungkin itu sebabnya Claire McClarity selalu menutup diri?

"Baik, istirahatlah aku tidak ingin mengganggu..." Harry kemudian meninggalkanku dengan perasaan bingung akan Claire, dia berkepribadian ganda? Obsesi pada orang dekat dengannya? Huh, ternyata orang yang aku gemari seram juga.

Aku tak mau berpikir terlalu dalam, yang penting aku beristirahat sebentar sambil menunggu Mondays sadar, tak sadar aku mulai larut di dalam tidur yang mencekam.

Nächstes Kapitel