webnovel

Siapa Pemburunya

Redakteur: Wave Literature

Sebuah ide melintas di benak ketiga pria berjubah hitam tersebut.

Orang bodoh seperti apa yang tidak memanfaatkan kesempatan bagus seperti ini? Seorang gadis berdiri sendirian dalam kegelapan dan sedang sibuk mengurus sesuatu sehingga tidak menyadari keberadaan mereka. Bahkan jika gadis itu adalah seorang Mage, dia tidak akan bisa kabur kalau mereka menyergapnya.

Namun…

Ketiga pria berjubah hitam tersebut mengamati keadaan sekitar dengan wajah yang penuh dengan keheranan. Mereka khawatir dengan adanya serangan mendadak. Mereka tidak datang ke sini untuk berpiknik. Mereka harus bersikap waspada melaksanakan misi. Dan setelah memikirkannya sejenak, ketiga pria berjubah hitam tersebut bisa menyimpulkan bahwa tidak masalah jika mereka bergerak sekarang.

Meskipun demikian, mereka masih agak bingung. Kenapa gadis Mage ini berdiri sendiri tanpa perlindungan? Dimana 'target utama' mereka?

Jika pemuda yang tadi bersamanya mati, seharusnya gadis Mage itu tidak bersikap setenang ini. Apakah pemuda itu meninggalkan gadis ini sendirian dan pergi menuju pada kedalaman gua?

Ketiga pria berjubah hitam itu saling melirik. Mereka berkomunikasi dengan isyarat tangan. Akhirnya, mereka tidak memikirkan kemungkinan lain selain yang sudah didiskusikan oleh mereka. Menurut informasi yang mereka dapatkan, pemuda yang menjadi target mereka memang memiliki kemampuan yang tinggi. Jadi tidak mengherankan jika dia sangat percaya diri. Lalu pemuda itu meninggalkan gadis Mage ini sendirian saat dia menjelajahi reruntuhan di depan. Walaupun mereka tidak bisa melihat dalam kegelapan, mereka masih bisa melihat cahaya samar obor yang menyala di kejauhan.

Pemimpin sekelompok pria berjubah hitam itu terdiam. Sesaat kemudian, dia mengangkat kepala. Kedua matanya terlihat penuh dengan tekad. Perlahan, dia mengangkat lengan kanannya dan mengayunkannya ke bawah.

Operasi dimulai!

Pria berjubah hitam lainnya bergegas maju diam-diam begitu menerima perintah tersebut. Ia bergerak dalam kegelapan.

Niat membunuh mereka yang sudah terasah pun mulai muncul.

-

Marlene menatap ukiran rumit pada pilar yang ada di hadapannya. Sebenarnya, dia tidak sedang mempelajari pola-pola itu. Tetapi, kata-kata Rhode yang disampaikan padanya sebelum pergi terus terngiang dalam kepalanya.

Orang-orang itu akan menyerangmu. Itu tidak diragukan lagi. Aku ingin kau bertingkah sewajarnya. Berpura-pura seakan-akan kau tidak menyadari keberadaan mereka. Jangan khawatir; aku akan mengurus mereka. Aku punya cara untuk menangani mereka. Tenang saja Marlene, aku tidak akan membiarkanmu terluka.

Rhode terlihat sangat meyakinkan saat dia menenangkan Marlene. Tetapi gadis itu sadar bahwa dia harus menjadi 'umpan'. Ia bertingkah seolah-olah tidak ada apa-apa. Menurut Marlene, itu benar-benar mengesalkan. Karena itulah, gadis tersebut tidak bisa menahan diri melirik keadaan di sekelilingnya.

Sementara itu, di bawah cahaya yang berkedip-kedip, sebuah bayangan terus bergerak. Jika Marlene mengamatinya dengan seksama, dia akan sadar bahwa seseorang sedang mengintai dirinya dari dekat.

Beban yang ada di pundak gadis itu terasa cukup berat. Terutama setelah dia mendengarkan penjelasan Rhode tentang berbagai cara yang akan mereka gunakan untuk menyerang Marlene. Hatinya serasa membeku. Wajar saja kalau memikirkan kematian bisa menimbulkan ketakutan dalam dirinya. Rasanya lebih baik mati daripada membayangkan apa yang akan mereka lakukan pada dirinya jika orang-orang itu menangkapnya. Marlene sempat berkeinginan memanggil bola sihirnya agar dia bisa menerangi area ini dan melihat di mana musuhnya bersembunyi. Tetapi, dia akhirnya mengurungkan niat itu dan menyembunyikan ketakutannya. Ia memutuskan percaya pada Rhode.

Benar-benar keterlaluan!

Ketika dia sadar bahwa dia telah meletakkan kepercayaannya pada pemuda itu, Marlene tiba-tiba merasa bahwa dirinya sangat bodoh. Kenapa dia harus percaya pada Rhode? Kenapa nyawanya harus berada di tangan Rhode? Apakah karena Rhode telah meyakinkannya? Ataukah karena alasan lain…

Bahkan saat berhadapan dengan ayahnya, Marlene tidak pernah sepatuh ini. Jadi kenapa dia bersedia mengikuti segala perintah Rhode? Entah kenapa, di hadapan Rhode, Marlene tidak bisa melawan pemuda itu.

Apakah karena duel kita sebelumnya? Seharusnya tidak mungkin.

Walaupun dia adalah lelaki pertama yang berhasil melukaiku, aku bukanlah gadis lemah yang langsung menjadi penurut jika merasa ketakutan, kan?

Marlene menggelengkan kepalanya berkali-kali. Tapi tidak peduli seberapa keras usahanya, gadis itu tidak bisa mengusir bayangan Rhode dari pikirannya.

Lalu dia memaki dirinya sendiri dalam hati. "Jangan pikirkan dia lagi!"

Untuk mengalihkan pikirannya dari Rhode, Marlene mulai memfokuskan diri untuk mencari makna simbol-simbol kuno pada pilar yang ada di dekatnya.

Wanita memang sulit dimengerti.

"…ksatria terpiih…untuk melindungi dunia…"

Jari-jarinya yang putih dan ramping menelusuri ukiran misterius tersebut. Ia memeriksa simbol-simbol kuno yang ada di depannya dengan cermat sambil bergumam sendiri.

"…sumber kekuatan…berasal dari…kontrak jiwa….di bawah kehampaan…"

Suaranya semakin pelan dan wajahnya terlihat semakin fokus.

Marlene pun mengabaikan bahaya yang ada di sekitarnya.

-

Kesempatan!

Pria-pria itu mendengus. Sebagai professional, mereka tidak membuat pergerakan yang gegabah. Mereka paham bahwa musuh mereka adalah seorang Mage – yang dikenal jenius. Oleh karena itu, jika mereka tidak yakin bisa menangkap gadis itu, mereka tidak akan menyerangnya. Mereka tidak ingin menunjukkan keberadaan mereka. Mereka semua tahu bahwa itu adalah hal yang sia-sia.

Awalnya, mereka melihat bahwa gadis itu bersikap waspada. Jadi, mereka menunda serangan mereka terlebih dahulu. Tapi, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu memasang sikap waspada untuk mencegah kedatangan mereka. Pria-pria berjubah hitam tersebut justru mengira gadis itu terlihat khawatir karena saat ini dia berada di sebuah gua yang gelap. Menurut mereka, itu adalah hal yang wajar. Terlebih lagi, dia sedang sendirian di tempat itu. Dan sekarang, ketika dia memfokuskan perhatiannya pada ukiran-ukiran rumit pada pilar yang ada di dekatnya, akhirnya mereka mendapatkan kesempatan!

Salah satu pria berjubah hitam mengulurkan tangannya dan mengeluarkan selembar kain. Kemudian, dia membungkukkan tubuh dan perlahan merangkak ke arah gadis itu.

Sayang, semuanya tidak berjalan sesuai dengan rencananya.

Pedang tajam berwarna merah tua menusuk tenggorakannya tanpa suara. Mata pria itu melebar ketakutan saat dia kehilangan kesadarannya. Dia mencengkram lehernya dan mencoba memanggil teman-temannya. Tapi dia menyadari bahwa tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Pada saat itu, pedang yang terasa sangat dingin itu membelah tubuhnya.

Dan dunianya pun gelap.

Tubuhnya yang telah kehilangan nyawa itu merosot ke bawa. Tetapi sebelum menyentuh tanah, Rhode meraih tubuh itu dan meletakkannya dengan pelan. Kemudian, Rhode melirik sekelilingnya sebelum pergi dari tempat itu.

Siluetnya tertelan oleh bayangan.

-

Kenapa dia belum bergerak juga?

Salah satu pria berjubah hitam yang bersembunyi di balik pilar mengerutkan kening. Dia menatap punggung Marlene yang terlihat seperti sasaran empuk dan merasa agak jengkel. Menurut rencana mereka, satu orang bertanggung jawab untuk menyergap gadis itu sementara dua orang lain bersiap mambantunya jika terjadi sesuatu. Tapi sekarang, bukankah seharusnya pria itu sudah bergerak menyergap Marlene?

Ataukah ada sesuatu yang terjadi padanya?

Mungkin itu adalah insting. Pria itu berbalik dan mengamati keadaan sekitarnya.

Tapi yang dia lihat hanyalah kilasan cahaya merah.

"---"

Darah segar menyembur dari leher pria itu dan dia pun tumbang. Sekali lagi, Rhode meraih mayat tersebut dan meletakkannya di tanah dengan pekan. Jika seseorang melihat gerak-gerik Rhode sekarang, dia tidak akan mengira bahwa Rhode adalah seorang Swordsman.

Dua orang sudah beres.

Setelah memastikan bahwa dia mendapatkan EXP, Rhode bersiap untuk mundur.

Tapi sebuah suara desiran mendadak terdengar dari arah belakang.

Rhode berguling ke samping mengikuti nalurinya. Dia merasakan sensasi dingin pada bahu kirinya ketika sebuah bayangan hitam melewatinya.

Mereka memang profesional.

Pemuda itu menggertakkan gigi demi menahan rasa sakit yang membakar bahu kirinya. Awalnya dia ingin menyingkirkan ketiga pria tersebut secepat mungkin sehingga dia bisa mengurus dua pria lainnya yang berjaga di pintu masuk. Kalau semuanya berjalan sesuai dengan rencana Rhode, pemuda itu sudah bisa pulang bersama Marlene. Sayang, lawannya ternyata tidak selemah itu.

Melihat serangan pertamanya gagal mengenai target, bayangan gelap itu tidak menyerang Rhode lagi. Sebaliknya, dia membalikkan badan dan bergegas maju ke arah Marlene.

Rhode segera berdiri dan meremas kartu hijau yang ada di telapak tangannya. Dia memanggil Burung Roh yang terbang dengan cepat ke arah pria berjubah hitam tersebut.

Semua peristiwa ini terjadi hanya dalam sekejap. Bahkan saat Rhode terluka karena serangan musuh, Marlene tidak menyadarinya. Tapi, begitu pria berjubah hitam itu menampakkan diri, semuanya terlambat bagi gadis itu. Marlene berbalik dengan cepat dan melihat sebuah pisau yang menusuk ke arahnya. Jarak antara musuh dengan dirinya sendiri kurang dari setengah meter!

Pakaian pelindung Marlene mengaktifkan sihir pertahanan, namun gadis itu tidak menyangka bahwa pria di hadapannya dapat menembus pertahanan itu dengan mudah seolah-seolah dia sedang memotong kue.

Tepat pada saat itu, satu-satunya hal yang bisa didengar Marlene adalah sebuah ledakan.

Bum!! Hembusan angin dari Burung Roh mengenai punggung pria itu. Kelihatannya seperti sebuah tinju tak kasat mata sedang menghantam pria tersebut dan melemparkan tubuhnya ke tanah.

Rhode menghela napas.

Ketika dia melihat pria itu melaju ke arah Marlene, dia paham bahwa rencana awalnya tidak mungkin direalisasikan. Pria berjubah hitam tersebut jelas menyadari bahwa kemampuannya mampu menembus sihir pertahanan Marlene. Dia membuat pilihan untuk menyerang pria itu daripada bergantung pada sihir pertahanan Marlene.

Dan sepertinya memang pilihannya tepat.

Tapi sekarang bukan waktunya merasa lega.

Marlene melesat ke sisi Rhode. Pada saat yang bersamaan, pria berjubah hitam itu berdiri perlahan. Walaupun sepertinya serangan Burung Roh mengenainya, serangan itu tidak terlalu berpengaruh kepadanya. Terlebih, musuh mereka adalah Spy tingkat lanjut dengan level yang tinggi. Membunuhnya tidak akan mudah.

Tangan kiri Rhode melindungi Marlene dan tangan kanannya mengangkat pedang Blood Tears.

Pada saat yang bersamaan, pria berjubah hitam di depannya mengeluarkan sebuah pisau dan belati. Pisau itu memancarkan aura haus darah yang kental.

Nächstes Kapitel