Namun tiba-tiba si Bungsu membalikkan badan, menatap kearah kanan. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat semuanya terkejut dan segera mengarahkan senjata ke arah yang dilihat si Bungsu.
"Jangan tembak,!"ujar si Bungsu setelah mengetahui yang muncul itu adalah Duc Thio dan Thin Binh. Thin Binh segera berlari memeluk si Bungsu.
"Kenapa begitu lama, kau tinggalkan aku…."ujarnya
Si Bungsu menatap gadis itu, kemudian mengenalkannya pada kolonel MacMahon dan seluruh tawanan Amerika tersebut.
"Ini Thi Binh yang kuceritakan tadi. Dia pernah disekap tentara Vietnam di barak-barak di bawah sana, Dialah yang menceritakan dimana lokasi ini. Duc Thio ini kolonel MacMahon. Kolonel ini Duc Thio…"ujar si Bungsu.
Semuanya saling menatap memperhatikan, kemudian saling mengangkat tangan memberi salam.
"Oh ya, Thi-thi, ini Roxy, yang ayah nya membayarku untuk membebaskannya…" ujar si Bungsu mengenalkan perawat Amerika.
Thi Binh dan Roxy saling bertatapan. Kemudian saling mengangguk. Tak ada yang memulai untuk bersalaman. Mereka hanya saling berdiam diri dan saling pandang. Entah mengapa, Thi Binh tiba-tiba saja merasa hatinya diharubirukan oleh perasaan tak enak, tatkala melihat betapa jelitanya gadis itu. Sebenarnya tawanan Amerika itu juga terkejut akan kecantikan Thi Binh.
Mereka sudah tahu dan selama ini mengetahui kalau gadis-gadis Vietnam keturunan tersohor kecantikannya. Tapi Thi Binh bukanlah blasteran eropa-vietnam tapi blasteran penduduk asli ras Cina. Kecantikannya benar-benar alami.
"Baik, sekarang Duc Thio bisa memimpin semua wanita dan yang sakit menyelamatkan diri dari sini…"ujar si Bungsu memutuskan keheningan.
Thi Binh menatap tajam pada si Bungsu, sementar yang lain sedang berkemas untuk meninggalkan tempat tersebut. Si Bungsu hanya mengangguk, karena dia memahami bahwa gadis itu ingin membalaskan dendamnya pada tentara Vietnam yang berbulan-bulan menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsu. Dia sudah menjanjikan berkali-kali pada Thi Binh, bahwa dia akan membantu membalaskan dendamnya. Dan Kini thi Binh menagih janji itu.
"Saya juga tetap tinggal dan ikut bertempur disini…" tiba-tiba terdengar suara dari salah satu tawanan Amerika berbicara dengan pasti. Semua menatap padanya, dia adalah Roxy.
"Anda di bayarkan untuk membebaskan dan diantar sampai Amerika bukan?"ujar Roxy langsung ditujukan pada si Bungsu. Si Bungsu tertegun sebentar kemudian mengangguk.
"Jika saya tidak bersama anda, bagaimana anda bisa menepati janji untuk mengantarkan saya ke Amerika…?"ujar Roxy sambil menatap lurus-lurus pada si BUngsu.
"Kita bisa bertemu di suatu tempat setelah kalian bebas.."ujar si Bungsu.
"Saya tetap disini…"
"Yang tinggal disini harus bertempur dan kecil sekali kemungkinan selamat…"ujar si Bungsu.
"Saya sudah biasa bertempur dan disekap bertahun-tahun. Soal hidup atau mati, tidak lagi menjadi penting…."ujar Roxy.
Thin Binh menatap Roxy dengan mata melotot. Ketika tidak menatap langsung, namun Roxy tahu kalau gadis vietnam itu keki setelah dia mengatakan akan tinggal. Dan entah mengapa, dia justru senang membuat keki gadis itu. Semakin dongkol hati Thi Binh semakin senang hati Roxy.
Roxy tersenyum, dan dengan senyum itu dia menatap si Bungsu, kemudian Thi Binh. Ooo, jengkelnya hati Thi Binh melihat senyum perempuan Amerika itu. Baginya, senyum itu adalah senyum perempuan gatal. Entah mengapa sakit saja hatinya melihat gadis Amerika yang satu ini. Apalagi melihat dia senyum-senyum pada si Bungsu.
Rombongan itu akhirnya terbagi dua. Yang satu nya ditemani beberapa orang yang sehat, bergerak kearah perbukitan, dengan Duc Thio sebagai penunjuk jalan. Jumlah yang bersama si Bungsu kini ada 10 orang. Yang tiga orang adalah si Bungsu, Han Doi, dan Thi Binh. Sementara di pihak bekas tawanan Amerika yaitu Kolonel macmahon, Roxy, dua anggota SEAL dan tiga yang berasal dari baret hijau.
Bedil yang sepuluh mereka bagi dua, begitu juga dengan peluru dan dinamitnya, dan si Bungsu memberikan jam tangannya, yang bisa menyiarkan sinyal panggilan kepada kapal induk Amerika kepada letnan yang ikut bersama Duc Thio. Kendati dia tahu kalau letnan itu bisa memakai alat pada jam itu, tapi dia tetap meberikan petunjuk biar lebih meyakinkan.
"Kini Komando ada di tangan anda Kolonel…"ujar si Bungsu, beberapa saat setelah rombongan yang menyelamatkan diri itu hilang dari pandangan mereka.
Kolonel MacMahon yang memang dari tadi sudah memperhatikan situasi dimana mereka berada, segera mengatur rencana. Dia menyebar personel yang ada dalam radius tertentu. Dimana mereka masih bisa saling mengawasi. Namun roxy menolak ketika ditempatkan disayap tengah.
"Saya harus berada di dekat orang ini kolonel. Karena sesuai janjinya pada ayah saya, dia bertanggung jawab atas hidup dan mati saya…"ujar gadis itu.
Yang di maksud dengan 'orang ini' siapa lagi kalau bukan si Bungsu. Thi Binh kontan melototkan mata kearah Roxy begitu mendengar ucapan itu. Dan Roxy memang sedang menanti pandangan gadis itu dan begitu Thi Binh mempelototi nya dia balas dengan senyum simpul. Oo gondoknya hati Thi Binh, sedangkan si Bungsu hanya diam. Apa boleh buat dia memang sudah berjanji pada ayah gadis itu.
Dia lalu memaparkan rencananya pada Kolonel MacMahon. Dia akan meyerang barak tentara Vietnam bersama Thi Binh. Dijelaskannya bahwa gadis itu tak bisa menghapus dendamnya pada tentara Vietnam di bawah sana, akibat perkosaan dan dijadikan pemuas nafsu selama berbulan-bulan. Tanpa berniat dan menimbulkan kesan mengajari si kolonel, si Bungsu menjelaskan teori klasik perkelahian, bahwa pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Konkretnya, menyerang sepuluh kali lebih baik dari pada bertahan.
"Jika Anda setuju, kolonel, saya akan menyusup menghancurkan gudang senjata mereka. Siapa tahu, kami bisa mencuri beberapa senjata dari gudang tersebut. Tapi, paling tidak, meledaknya gudang itu akan menyebabkan ditariknya sebagian pasukan yang memburu kita…" ujar si Bungsu perlahan.
Kolonel MacMahon menyetujui rencana tersebut, namun dia mengusulkan agar si Bungsu disertai salah seorang dari anak buahnya yang berasal dari pasukan SEAL. Saran itu segera disetujui si Bungsu. Namun ketika dia akan berangkat bersama Thi Binh dan Sersan Mc Dowell, Roxy yang tidak bersenjata segera pula berdiri di samping Thi Binh.
"Saya ikut bersamamu…" ujarnya sambil melemparkan senyum pada Thi Binh.
Saking jengkelnya, hampir saja Thi Binh menampar bibir mungil yang tersenyum itu. Sungguh mati, dia tak ingin perempuan yang dianggapnya gatal ini ikut-ikut pula bersama dia dan si Bungsu. Namun sebelum dia sempat bereaksi, si Bungsu sudah menyuruh pasukan kecil itu bergerak. Si Bungsu di depan, Mc Dowell menyilahkan Thi Binh dan Roxy bergerak duluan, dia menempati posisi paling belakang.
Namun, ketika si Bungsu sudah bergerak cukup jauh, kedua gadis itu masih tegak dan saling pandang, seperti dua harimau yang akan saling terkam. Sudah dua kali Mc Dowell menyilakan mereka untuk maju, keduanya masih tegak dan saling pelotot.
Penat saling tatap dan saling pelotot, akhirnya Roxy yang memang dalam usia jauh lebih tua dari Thi Binh segera mengambil inisiatif menyilahkan gadis itu melangkah duluan. Namun Thi Binh masih tegak. Maka Roxy tak lagi peduli, dia segera berjalan mengejar si Bungsu. Thi Binh seperti disengat lebah melihat Roxy yang dicapnya sebagai perempuan gatal itu tiba-tiba saja nyelonong duluan. Dia memegang bedilnya erat-erat, kemudian bergegas menyusul langkah Roxy. Menyelinap di antara belukar dan batu-batu besar.
"Perempuan gatal, perempuan lont…." gerutu Thi Binh sambil berusaha mempercepat langkah.
Hatinya bertambah sakit, tatkala melihat jauh di depan sana, di antara palunan belukar, sekilas-sekilas dia melihat perempuan itu sudah berjalan beriringan dekat sekali dengan si Bungsu. Oo, jengkel dan gondoknya dia. Kalau saja tak khawatir suaranya akan terdengar oleh tentara Vietnam, yang mungkin sudah ada di sekitar mereka, Thi Binh pasti akan berteriak menyuruh si Bungsu berhenti menantinya.
Tapi maksudnya itu terpaksa dia urungkan, sebab dia tak tahu apakah tentara Vietnam yang memburu mereka sudah berada di sekitar tempat ini atau tidak. Kalau dia bersuara keras, pasti akan terdengar oleh orang yang memburunya itu.
Kendati demikian, Thi Binh tak bisa menghapus jengkel dan gondok di hatinya begitu saja terhadap perempuan yang dicapnya gatal itu.
Sebenarnya, sumber rasa gondok dan jengkel itu, adalah rasa cemburu. Sungguh, dia demikian mencintai si Bungsu. Dia tak ingin ada perempuan lain yang menyela di antara kehidupan mereka berdua. Usianya yang baru lima belas, meski tubuhnya seperti gadis 17 tahun, menyebabkan dia sulit mengontrol hatinya. Dia merasa Roxy adalah sumber gangguan yang amat potensial bagi hubungannya dengan si Bungsu. Dia tak menginginkan itu.
Konyolnya, Roxy yang tahu benar bahwa gadis itu mencintai si Bungsu, dan dia juga tahu bahwa gadis tersebut cemburu padanya, justru bersikap membakar-bakar. Seperti sikapnya memilih tinggal bersama si Bungsu, bukannya ikut menyelamatkan diri bersama teman-temannya yang lain. Padahal, apalah urusannya berada bersama si Bungsu. Dia tentu akan lebih aman bila menyingkir dari tempat ini bersama rombongan yang dipimpin Duc Thio.
Pertempuran pertama terjadi ternyata bukan melibatkan rombongan si Bungsu atau MacMahon yang bertahan. Pertempuran itu justru terjadi pada rombongan orang-orang yang menyelamatkan diri bersama Duc Thio. Untung saja mereka tak masuk jebakan.
Pertempuran pecah setelah letnan dari pasukan Baret Hijau yang menyertai Duc Thio, yang tadi menerima jam tangan sinyal dari si Bungsu, melihat sekilas gerakan mencurigakan sekitar dua puluh depa di depan mereka.
Dia memberi isyarat ke rombongan di belakangnya. Rombongan itu berhenti tiba-tiba dan mencari perlindungan di balik batu atau kayu-kayu besar. Si Letnan membisikkan kepada Duc Thio bahwa dia melihat gerakan di depan sana.
"Anda tunggu di sini. Senjata kita hanya dua pucuk…" bisik si letnan sambil memberi isyarat memanggil seorang sersan pasukan Baret Hijau yang berada di bahagian belakang.
Sersan itu, yang tak memiliki bedil, segera mendekat pada si letnan. Mereka mengatur taktik untuk mengetahui berapa jumlah tentara Vietnam di depan sana, kemudian jika mungkin menjebak dan melumpuhkannya. Si letnan membuat gerakan melambung ke kiri, sementara si sersan yang hanya berbekal bayonet melambung ke arah kanan. Keduanya lenyap dalam palunan belantara lebat.
Duc Thio berjaga-jaga di tempat tersebut. Dia segera ingat senjata di tangannya. Dia melihat ada seorang kopral Baret Hijau yang duduk bersandar ke batang kayu besar sembari memeluk tubuh Helena, tentara wanita yang sakit dan tak mampu berjalan itu. Duc Thio bergerak ke belakang, ke arah kopral tersebut.
"Senjata ini akan jauh lebih bermanfaat jika Anda yang memegangnya. Biar saya yang
menggantikan memapah dia…" bisik Duc Thio sambil menunjuk pada Helena.
Kopral itu tentu saja menerima tawaran tersebut. Bagi tentara seperti dia, berada dalam pelarian tanpa senjata sama dengan lari bertelanjang.
Perlahan dipindahkannya tubuh Helena ke pelukan Duc Thio, kemudian diambilnya senjata laras panjang hasil rampasan tersebut, dan segera bergerak ke bahagian depan. Letnan yang tadi menyelinap ke depan, tiba-tiba mendengar ada suara langkah di bahagian kanannya. Dengan cepat, nyaris tanpa menimbulkan suara dia bersembunyi ke balik rimbunan belukar.
Hanya beberapa detik setelah dia bersembunyi, di balik beberapa pohon besar di bahagian kanannya muncul dua orang tentara Vietnam. Kedua mereka menatap tanah, nampaknya mencoba melihat jejak yang ditinggalkan pelarian yang mereka kejar. Kedua tentara itu lewat hanya sekitar dua depa dari tempat persembunyian si letnan. Si letnan masih menanti beberapa saat, dia tak bisa gegabah. Dia tak tahu berapa orang sebenarnya tentara Vietnam yang memburu mereka ke arah ini.
Jika sekarang dia menembak, dia khawatir bahagian lain dari tentara yang memburu mereka akan berdatangan kemari. Namun usahanya untuk berdiam diri digagalkan oleh seekor ular daun yang sejak dia menyelusup ke belukar rimbun itu sudah mengintai.
Ular hijau itu besarnya tak lebih dari sebesar jempol lelaki dewasa, dengan panjang sekitar satu depa. Namun tak seorang pun di antara tentara Amerika yang bertugas di belantara Asia yang tak tahu betapa mematikannya gigitan ular kecil tersebut.