webnovel

Menuntut keadilan

"itulah pentingnya kau mencarikan dia ayah agar bisa membimbingnya dengan benar" zahra terus mengeluarkan racun di hatinya.

"Mmm, aku tahu itu" meri menunduk lemah karena air matanya perlahan menetes.

Ia juga menyadari pentingnya sosok ayah bagi perkembangan emosional seorang anak. Tapi meri juga tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencarikan ayah baru bagi putranya. Dia sudah berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi junior, tapi semua tetap saja kurang. Peran ayah memang tak bisa di ambil alih sepenuhnya, begitu pula peran ibu. Dia hanya menyesal karena masalah keluarganya berpengaruh pada perkembangan putranya.

"kakak ipar sudahlah" fuad merasakan sakit melihat meri diam-diam menangis.

Walau tangisannya tak terdengar , air matanya jelas membasahi kain tipis yang menutupi kedua pipinya.

Zahra berbalik meninggalkan meri dan fuad di ruangan itu. Fuad merasa tidak nyaman dengan situasinya karena reaksi dari kakak iparnya sedikit berlebihan.

Meri menyerahkan amplop yang sejak tadi dia pegang. Fuad menerimanya tanpa penolakan karena itu bentuk penyesalan dari meri.

Di perjalanan pulang, junior terus menatap ibunya yang fokus ke arah jalan raya.

"ibu, mengapa ibu meminta maaf untuk kesalahanku?" tanya junior.

"apa kau mengaku salah sekarang?"

"tidak karena memukulnya. Aku hanya bersalah karena membuat ibu kecewa dan meminta maaf kepada mereka. Mereka bahkan tidak bersikap baik pada ibu" junior ikut sedih sepanjang waktu saat ia berdiri dan hanya mendengar penghinaan pada ibunya.

"bagus. Jika begitu, junior hanya perlu meminta maaf pada ibu dan jangan mengulanginya lagi"

Junior hanya diam tak ingin mengatakan apapun. Dia sebenarnya tidak akan berjanji untuk tidak mengulanginya jika ada anak lain yang menghina ayah atau ibunya.

Meri sama sekali tak menanyakan alasan junior memukul malik karena ia percaya putranya tidak akan memukul orang sembarangan tanpa sebab yang jelas. Ia hanya tidak ingin mendengar alasan yang akan membuatnya sakit hati.

Di rumah, junior langsung masuk ke kamar tanpa berbicara sepatah katapun kepada ibunya. Meri melihat anaknya pergi begitu saja dan mengikutinya.

"junior, apa ibu melakukan kesalahan?"

"tidak" jawabnya singkat.

"kalau begitu mengapa kita tidak makan siang? Sedikit terlambat tapi bukan masalah" meri menunggu respon dari junior yang hanya memandangnya dalam diam. "Emmm, ibu sebenarnya sejak tadi menahan lapar"

Mendengar hal itu, junior langsung berdiri dan segera berjalan ke meja makan. Meri belum memasak apa-apa, jadi junior hanya duduk memperhatikan ibunya yang masih sibuk di dapur sembari menunggu masakan matang.

Penyesalan dan rasa iba pada setiap perkataan ibunya di hadapan keluarga malik membuat hatinya terluka sangat dalam. Ia hanya berpikir untuk menjalani hukuman dari guru dan ibunya karena itulah yang biasanya ibu lain lakukan. Di luar dugaan bahwa ibunya akan mendatangi keluarga malik dan meminta maaf atas semua perbuatannya.

Namun ia juga enggan untuk meminta maaf karena menurutnya segala yang ia lakukan wajar. Ia bahkan akan merasa sakit hati lebih dalam jika tak membalas semua perkataan buruk malik terhadap ibu dan ayahnya.

Ayahnya saat ini hanya tidak berada di sampingnya tapi bukan berarti ia tidak punya. Sebagai anak dari seorang pria bertalenta seperti ayahnya, junior rasanya ingin berteriak menyebutkan nama ayah dan daddy nya dengan bangga. Tapi karena ibunya sejak awal melarangnya mengungkap identitasnya, junior hanya bisa diam dan meluapkan kekesalannya dengan tinjunya.

"makanan sudah siap" meri menghidangkan makan siang pada sore hari di atas meja.

"ibu, mengapa tidak menanyakan alasanku memukul keponakan uncle fuad?"

Saat di rumah kediaman malik, junior dengan jelas mendengar ibunya tidak mau tahu alasannya. Dan hanya melimpahkan semua kesalahan pada dirinya sendiri.

"ibu hanya percaya pada putra ibu. Tapi jangan mengulanginya lagi, tanganmu jadi terluka karena hal itu"

"ibu, aku..."

"sayang, biarkan kita menikmati makanan dengan tenang. Masalah itu akan ibu selesaikan nanti. Alasanmu tidak penting, yang terpenting adalah reaksimu. Ingat perkataan ibu barusan" meri memotong ucapan junior.

"Mmm. Akan ku ingat"

Senyum manis merekah di bibir keduanya, mereka menikmati makan sore itu dengan nyaman dan saling memberi lauk pada piring masing-masing. Ibu dan anak itu seakan pura-pura tak pernah terjadi hal buruk dalam hidup mereka. Mereka hanya ingin berdua, tertawa dan berbahagia.

Ke esokan harinya, junior bangun untuk sarapan tapi tak mengenakan seragam sekolahnya. Surat keputusan skors membuat anak kecil itu tak ingin masuk sekolah. Tak ada gunanya ia ke sekolah jika hanya akan berdiri di luar.

Dengan kecerdasannya, ia yakin bisa mengejar ketertinggalannya selama periode skors sebulan itu. Tapi berbeda dengan pandangan meri.

"junior, masuk ke kamarmu dan bersiaplah ke sekolah. Ibu akan mengantarmu"

Paham dengan perkataan ibunya, junior segera masuk dan mulai bersiap. Mereka ke sekolah bersama pada hari itu.

Jika biasanya meri hanya akan mengantar sampai di luar gedung, kali ini ia mengantar junior hingga menuju ke ruang guru. Melihat arah ibunya melangkah, junior berhenti dan menarik tangan ibunya menjauh.

"ada apa?" tanya meri melihat junior mempertahankan posisinya dengan kuda-kuda yang sempurna.

"aku tidak mau melihat ibu minta maaf lagi" jawab junior menggelengkan kepalanya.

"sayang, ibu harus melakukannya. Tidak ada yang salah dengan meminta maaf jika kita dalam posisi salah"

Keduanya kini duduk di sebuah ruangan dengan seorang guru bagian konseling. Seorang wanita berperawakan tinggi dan sedikit gempal. Tatapan dan wajah sangat menunjukkan bahwa ia guru yang kejam dan tidak memiliki toleransi yang baik terhadap kesalahan sekecil apapun.

"ada yang bisa saya bantu nyonya?" tanya wanita itu.

"saya datang ke sini untuk meminta maaf atas kelalaian saya mendidik lutfi. Saya juga ingin meminta keringanan atas hukuman yang di berikan padanya" jawab meri terus terang.

"itu sudah keputusan sekolah dan tidak bisa di ganggu gugat"

Meri tetap tak ingin menyerah begitu saja. Ia merasa hukuman skors selama satu bulan sangat berlebihan dan tidak adil. "bu zia, ini pelanggaran pertamanya, bagaimana bisa pihak sekolah langsung menjatuhi hukuman skors pada putraku" protes meri masih dengan suara lemah seakan di aniaya.

"dia memukuli murid lain hingga berdarah dan dilarikan ke rumah sakit. Nyonya tidak melihat bagaimana wajahnya saat itu. Anak anda memukulinya seperti psikopat yang kehilangan akal"

Mendengar kata psikopat, ketenangan dan kelemah lembutan dalam tatapan maupun suara meri seketika lenyap. Putranya jenius dengan prestasi gemilang, ia merasa tidak terima dengan kata kasar yang baru saja ia dengar.

"sayang, tunggu ibu di luar" meri memerintahkan junior keluar ruangan agar tak melihat sisi ganas dari ibu yang selalu ia lihat penuh kelembutan dan santun.

Setelah junior menutup pintu dari luar. Meri menatap wajah guru wanita di hadapannya itu dengan tatapan yang mengoyak dan menembus jantung.

"saya pikir perkataan anda tadi keterlaluan. Mengatakan anak saya psikopat di tambah kehilangan akal sangatlah tidak pantas. Junior tidak pernah melakukan kesalahan apapun sebelumnya, ia bahkan berprestasi dan masuk kelas akselerasi. Sebagai seorang tenaga pendidik, perkataan anda barusan menunjukkan betapa rendahnya moral anda" meri mengatakan keberatannya dengan ungkapan psikopat yang di dengarnya.

"nyonya, saya guru di sini dan hak saya untuk menghukum murid yang melakukan kesalahan"

"saya tidak meminta putra saya bebas dari hukuman, saya hanya minta keringanan dan keadilan. Jika saya tidak salah, saat pelanggaran pertama di lakukan maka pihak sekolah seharusnya memberi surat peringatan terlebih dahulu. Saya juga tahu malik sudah sering berkelahi jadi mengapa anda tidak berpikir bahwa putraku di profokasi lebih dulu. Dan apa anda tahu alasan mengapa dia melakukan pemukulan?"

Meri menyimpulkan bahwa malik sering berkelahi karena hanya anak nakal yang mungkin bermasalah dengan putranya, selain itu saat ia mengunjungi rumah malik, fuad mengatakan bahwa junior akan memperoleh keringanan karena ini pertama kali untuknya. Kata 'nya' hanya mewakili subjek tunggal dan itu mewakili junior. Dengan begitu artinya ini bukan yang pertama bagi malik.

Guru wanita itu terdiam mendengar ucapan meri. Baru kali ia menghadapi wali murid yang merepotkan. Kebanyakan murid di sekolah itu adalah kalangan atas dengan latar belakang kuat jadi mereka hanya akan menyelesaikan masalah dengan uang atau hadiah. Tapi wanita di hadapannya berbeda.

"putraku bukan anak dari seorang penguasa atau seorang kaya raya, tapi hak semua anak sama di mata hukum negara. saya menunggu surat peringatan di sertai dengan surat pencabutan skors junior hari ini juga. Jika sampai jam sekolah selesai dan surat itu tidak ada, maka saya akan melaporkan kasus ini pada dinas pendidikan dan perlindungan anak. Saya tetap akan menuntut keadilan untuk putra saya"

Meri bangkit meninggalkan guru wanita yang terkejut dengan perkataan berisi ancaman dari meri.

Nächstes Kapitel