webnovel

Rasakan pembalasanku

Sore hari setelah terbangun dari tidur, meri berjalan ke ruang keluarga untuk mencari junior dan ilham.

Di sore hari biasanya anak dan daddy itu sedang bermain game di televisi. Benar saja, keduanya sedang sibuk dengan game peadle di tangan mereka.

Tangan keduanya sangat lincah menggerakkan tombol itu kekanan, kiri, memutar di gabungkan dengan tombol lainnya.

"kalian sepertinya sangat menikmati permainan ini" sapa meri.

Ia keluar dengan pakaian kamar yang terbilang seksi. Sebuah gaun tidur selutut dengan bagian dada terbuka. Para asisten pria sudah di beritahu bahwa saat nyonya rumah sedang berada di dalam maka tak seorang pria pun di izinkan masuk. Bahkan asisten ilham sekalipun.

Mereka hanya boleh berinteraksi dengan asisten wanita lain untuk menyampaikan pesan kepada sang nyonya. Sementara untuk asisten pribadi ilham hanya akan menghubungi melalui ponselnya.

"ibu, aku menang dari dadi dua kali" jawab junior bangga.

Alis lentik dengan bulu berjejer rapi ilham terangkat dan dengan satu kedipan mata meri sudah bisa menangkap bahwa ilham melakukannya dengan sengaja.

Kalah dari lawanmu berturut-turut dan tidak pernah menang akan menimbulkan kebosanan tersendiri. Selain itu, kepercayaan diri seseorang juga akan terinjak dan kemungkinan orang tersebut tidak akan memainkan permainan yang sama lagi.

"bagaimana dengan dadi mu?" meri duduk di samping ilham. Menyandarkan kepalanya sambil memakan cemilan sore yang ada di atas meja.

"pertanyaan itu terlalu buruk" jawab ilham.

Sudah di pastikan ilham akan menang berulang kali. Ia hampir tidak terkalahkan tapi hari ini ia memutuskan untuk mengalah.

Jika ia menjawab dengan mengatakan ia menang tujuh kali dari total sembilan permainan, akan sangat buruk bagi junior. Jadi menjawab seperti itu setidaknya cara yang tepat.

"eummm, junior. Berikan pada ibu, biar ibu yang membalaskan kekalahanmu pada dadi mu" kata meri.

"tidak perlu, ibu pasti akan kalah telak. Tangan ibu hampir tidak pernah memegang stik game jadi bagaimana ibu akan menang. Ibu bahkan tidak akan bisa memainkan permainan ini" jawab junior masih fokus pada layar game.

"hahaha, kau benar. Ibumu tidak akan bisa" ilham menimpali.

"hei, apa kita perlu mati lebih dulu untuk tahu sesuatu beracun?" ujar meri kesal karena merasa di remehkan.

Bermain game memang hal baru baginya tapi tidak sedikit gamer wanita yang unggul di dunia. Maka bukan hal mustahil baginya, ia hanya perlu mencobanya.

"baiklah ini" junior menyerahkan stik nya. "ingat, ibu yang menginginkan ini dan aku sudah memperingatkan" lanjutnya.

Akan sangat mengerikan melihat ekspresi ibunya jika terus di kalahkan oleh dadinya. Junior berencana untuk mengungsi sesaat agar tidak melihat gelombangan api kekesalan ibunya tapi justru meri yang menahannya agar menjadi saksi kekalahan suaminya itu.

Tak ada pilihan, junior duduk tenang dengan cemilan di tangannya sambil terus berteriak pada ibunya untuk memberi tahu saat ibunya melakukan kecerobohan.

"ibu, di atasmu" teriak junior memperingatkan sambil menunjuk layar televisi. "astaga, mengapa ibu sangat lamban. Di sana, di belakangmu" junior frustasi menyaksikan permainan ibunya.

Bagaimana ibunya bisa mengalahkan dadi nya jika untuk melawan musuh yang di siapkan oleh sistem saja ia kalang kabut.

"ya ampun, ibu mengapa kau berlari. Musuh di belakangmu, kau harusnya berlindung bukan justru berkeliaran di lapangan bebas"

Terus menerus di teriaki, meri merasa kesal. "diamlah, biarkan ibu bermain. Kau menonton saja"

"huft, aku benar-benar merasa buruk" keluh junior menghela nafas panjang.

Sudah bisa di pastikan, hasil akhirnya adalah kemenangan ilham. Ia bahkan menang sebelum meri sempat melawannya. Meri sudah lebih dulu mati melawan sistem sementara ilham bertahan hingga akhir.

Tak ingin menyerah, meri memulai permainan itu lagi. Bukan hanya sekali atau dua kali, ia mengulang hingga lima kali dan hasilnya tetap sama.

Hanya di permainan ke empatnya ia berhasil bertahan hingga melawan ilham namun akhirnya kalah dan mati terbunuh.

"menyerahlah. Wanita tidak semahir itu hingga bisa menang hanya dalam satu atau dua kali percobaan" ejek ilham.

"menyebalkan" meri membanting stik itu ke meja.

Berdiri meninggalkan dua pria itu menyentakkan kaki dengan keras ke lantai. Sangat jelas ia terlihat kesal.

"hati-hati dengan jalanmu. Ingat kandunganmu" teriak ilham mengingatkan.

Meri berbalik sejenak menatap tajam ke arah sumber suara sebelum membuang muka dan masuk ke kamarnya.

"dadi, tadi itu luar biasa tapi mengapa tidak berbaik hati pada ibu saat ia berhasil mengalahkan sistem dan tinggal berduel denganmu. Setidaknya ibu tidak akan sekesal ini" kata junior.

"biarkan saja. Jika ia ku biarkan menang, selamanya ia akan mengganggu kita saat bermain. Tidak baik baginya dekat dengan radiasi televisi untuk saat ini. Jangan di pikirkan, sudah hampir malam jadi bersiaplah untuk makan malam"

"baiklah"

Di kamar, ilham terus mendapat tatapan menyeramkan dari istrinya. Seorang wanita yang biasanya acuh pada kekalahan sementara kini berubah jadi pendendam.

Tatapan bengis itu seperti iblis dari neraka yang siap mencabut nyawa siapa saja yang membalas tatapannya. Tapi ilham juga iblis dari dasar neraka lainnya.

Di pandang seperti itu oleh meri, ia justru membalas dengan senyum misterius tak kalah misterius dari senyum monalisa pada lukisan leonardo da vinci.

"apa hormon kehamilan yang membuatmu sangat emosional?" kata ilham berusaha memulai percakapan.

Sangat tidak nyaman berada sekamar dengan wanita cerewet yang tiba-tiba berubah menjadi bisu dalam waktu lama.

Di kamar, di dapur, di ranjang dan di mana saja jika ada meri maka hanya celotehannya yang bisa terdengar mendominasi. Sementara ilham hanya akan menjadi pendengar sejati dan sesekali menimpali agar meri tak merasa di acuhkan.

"iya, tapi aku sejak awal sudah seperti ini. Kenapa? Apa kau menyesal kembali padaku?" jawab meri ketus.

Masih dengan nada penuh kebencian dan tatapan tajam penuh amarah dari neraka.

"tidak sama sekali. Aku justru sangat senang. Kehamilanmu membuat atmosfir baru di kamar ini"

"apa kau mengatakan kau bosan dengan suasana sebelumnya? Kau bosan karena sekamar denganku? Baiklah, aku akan tidur di kamar tamu. Kau boleh di kamar ini dan berinovasi sesuai keinginanmu"

Meri beranjak dari sofa hendak pergi keluar tapi berhasil tertahan sebelum menggapai daun pintu.

Ilham memeluk erat istrinya itu dari belakang. Tangannya melingkar erat di perut meri dan menariknya mendekat hingga tak tersisa jarak sedikitpun.

"kenapa kau sensitif sekali?"

ilham merapikan rambut panjang meri yang menutupi leher dan punggungnya hingga leher putih itu tampak dengan jelas. Sementara tangan lainnya masih menahan agar meri tidak beranjak.

"siapa yang sensitif? Kau yang... Ahh"

Bulu kuduk meri merinding karena sebuah kecupan di lehernya. Kecupan ringan itu juga berhasil membuat kemarahannya goyah seketika.

Melihat tubuh istrinya menegang hanya dengan kecupan ringan itu, ilham berpikir bahwa salah satu tempat sensitif istrinya benar di lehernya. Ia memutuskan untuk bermain-main dengannya.

Leher, pundak hingga punggungnya yang tidak tertutup kain tak lepas seincipun dari belaian dan kecupan ilham.

"lepaskan, apa yang kau lakukan" meri meronta.

Bibirnya mungkin menolak tapi badannya sangat jelas menikmatinya. Tubuhnya secara spontan mengkhiati tuannya. Bukan tubuhnya yang mengkhianati tapi bibirnyalah yang berusaha menyangkal tapi gagal berkat desahan yang meluncur bebas dengan tidak tahu malu.

Saat istrinya berhenti meronta dan memutuskan meladeninya, ilham memutuskan berhenti mengerjainya.

"sudah waktunya makan malam" kata ilham.

"apa?"

Sebagai korban, meri merasa kesal dengan keputusan suaminya yang berhenti di tengah jalan. Ini ibarat ia menolak di ajak terbang dan saat ia mulai menikmati awan tiba-tiba tubuhnya di lepaskan ke dasar.

Bibirnya langsung mengerucut memperlihatkan penolakannya untuk berhenti secepat itu. Ia menatap suaminya tak percaya bahwa kali ini ia di gantung dalam hasrat yang tak terselesaikan.

Ilham membelai wajah istrinya dengan lembut dan berkata "kau sedang hamil. Aku akan menahan diri"

Hati meri yang tadi di atas angin kini benar-benar terhempas hingga tak berbentuk lagi.

Setelah mengucapkan hal itu, ilham beranjak keluar kamar menuju meja makan. Meninggalkan meri yang masih mengomel.

"menahan diri? Dia yang menahan diri? Hah, dasar brengsek, kalau begitu mengapa menggangguku" teriak meri dengan keras.

Dia berani berteriak melepaskan emosinya karena tahu kamarnya kedap suara jadi ilham tidak akan mendengarnya. Jikapun ilham mendengarnya maka tidak masalah baginya, sudah sepantasnya ia mengomel.

Hatinya benar-benar sakit karena candaan yang tidak lucu dari suaminya itu.

"dadi, apa ibu masih kesal?" tanya junior saat melihat hanya dadinya yang keluar dari kamar.

"dia sedang hamil jadi sensitif. Sikapnya mungkin akan seperti anak kecil jadi anggap saja hal ini wajar" jawab ilham.

Mereka masih belum memulai makan malam hingga setengah jam kemudian meri keluar dengan dandanan memukau.

Tidak hanya pakaian minim, rambut setengah basah dan hiasan di wajahnya benar-benar menawan tapi juga berlebihan. Ia seperti wanita liar yang berusaha menggoda pria.

"apa dadi mengacuhkan ibu akhir-akhir ini?" tanya junior, ia merasa alasan dari perubahan ibunya hari ini untuk membuat dadinya tersiksa.

"tidak"

Apanya yang mengacuhkan, ia baru semalam tidak meniduri istrinya. Tapi ia memang berencana tidak mengganggu meri sampai benar-benar yakin tidak akan menyebabkan masalah pada kandungannya Tapi saat ini, ia ingin mengubah rencananya itu.

Melihat hal ini, istrinya itu sudah jelas mengibarkan bendera perang karena ulahnya tadi. Pembalasannya sangat elegan dan sesuai dengan gayanya. Sebagai wanita, ia sangat pintar memanfaatkan wajah dan keindahan tubuhnya dalam membalaskan sakit hatinya.

"rasakan pembalasanku. Malam ini, bahkan jika kau meneteskan air liur atau menangis darah kau tidak akan mendapatkanku" kata meri dalam hati.

Nächstes Kapitel