webnovel

Opsi Terbaik

Selama satu minggu setelah kekhawatirannya muncul, meri menjalani hari-hari seperti biasanya. Ia sudah mulai kuliah karena libur semester sudah berakhir.

Di tahun terakhirnya, meri hanya akan di subukkan dengan penelitian tugas akhir. Karena itu, ia lebih sering muncul di lembaga penelitian dari pada di fakultas kedokteran. Hanya sesekali jika ia akan mengurus berkas atau untuk menemui profesor pembimbingnya.

Dokter imran memperhatikan meri dengan baik dan terkadang memberi masukan untuk tugas akhirnya. Tugas akhir yang di kerjakan meri berkaitan erat dengan mutasi gen bermasalah. Ia tertarik karena putra semata wayangnya selalu bermasalah dengan hal itu.

Penelitian yang ia lakukan untuk mengetahui faktor signifikan yang mempengaruhi mutasi gen itu serta dampaknya pada kinerja saraf pada otak. Dokter lain yang melakukan penelitian di lembaga yang sama sangat takjub dengan gebrakan baru yang dilakukan meri. Dia akan memecahkan teori bahwa bayi yang terlahir dari kedua gen jenius akan berdampak buruk.

Baginya, kejeniusan adalah anugrah yang sangat langka. Jadi ia hanya perlu mencari metode mengendalikan perkembangan saraf agar tak berlebihan.

Dokter fuad yang mengetahui penelitian yang dilakukan meri, sesekali akan mengikutinya dan menemaninya di ruang lab. Percobaan yang meri lakukan menggunakan hewan citah dan simpanse yang terkenal sebagai hewan dengan kecerdasan otak luar biasa di kalangan para penghuni hutan.

Kesibukannya pada penelitiannya membuat pikirannya sedikit teralihkan dari kekhawatirannya terhadap junior. Setiap pulang sekolah dan jika kebetulan meri sedang mendapat shift malam, ia akan duduk dan menganalisa perkembangan putranya.

Junior cukup pintar mengendalikan diri untuk tidak memerah otaknya dan meningkatkan kinerjanya. Ia mengikuti semua perkataan ibunya karena ia tahu itu untuk kebaikannya.

"junior, hari ini ibu akan dinas siang, jadi nanti kau ingat?"

"makan malam tepat waktu, minum obat, bermain hanya satu jam, tidur dan tunggu ibu pulang di rumah uncle ali" ujar junior mengulang apa yang sering ibunya katakan saat akan berangkat kerja pada siang hari.

"anak pintar"

Pelukan hangat menjadi satu-satunya penyembuh dari kekhawatiran meri. Ia merasa bebannya menguap hilang saat junior memeluknya. Sebuah ciuman melekat di kening meri membuatnya terkejut.

"aku akan mewakili dadi untuk hal ini sampai ia pulang" kata junior setelah mencium kening ibunya dan tersenyum manis.

"terimakasih sayang"

Meri berangkat bekerja dengan perasaan bahagia terpancar di wajah dan langkahnya yang terasa ringan dan bersemangat.

"dokter ana" panggil salah seorang perawat.

"iya"

"dokter jack melakukan perjalanan dinas selama dua bulan. Dia ingin kau yang menggantikan posisinya untuk sementara. Ini surat kuasa penunjukan mu"

"aku?" meri sedikit terkejut dengan keputusan itu. Tapi ia pada akhirnya menerima kuasa baru yang di berikan atasannya.

"berkas mengenai pasien di kamar VIP ada di meja dokter ana. Dokter bisa mempelajarinya. Tapi dokter harus tahu, temperamen pasien itu sangat buruk. Ia bahkan mengusir kepala perawat yang ingin memeriksanya" perawat mungil itu memperingatkan meri.

"apa dia mengalami gangguan jiwa?" tanya meri menggoda karena bagaimana mungkin pasien VIP adalah seorang dengan gangguan mental.

"tidak tidak" perawat itu dengan cepat menjawab "dia hanya sedikit angkuh"

"baiklah"

Meri duduk dengan santai di ruangannya membaca rekam medis beberapa pasien yang menjadi tanggungjawab dokter jack dan sekarang di limpahkan kepadanya.

Sebagian besar pasien yang ia tangani hanyalah pasien pasca operasi dan hanya berada pada tahap observasi lanjutan untuk mengetahui keberhasilan operasi. Hanya ada dua pasien yang di jadwalkan melakukan operasi dua hari ke depan. Meri mencoba mengingat jadwalnya dua hari ke depan.

"aish, mengapa haru dua hari ke depan" keluh meri. Ia ingat bahwa jadwalnya dua hari ke depan adalah menghadiri seminar kesehatan dari seorang dokter ahli bedah saraf asal indonesia.

Dia sangat tertarik karena ia berasal dari negara yang sama. Selain itu, materi yang akan ia sampaikan sedikit bersinggungan dengan penelitian yang sedang ia lakukan.

Agar tak mengganggu jadwal seminar yang sudah ia rencanakan, meri mengunjungi kamar pasien yang akan melakukan operasi di jadwal yang sama itu untuk meminta persetujuan agar operasi di undur atau jika memungkinkan ia ingin mempercepat operasinya.

"tuan, bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya meri ramah kepada pria paruh baya yang terbaring di tempat tidur pasien.

Pria tua itu terlihat sangat sehat namun sebenarnya ia memiliki tumor di otaknya. Meri sudah melihat catatan medisnya sebelum memutuskan untuk mengunjunginya.

"aku merasa baik, tapi apa boleh buat dokter mengatakan otakku bermasalah" ujarnya lemah.

Di sekelilingnya ada seorang wanita yang hampir seusia dengan pasien itu. Meri menebak itu adalah istrinya dan pria yang berdiri di sampingnya adalah putranya. Putranya sudah sangat dewasa dan mungkin lebih tua dari usia meri.

Mereka terlihat dari keluarga berada. Tentu saja karena ruangan tempat ia berdiri saat ini adalah ruang VIP. Walau masih jauh dari kesan mewah seperti pada rumah sakit harvard, mereka setidaknya harus mengeluarkan uang jutaan untuk semalam perawatan di kamar ini.

"saya periksa sebentar ya!" meri memulai pemeriksaan dasar untuk pasien yang akan melakukan operasi.

Kondisi vitalnya sangat baik, tekanan darah, tingkat glukosa dan denyut nadi semuanya normal. Ia benar-benar akan di kategorikan sehat jika saja di otaknya tidak menempel parasit menyebalkan.

"kondisi mu sangat baik. Bisakah kita memajukan operasi menjadi besok pagi?"

"bukankah operasinya dua hari lagi?" tanya pria yang merupakan anak dari pasien.

"iya, hanya saja melihat kondisinya baik dan memungkinkan, kita bisa mempercepat operasinya. Perkembangan sel tumor pada otak sangat cepat dan berbahaya, jadi ku pikir lebih cepat di atasi akan lebih baik" meri menerangkan alasan yang masuk di akal. Ia tidak berbohong karena begitulah faktanya.

"ayahku sebenarnya sedang menunggu adikku datang. Dan dia akan datang besok siang"

Meri mengerti ke khawatiran pria tua yang menjadi pasiennya. Ia pasti takut tidak akan bisa melalui operasi dan meninggal tanpa melihat anak-anaknya.

"tuan, aku bukan tuhan jadi tidak bisa menjamin keselamatan pasienku. Tapi sebagai dokter, aku memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk bisa mengangkat tumormu. Jangan mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu. Cukup pikirkan tekad bahwa kau akan sembuh, dengan begitu sel tumor dalam otakmu akan bekerja lambat. Tapi jika tidak bisa besok, maka kita akan tetap pada jadwal semula" meri tak ingin terlalu memaksa.

"baiklah, mari kita lakukan besok. Aku harap anakku akan melihatku tanpa tumor lagi saat ia datang"

"itu bagus" meri bersemangat "sekarang beristirahatlah dan mulailah berpuasa nanti malam. Aku akan datang memeriksamu sebelum shift ku berakhir" meri keluar dengan perasaan lega.

Tujuan selanjutnya adalah pasien yang di jadwalkan operasi dua hari ke depan yang lainnya. Kebetulan pasien itu adalah pasien dengan temperamen buruk yang dikatakan oleh perawat tadi.

Meri mengetuk pintu, saat ia menggeser pintu itu dan terbuka. Sebuah bantal melayang ke arahnya. Dengan sigap meri menangkapnya dan tepat sebelum bantal itu menghantam wajahnya.

Sorot mata tajam dan tak bersahabat muncul di wajah pria muda yang terlihat sangat marah. Meri menangkap kekhawatiran bercampur keangkuhan. Pria itu masih sangat muda jika harus menderita cervical spondylosis atau lebih di kenal dengan saraf leher terjepit.

Umumnya penyakit itu hanya di derita oleh kalangan berusia lanjut akibat posisi yang salah dan berlangsung lama serta di pengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat seperti kurang gerak. Tapi akhir-akhir ini penelitian baru mengatakan penggunaan gadget berlebih pada usia muda juga menjadi pemicunya.

"KELUAR" teriak pria itu.

Setelah menimbang dan menilai sejenak, meri melangkah masuk dan berdiri tepat di samping pria itu.

"apa kau tuli? Aku bilang keluar" pria muda itu sangat kasar.

Tak ada seorangpun yang menemaninya di ruangan itu jadi meri berpikir bahwa bahkan keluarganya menyerah dengan sikap arogan pria ini.

"kenapa aku harus keluar? Bukankah seorang dokter harus merawat pasiennya?"

"aku memiliki istri yang akan merawatku" jawabnya tegas

"ah, istri? Ku rasa dia meninggalkanmu" meri membaca data diri pasien dan tidak tercantum bahwa pria ini memiliki istri.

Kemungkinan terbesarnya adalah pria ini baru saja di tinggalkan oleh istrinya karena penyakitnya itu.

"kakimu mulai lumpuh karena saraf di lehermu bermasalah. Sepertinya gejala awalnya adalah menurunnya kemampuan seks mu, karena itu istrimu meninggalkanmu. Apa aku benar?" tebak meri. Dia mempelajari ke angkuhan pria ini karena ia tidak ingin di anggap pria yang tidak bisa memuaskan istrinya. Walau bagaimanapun ia masih terlalu muda.

"kau tidak tahu apa-apa" pria itu semakin kesal namun sedikit terdengar gentar.

"aku tahu tak seorang wanitapun tahan jika suaminya tidak bisa memuaskannya di ranjang. Karena itu, aku di sini untuk membantumu. Jadi mari kita bekerja sama"

"apa kau berusaha merayuku?"

"hahaha.. Kau terlalu muda untukku. Aku hanya memberimu opsi terbaik. Sembuh dan cari istri lain yang lebih baik dan lebih cantik atau terus bersikap arogan dan teruslah lumpuh. Kau mungkin akan impoten selamanya" meri menakut-nakuti.

Pria dengan keangkuhan tingkat tinggi seperti yang ada di hadapannya tidak akan bekerja sama hanya dengan ucapan lemah lembut. Adakalanya batu harus di lawan dengan batu yang lebih keras agar bisa hancur.

Pasien itu terdiam mendengar ucapan meri.

"aku menunggu jawabanmu. Waktu ku tidak banyak" meri berbalik hendak meninggalkan pria itu.

Saat hampir menggapai pintu, suara pasien itu menghentikannya. Tentu saja meri tidak benar-benar ingin pergi, dia hanya menggunakan trik pembeli di Indonesia yang berpura-pura pergi setelah melakukan penawaran agar kemudian di panggil untuk membuat kesepakatan. Dan itu berhasil.

"aku ingin sembuh" ujar pria itu.

"oke. Operasimu besok siang, aku akan datang memeriksamu lagi sebelum shift ku berakhir" meri kemudian meninggalkan ruangan itu.

Lorong rumah sakit itu di penuhi dengan orang kaya yang sibuk menelfon. Terdengar ramai namun sebenarnya hampa. Mereka berada dalam satu ruangan tapi kenyataannya mereka lebih dekat pada orang yang ia hubungi melalui ponselnya.

Ruang dr. Jihan berada di ujung koridor lantai dua. Ia adalah salah satu dokter bedah saraf yang di pekerjakan oleh rumah sakit pemerintah tempat meri bekerja. Meri datang untuk berkonsultasi mengenai dua pasien yang akan ia operasi besok. Gelarnya belum cukup untuk melakukan operasi mandiri. Ia hanya bisa menjadi asisten dokter bedah atau dokter pembantu untuk saat ini.

Mereka berdiskusi mengenai operasi apa yang akan mereka lakukan. Meri menjelaskan bahwa untuk pasien celvical spondylosis ia akan menggunakan metode key hol atau microsurgery. Ia memutuskan itu dengan pertimbangan bahwa pria tersebut masih muda dan membelah leher dengan meninggalkan bekas yang jelas sangat tidak baik. Dengan metode key hol mereka hanya akan merobek satu inci untuk memasukkan kamera dan menanamkan ring untuk membantu membuka saraf yang terjepit.

Selain itu, metode bedah ini hanya memerlukan waktu 2-3 hari bagi pasien untuk pulih dan beraktivitas seperti semula. Pembedahan metode lama hanya akan menyulitkan karena pasien harus tingal di rumah selama 2 atau 3 bulan dengan penyangga leher yang benar-benar tidak nyaman.

Sementara untuk pasien tumor otak meri merasa tidak ada kesulitan karena tumor tidak berada di tempat sensitif dan jauh dari batang otak karena itu meri akan mengikuti prosedur yang di pilih oleh dr. Jihan.

Nächstes Kapitel