webnovel

Kupotong Lehernya

"Michikooooooo!" Saburo Matsuyama berteriak histeris melihat kenekatan anaknya itu.

Namun suatu keajaiban terjadi. Sebenarnya bukan keajaiban. Tapi suatu kecepatan yang luar biasa.

Si Bungsu yang tegak tiga depa dari Michiko. Adalah orang pertama yang dapat melihat gerak tangan gadis itu. Dia melihat sesuatu yang mengkilap di tangannya yang ke luar dari keranjang kecil itu. Dan tangan gadis itu menghujamkan ke dadanya. Nalurinya yang amat sensitif, yang dia bawa dari Gunung Sago, segera mengirimkan isyarat bahaya. Dan dengan gerak yang hanya berdasarkan nalurinya saja, samurainya tersebut, dan dalam sebuah gulingan di lantai, dalam jurus Lompat Tupai, samurainya bekerja.

Samurai kecil di tangan Michiko kena dihantam samurainya. Samurai kecil itu terpental. Menancap di loteng kuil! Michiko kaget. Semua pendeta juga kaget melihat kecepatan anak muda ini. Michiko menatap si Bungsu. dan tiba-tiba dia memeluk anak muda itu!.

"Bungsu-san…..kenapa harus jadi begini?" isaknya.

Sementara itu Saburo sampai di sana.

"Michiko-san…." Katanya perlahan.

Gadis itu menoleh pada ayahnya. Dan tiba-tiba dia berlari ke pelukan si ayah.

"Ayah, dialah pemuda yang kuceritakan itu. Dialah yang dua kali menyelamatkan nyawaku. Dialah yang…..yang…oh Tuhan….oh Tuhan….mengapa harus jadi begini. Biarlah aku mati…..biarlah aku mati ayah….."

Gadis itu hampir-hampir histeris!Saburo jadi kaget mendengar ucapan anaknya. Para pendeta yang semuanya juga telah mendengar cerita itu dari Saburo, juga jadi kaget.

Saburo menatap si Bungsu. kedua musuh berbuyutan ini saling pandang. Dan kedua sama-sama terkejutnya mendapatkan kenyataan ini. Betapa tidak, si Bungsu yang telah menolong Michiko sejak dari Tokyo, telah begitu akrab dengan gadis itu, yang secara jujur harus dia akui bahwa dia jatuh hati padanya. Ternyata gadis itu adalah anak musuh besarnya.

Anak dari seorang lelaki yang telah menista dan memusnahkan keluarganya. Seorang fasis yang telah merajam dan menista negerinya. Tanpa dapat dia tahan, bulu tengkuknya sendiri menerima kenyataan pahit ini.

Saburo Matsuyama demikian pula. Dia telah "cuci tangan" dari urusan-urusan duniawi. Dia ingin mencuci dosa yang dia perbuat selama perang dengan menjadi seorang pendeta. Keyakinan, amal saleh dan kedermawanannya menyebabkan dia diangkat oleh dewan pendeta menjadi Kepala Pendeta di kuil Shimogamoini. Yaitu salah satu diantara tak banyak kuil yang berpengaruh tidak hanya di Kyoto, tetapi juga di kawasan Jepang bahagian Selatan!

Dua hari yang lalu dia demikian bahagia menerima kepulangan puteri tunggalnya dari Tokyo. Dia terkejut mendengar bencana yang hampir menimpa anaknya. Dia sangat berterimakasih atas bantuan pemuda yang belum dikenal itu. Dia ingin mengadakan doa selamatan atas terhindarnya Michiko dari bencana tersebut. Dan dia telah merencanakan untuk datang hari ini selesai dia memimpin upacara keagamaan ke hotel anak muda itu. Michiko berkata bahwa anak muda yang menolongnya itu berasal dari Indonesia. Tak sedikitpun hatinya berdetak, bahwa anak muda yang menolong anaknya itu adalah si Bungsu yang mencarinya untuk membalas dendam.

Dan kini dia dihadapkan pada kenyataan yang alangkah pahitnya ini. Dia melepaskan pelukan anaknya. Maju dua langkah ke hadapan si Bungsu yang tegak memegang samurainya dengan wajah dingin. Saburo berlutut di lantai. Membungkuk dalam-dalam. Kemudian terdengar suaranya bergetar.

"Bungsu-san, terimakasih banyak atas pertolonganmu pada anak saya. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Saya tahu betapa pedihnya dendam yang kau simpan selama bertahun-tahun. Kini, saya akan menerima pembalasanmu. Bertahun-tahun saya menghindar dari rasa takut atas dosa yang saya perbuat. Tapi akhirnya Tuhan menunjukkan bahwa cepat atau lembat pembalasan atas dosa yang diperbuat manusia atas manusia lain, pasti akan dibalaskan. Saya terima apapun pembalasan yang kau lakukan padaku…"

Si Bungsu maju setindak dan mencabut samurainya. Dan tindakan inilah yang mendatangkan bencana yang tak terhindarkan di kuil Shimogamo itu. Dia maju mencabut samurainya tidak dengan maksud menebas leher Saburo yang menunduk itu. Dia ingin menancapkan samurai itu lantai dihadapan lelaki itu. Dan setelah ditancapkan, dia ingin berkata:

"Kau lihatlah samurai ini Saburo. Putih berkilat, tapi berlumur darah dan berbau maut. Dengan samurai ini dahulu keluargaku kau habisi nyawanya, kini dengan samurai ini pula aku menuntut balas….!"

Itulah yang ingin dia perbuat dan ucapkan. Tapi para pendeta yang enam belas orang itu, yang berkumpul di sekeliling si Bungsu, menyangka bahwa dia akan menghentakkan ujung samurainya ke tengkuk Obosan mereka.

Karena berfikir demikian, maka wajar saja mereka turun tangan membela. Dua orang diantaranya, yang tegak dekat ssebuah kursi, segera menyambar kursi itu dan menghantamkannya pada si Bungsu.

Anak muda ini mendengar desir angin kursi yang dihantamkan itu. Dan dia tahu bahwa dia diserang dari belakang.

Dia berbalik dengan cepat. Tangannya yang memegang samurai terhunus itu bekerja cepat sekali. Kursi yang terbuat dari kayu keras itu putus seperti batang pisang. Patahannya beserpihan.

Si Bungsu sebenarnya tak mau segera menurunkan tangan kejam terhadap para pendeta itu. Dia sudah akan menghentikan serangannya. Tapi para pendeta itu justru melanjutkan serangannya. Mereka tetap menyangka anak muda ini akan membunuh Obosan mereka. Pendeta Gemuk yang memegang sisa kaki kursi yang runcing menghujamkannya kaki kursi itu ke rusuk si Bungsu. Si Bungsu yang telah menghentikan gerakannya, jadi terlambat mengetahui serangan ini. Tak ampun lagi, rusuknya robek! Darah mengalir. Dan kesalahan pengertian kecil itu, segera robek menjadi perkelahian maut.

Merasa dirinya dilukai, si Bungsu sadar bahwa orang ini menghendaki nyawanya. Maka begitu kaki kursi yang runcing itu merobek rusuknya, samurainya bekerja dua kali sabetan ke belakang. Perut pendeta itu robek. Temannya yang satu lagi melemparkan pula sisa kursinya pada si Bungsu. dan dia juga menerima bahagian yang mengerikan. Tangannya putus dan rusuknya robek menganga!

Terlalu cepat kejadian itu untuk segera dipahami Saburo. Dia masih menunduk ke lantai, siap menerima pembalasan si Bungsu ketika tragedi berdarah itu berakhir. Ketika mengangkat kepala, kedua pendeta itu sudah rubuh mandi darah dan mati. Rusuk si Bungsu sudah terluka. Dia kaget dan segera berdiri. Dan kekagetannya ini disalah tafsirkan oleh pendeta yang lain. Mereka menyangka Saburo tegak untuk menyerang si Bungsu. padahal bekas perwira Jepang itu ingin menghentikan pertarungan tersebut. Begitu Saburo tegak, empat pendeta segera menghantam si Bungsu. para pendeta dalam kuil ini tak seorangpun yang bersenjata. Senjata hanya mereka pakai ketika latihan di Doyo.

Mereka lalu menyerang dengan jurus-jurus Kuntau, Kungfu atau Karate. Namun tangan kosong mereka, betapapun tangguhnya, menghadapi samurai si Bungsu, benera-benar suatu hal yang patut dikasihani.

Kalau saja lawan mereka bukan si Bungsu, mungkin mereka bisa menang. Tapi lawan mereka adalah si Bungsu! Untung saja anak muda ini tak mau turun tangan kejam pada penyerang-penyerang tangan kosong ini. Betapapun jua, dia bukan tukang bantai. Dan dia memang menghindarkan pembantaian itu.

Dia bergulingan di lantai menghindarkan serangan itu. Ke empat pendeta itu maju terus.

"Tahan…!!!" si Bungsu berkata sambil menjauh.

Tapi saat itu nampaknya bencana yang lebih jauh besar sudah tak terhindarkan lagi. Mendengar pekik Michiko dan bentakan-bentakan tadi, beberapa orang Sensei (instruktur) silat yang tegak di teras mengawasi pendeta yang berlatih jadi kaget. Mereka segara masuk. Dan melihat betapa orang asing tadi berkelahi dengan pendeta-pendeta rekan mereka. Tentu saja mereka jadi marah dan bersamaan menghunus samurai!

Begitu empat orang sensei itu masuk, keempat pendeta bertangan kosong itu mundur. Dan keempat sensei itu mengurung si Bungsu di tengah.

"Tahan…!" si Bungsu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.

"Semua mundur!" terdengar perintah Saburo.

Tapi situasi kembali tak memberi peluang bagi pendeta untuk menjalankan seruan si Bungsu atau perintah Saburo. Ke empat sensei itu sudah menggebrak maju. Seiring dengan pekik Michiko, empat samurai menyerang si Bungsu dari empat jurusan di empat tempat berbahaya dengan kecepatan yang terlatih!Para pendeta kuil Shimogamo ini adalah para pendeta yang disegani di Kyoto. Mereka disegani selain karena punya pengaruh dan wibawa yang sangat dihormati, juga karena di kuil ini terdapat pendekar-pendekar tangguh. Dan sebenarnya, menghadapi keempat sensei ini, jarang ada orang yang bisa luput dari ancaman maut. Dan itu juga sudah bisa diperhitungkan para pendeta tersebut. Termasuk Saburo.

Orang tua bekas Letnan Kolonel balatentara Jepang itu, segera maju menghalangi keempat anak buahnya. Dia tak ingin anak muda yang telah menolong puteri tunggalnya itu celaka.

Namun gerakannya terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai keempat anak buahnya itu. Tapi keempat samurai anak buahnya itu juga terlambat jika dibandingkan dengan gerak samurai si Bungsu! Si Bungsu, anak muda yang telah bertekad mati demi membalaskan dendam keluarganya itu adalah seperti malaikat maut yang luar biasa berbahaya.

Sudah bertahun dia melatih diri. Dan kini saatnya hasil latihan itu dipergunakan. Kalau selama di Bukittinggi, Pekanbaru atau di Tokyo dan terakhir di Gamagori melawan bandit-bandit Kumagaigumi, semata-mata untuk membela diri atau membela orang lain. Maka kini adalah tujuan daripada seluruh latihan yang bertahun dia jalani itu. Dia telah hidup menderita penuh cobaan di Gunung Sago. Itu semua dengan tujuan membalas dendam pada Saburo.

Kalau di Bukittinggi dia diburu, kemudian membantu perjuangan kaum pejuang bawah tanah, itu semua juga dalam rangka mencari Saburo.

Kalau di Tokyo dia melawan tentara Amerika dan melawan Jakuza itu juga sekadar untuk mempertahankan dirinya agar tetap hidup untuk bisa bertemu Saburo

Kini dia berkelahi di hadapan Saburo. Bukan dengan Saburo! Makanya dia juga harus tetap hidup untuk bisa melawan Saburo! Sumpah ayahnya sesaat sebelum mati, dengan samurai tertancap di dada, bahwa ayahnya akan membalas dendam pada Saburo, hari ini harus dia lakukan! Dia harus hidup untuk bisa melaksanakan sumpah dan dendam turunan itu! Karenanya anak muda itu kini berubah menjadi singa luka yang alangkah berbahayanya!Keempat samurai sensei itu dia tangkis dengan kecepatan yang luar biasa. Tangan para sensei itu tergetar dan pedih begitu samurai mereka beradu. Mereka terkejut. Namun itulah saat mereka terkejut untuk terakhir kalinya. Sebab setelah itu, kecepatan samurai orang asing itu sudah tak bisa lagi mereka ikuti. Tahu-tahu mereka mendapatkan diri mereka seperti dilumpuhkan. Ada yang merasa dadanya robek, ada yang merasakan jantungnya pecah. Ada yang merasakan perutnya ngilu. Lalu dunia mereka gelap! Mereka rubuh, mati!

Hanya dalam sekali gebrak. Keempat sensei kuil Shimogamo ini mati! Namun murid-muridnya yang latihan di luar sudah membanjir masuk. Dan kini dengan tongkat yang panjangnya satu setengah depa, besarnya selengan lebih, mereka menyerang si Bungsu.

Si Bungsu melihat ini sebuah bencana besar. Betapapun tangguhnya dia, namun menghadapi tongkat panjang ini amat berbaya. Dia tak bisa mendekati orang-orang itu. Itulah bahanyanya. Lagipula, dia harus menghemat tenaga. Sebab setelah ini, lawan yang harus dia hadapi adalah Saburo!

Karena itu, begitu ada lowongan sedikit, dia lalu mempergunakan Lompat Tupai. Tubuhnya bergulingan di lantai. Tapi beberapa tongkat sempat menghajar tubuhnya. Sakitnya bukan main. Dia menahan sakitnya dengan tetap bergulingan. Yang dia tuju adalah Michiko! Dan dalam gulingan terakhir dia mencapai diri Michiko yang terduduk lemah dan menangis!

Dia sambar tubuh gadis itu. Membawanya bergulingan di lantai. Sebelum orang-orang tahu dan sadar apa yang terjadi, dia sudah bangkit mengapit Michiko dengan melekatkan samurai itu ke leher gadis tersebut!

"Majulah, dan gadis ini akan kupotong lehernya!" dia mendesis di antara nafasnya yang memburu.

Semua orang terpaku di tempatnya. Saburo terbelalak. Michiko menggigil dan menangis.

Nächstes Kapitel