webnovel

Teman Hidup

~Bahkan jika kau terluka, akan ada manusia lain yang menangisi kelukaanmu.

Begitulah sahabat memperlakukanmu~

"Lei,"

Ketukan teratur terdengar di balik pintu kamar bernuansa classy.

"Leia, aku pamit ke kantor, ya. Pengacara Pak Tjandra dari semalam ngabarin supaya aku secepatnya hadir di kantor. Banyak hal yang harus dibereskan sepeninggal Beliau. "

Tidak ada yang menyahut meski berkali-kali Aryan mengulangi panggilannya.

Malu sekali Leia yang ketahuan bohong tadi.

Tuh nasi kurang ajar lagi. Ngapain juga sih malah nempel di luar. Bukannya masuk aja kayak temen-temen lainnya.

"Lei, setidaknya beri aku tanda kalo kamu masih hidup."

Kesal karena terus terganggu dengan suara bising Aryan, Leia akhirnya menyerah. Dibukanya selimut yang menutupi seluruh tubuh, mengambil weker berbentuk bulat dengan karakter Pooh di atasnya, kemudian dilemparnya keras keras weker itu membentur dinding. Menimbulkan suara gaduh yang tentu saja terdengar sampai keluar kamar.

Senyum simpul menggemaskan terlukis di wajah pria berusia dua puluh enam tahun itu.

Gadis yang ia nikahi benar-benar unik dan semakin membuatnya tertarik.

"Baiklah, Lei. Kalo kamu belum mau bicara sama aku. Aku pergi dulu, ya. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai telat makan. Aku nggak mau kalau sampai istriku kenapa-napa."

Aryan sengaja memberikan penekanan pada kata 'Istri'.

Sepertinya, Aryan telah menemukan hobi barunya. Menggodai istri, sepertinya bukan hobi yang buruk.

Geli sendiri pria itu membayangkan ekspresi Leia yang pasti tengah kesal setengah mati terhadapnya.

Sebelum benar-benar pergi, Aryan kembali bersuara.

"Ah, ya, Lei. Aku lupa satu hal. Aku harap kamu bersiap, dan dandan yang cantik selepas mandi sore nanti. Karena, aku ingin mempercepat proses pembuatan buah hati untuk kita. Menurutmu bagaimana? Nanti malam, yah?"

Dan tentu saja. Rangkaian kata itu semakin membuat emosi Leia membludak. Sambil melempari pintu kamar tak bersalah itu dengan benda apa saja yang ada di dekatnya, Leia memaki panjang pendek pada Aryan yang tentu saja tidak mendengar seluruh makiannya karena ia sudah lebih dulu ngacir sebelum amarah Leia benar benar meledak.

Sedikit berlari Aryan menuruni tangga dan langsung menuju pintu utama. Hatinya sedang bahagia entah karena apa. Yang jelas, semenjak status 'Suami Leia' melekat pada dirinya, Aryan menjadi pribadi yang mudah tersenyum. Ia bahkan geli dengan sikapnya sendiri yang mirip orang sinting karena terus terusan tersenyum jika mengingat tingkah lucu istrinya.

Yah, meskipun kenyataannya pernikahan yang ia jalani ini tak didasari rasa cinta. Namun dalam hatinya begitu meyakini bahwa cepat atau lambat, Leia pasti akan luluh juga nantinya.

Senyum Aryan mengendur dan berganti dengan ekspresi kaku bak maling yang tertangkap basah oleh korbannya, begitu melihat sesosok gadis yang tengah berjongkok saat ia membuka pintu.

Si gadis mendongak mengetahui pintu terbuka. Dan membuat pandangan dua anak manusia itu beradu. Ada degup ganjil yang terdengar saat pandangan itu begitu lekat menatap.

"Astaghfirullah hal adzim," Buru-buru gadis bergamis mocca dengan jilbab senada menundukkan pandangannya.

Sedikit gugup, Aryan membuka suara,"Mba Nadhira."

Selesai membetulkan ikatan tali sepatu yang lepas, segera Nadhira berdiri. Senyumnya mengembang melengkapi tatapan hangat yang selalu terpancar di mata bulatnya.

"Hay, Yan."

"Mba Nadhira cari Leia, ya?"

Anggukan Nadhira mewakili jawabannya.

"Dimana dia, Yan? di rumah, kan?"

"Ada, Mba. Di kamar atas."

Ibu jarinya digunakan untuk menunjuk arah.

Seulas senyum terbit di wajah cantik Nadhira. Heran saja melihat Aryan yang masih bertingkah seolah dia adalah supir, dan Nadhira adalah tamu atasannya.

Dia lupa apa emang nggak ngerti, sih? Kalo sekarang dia itu boss di sini.

"Kenapa, Mba?" tanya Aryan yang bingung melihat senyum Nadhira.

Yang ditanya buru-buru menggeleng.

"Yaudah, Yan. Aku langsung ke atas, ya."

Dan tanpa menunggu komando, gadis itu meniti satu persatu anak tangga.

Sedang Aryan, masih saja setia memandang punggung Nadhira yang kian menjauh.

Nadhira adalah gadis yang baik. Dia sangat sopan pada siapa saja, termasuk pada seorang sopir seperti Aryan. Gamis dan jilbab lebar yang selalu mendampingi langkahnya, kian membuatnya nampak anggun.

Pria mana yang tak mendamba sosok seperti Nadhira sebagai pendampingnya?

**

"Assalamu'alaikum, ya Ukhti..." Nadhira masuk tanpa menggedor pintu terlebih dahulu. Tak peduli Leia keberatan atau tidak, itu sudah menjadi kebiasaannya.

Sedikit terlonjak dari kasur, buru-buru Leia menyibakkan selimut tebal hingga menyentuh lantai, lalu segera melompat ke arah Nadhira yang masih berdiri tak jauh dari pintu.

"Araa...."

Teriakannya berbarengan dengan kedua tangan yang terentang, siap memeluk sahabatnya.

Sayangnya, yang dipeluk justru menahan rentangan tangan Leia. Membuat gadis delapan belas tahun itu mengerucutkan bibir mungilnya, dengan tatapan penuh tanda tanya, "kenapa?"

"Pertama, kamu -lagi-lagi- lupa menjawab salam." Nadhira berhenti sebentar untuk menangkap ekspresi sahabat karibnya.

Ada sorot penyesalan di sana. Juga permohonan maaf dan menjawab salam yang diucapkannya lirih.

"Kedua!"

Nadhira membetulkan posisi berdirinya. Pegal juga mengangkat tangan dan satu tangan lainnya berkecak pinggan.

"Sejak kapan aku punya nama 'Aaraa'?"

"Tapi itu, kan nama--" Lagi lagi tangan Nadhira harus terangkat demi menghentikan laju suara Leia yang terus saja berceloteh.

"Dengar, K-A-L-E-I-A. Nadhira adalah nama pemberian Bunda, Beliau tiru dari cerita di sebuah surat kabar waktu dulu aku masih dalam kandungan. Arti namanya juga baik, Nadhira adalah Yang berharga. Dan saat pemberian nama itu, Bunda juga sudah susah payah menggunakan uang hasil penjualan kue yang nggak seberapa untuk acara syukuran. Jadi, berhenti panggil aku dengan nama alay itu! Atau, saat pulang nanti, aku bakalan bilang ke Bunda kalau seorang Leia sepertinya sudah bosan di do'ain sama Bunda."

Nadhira melipat kedua tangan di dada.

"Diih, Araa... Eh, Nadhira jahat banget!" Sudut bibir Leia terangkat sebelah. Ekspresi kesal yang menggemaskan.

"Dhira, Sayangkuu... Saat seseorang memberikan panggilan kesayangan, artinya seseorang itu berarti lebih untuk dia. Apa salahnya, sih kalo aku panggil kamu dengan panggilan Aara? Itu kan lucu. Kayak artis Korea. Masak aku harus panggil kamu Ira? Kayak suster yang jagain anak sebelah, dong. Kamu kan lebih berharga dari itu."

Paling pinter deh, kalo soal les mengeles, mah.

"Kamu kan, bisa panggil aku Dhira? Seperti yang lainnya."

"Enggak asik, ah! Terus, apa istimewanya aku buat kamu, Ra? Aku kan sahabatmu. Kamu sendiri yang bilang. Masak, kamu samain aku sama temen-temenmu yang lain, sih."

Leia memulai dramanya. Biasanya, Nadhira yang lembut dan penuh kasih sayang itu akan mengendur saat Leia sudah mengeluarkan jurus rayuan manja.

Nadhira ingin sekali menyanggah, sayangnya Leia lebih dulu menjatuhkan tubuhnya pada kasur empuk di belakangnya.

"Ra," panggilnya lirih. Membuat fokus Nadhira teralihkan.

"Kenapa Tuhan kasih cobaan seberat ini ke aku, ya? Padahal, tebal imanku bahkan belum ada seujung kuku pun dari iman yang kamu punya."

Leia berubah sendu. Keceriaan yang semula ia tampilkan, mendadak pudar tertiup angin kesedihan.

Prihatin, Nadhira turut merebahkan tubuhnya di samping Leia. Mengamati langit-langit kamar yang putih. Tangannya menggenggam erat tangan Leia di sebelahnya. Mengisi kekosongan, berbagi kekuatan untuk lebih tangguh menghadapi dunia.

"Ada banyak rahasia di dunia ini, Lei. Allah tidak serta merta memberikan cobaan kepada hamba-Nya, melainkan Dia telah mengukur kemampuanmu.

Dengan mengucap syahadat kemarin, artinya kamu telah ikhlas dan mempercayai sepenuhnya dengan apa yang Allah kehendaki terhadapmu.

Kamu harus yakin, yang Allah berikan padamu ini adalah bentuk kasih sayang-Nya. Cobalah pejamkan matamu, dan rasakan belaian yang Dia berikan. Kamu percaya kan, bahwa kasih sayang Allah itu nyata?"

Leia mengangguk.

"Allah sayang Papa ya, Ra? Makanya Dia panggil Papa secepet ini." Matanya terpejam, namun kristal bening itu lolos begitu saja membasahi pipi.

Nadhira turut tersedu. Pak Tjandra juga sudah seperti keluarga baginya. Leia dan Papanya sudah berbuat banyak untuk keluarganya. Mana mungkin Nadhira tidak merasa tersiksa melihat Leia terluka?

"Iya, Lei. Papa sekarang pasti lagi ada syurga. Bidadari-bidadari lagi berbaris menyambut kedatangan Papa." Matanya menerawang.

"Terus, Papa duduk di singgasana yang berlapis emas. Di sampingnya, ada banyak sekali makanan dan buah-buahan. Semua yang dibutuhkan ada di sana. Papa tersenyum, bahagiaa banget. Iya, kan, Ra?"

"Pasti. Pasti, Lei."

Nadhira menghapus lelehan di sudut mata, lalu memberikan Leia sebuah pelukan. Pelukan hangat dan menenangkan. Pelukan yang selalu Leia rindukan.

Pelukan hangat itu mengendur saat benda persegi di atas nakas menyala. Empunya ponsel sengaja mematikan nada dering, sehingga yang terdengar hanyalah getaran yang bergesekan dengan permukaan meja.

"Assalamu'alaikum, Bunda." Segera ia beruluk salam begitu ponsel pintarnya menempel di telinga.

"Iya, Dhira di rumah Leia sekarang."

"Iya, Bun. Leia baik, kok. Bunda tenang aja."

Leia sibuk mengamati, sampai di saat pemilik telepon lengah, segera gadis itu merebutnya dari tangan Nadhira.

"Eh, Lei!" Teriak Nadhira spontan begitu ponsel kesayangan lepas dari genggaman.

"Halo, Bundaku yang cantik jelita tiada tara."

Ekspresinya berubah. Seakan mendung telah sirna dan berganti pelangi yang indah.

Yang berdiri di hadapan hanya mengembuskan napas, jengah. Sudah, deh! Leia itu memang yang paling jago cari muka di depan ibunya.

"Iya, Bun. Ia' sama Araa, kok."

Lagi-lagi, Nadhira harus mendengar nama mbenyek itu. Apa katanya tadi? Ia'?

Duh. Nadhira sampai eneg sendiri mendengar 'nama kesayangan' itu.

"Araa jahat, Bun. Ia' kan masih berduka. Masak dateng-dateng, Ia' dimarahin." Adu Leia yang semakin membuat Nadhira gemas.

"Tau, tuh. Pake ancem Ia' segala tau, Bun. Dibilangnya, Bunda nggak mau do'ain Ia' lagi. Kan nggak bener, kan, Bun?"

"Lagi PMS kali, Bun. Makanya galak."

Tak hentinya Nadhira menggeleng dengan tingkah si Tukang Ngadu.

"Nih."

Leia menempelkan ponsel pintar itu ke telinga sahabatnya. Dan tak lama, sedikit Nadhira jauhkan kepala dari ponsel begitu sosok yang begitu ia hormati di seberang sana tengah mengomel panjang lebar.

"Iya, Bunda... Dhira jagain Leia, kok. Bunda nggak usah khawatir gitu. Lagian Leia kan udah gede, udah bisa jaga diri."

Nadhira segera memotong begitu omelan yang panjangnya mirip kereta MRT itu terjeda.

"Iya, Bun. Dhira ajak Leia pulang ke rumah sekarang, ya."

"Assalamu'alaikum."

Leia memang seperti itu jika sudah di hadapkan pada Nadhira dan keluarganya. Sisi lain yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun karena dunia yang tak mengijinkannya. Hidupnya terlalu keras untuk bersikap manja.

Memang begitulah hidup, memberikan berbagai kejutan di setiap embusan napas manusia.

Selalu ada penawar, untuk segala kelukaan yang kita rasakan.

###