"Sebagian luka hadir karena kesalahan.
Di sebagian lainnya, luka perlu ada untuk membuktikan keseriusan. Ketulusan. Kepedulian."
____•••____
Shubuh, saat kirana bahkan belum menyapa langit, Nadhira telah duduk bersimpuh di atas sajadah. Memohon ampun pada Yang Kuasa, tentang perasaan yang tak bisa ia jaga. Rasa bersalah karena memiliki rasa pada Aryan terus saja menggelayuti hati dan pikiran.
Di mata Nadhira, Aryan adalah gambaran sosok sang Ayah di masa muda. Seperti yang selalu Bunda ceritakan, Ayah itu lelaki Baik, pengertian, selalu semangat, dan juga, penuh kelembutan.
Banyak yang bilang, seorang Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya.
Lalu, salahkah Nadhira jika ternyata ia menaruh rasa pada Aryan yang memiliki kelembutan seperti sang ayah?
Salahkah Nadhira, ketika perasaan itu selalu saja tumbuh meski berkali-kali telah ia coba patahkan?
Lamunannya terjeda begitu medengar suara gaduh di ruang tengah.
Terdengar seperti suara orang bercengkramah.
Masih mengenakan mukena, gadis itu berjalan ke lubang kecil di sudut kamar yang terhubung langsung ke ruang tamu. Hendak mencari tahu, tamu siapa yang dini hari begini berkunjung ke rumah.
Matanya membulat, seulas senyum seketika terbit di bibir mungilnya begitu tahu siapa di sana yang bersama ibunya.
Buru-buru Nadhira berjalan ke sumber suara. Ingin sekali menyambut dan memberikan pelukan hangat.
Sayangnya, langkah kakinya terhenti saat tak sengaja indera pendengarnya mendengar percakapan mereka.
Percakapan yang takut ia ketahui sampai akhir. Takut tentang kebenaran yang akan ia dengar.
Sebenarnya, ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di kepala yang mendesak ingin mengetahui jawaban.
Tapi rasanya tidak sopan terlalu banyak bertanya saat sang ayah bahkan baru saja pulang ke rumah setelah sekian lama.
Pada akhirnya, gadis itu memilih untuk mundur. Menenangkan diri di kamar, dan mencerna dengan baik apa yang baru saja ia dengar.
Takut Leia marah dan membenci ayah?
Gadis itu menggeleng. Menyerah dengan segala asumsinya yang tak menemukan titik temu.
***
"Tolong, Pak. Kabari saya jika Bapak sudah mendapatkan petunjuk." Pria dengan topi hitam itu nampak serius menatap sang lawan bicara.
"Anda tenang saja. Akan saya lakukan semampu saya untuk menyelidiki kasus ini." Pria gagah yang tampil rapi dengan atasan cokelat dan celana hitam itu mengangguk mantap sambil membolak balik berkas di tangan.
"Baik, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Kalau begitu, saya permisi."
Aryan bangkit, mengulurkan dan berjabat tangan dengan anggota polisi berpangkat tiga, "Sekali lagi, terima kasih, Pak."
Tak lama setelah Aryan berlalu, Polisi berpostur tegap dengan perut sedikit membuncit itu mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Pria itu segera bersuara setelah nada sambung di ponsel berganti dengan suara seseorang yang ia hubungi.
"Halo?"
"Ada seorang pemuda yang berusaha mencari tahu penyebab kematian Tjandra. Menurutmu bagaimana? Harus aku apakan anak ini?"
"Siapa dia?"
"Aryan Nugraha. Dia sudah mengirim laporan ke kantor polisi. Berkasnya ada di tanganku sekarang."
Seseorang di seberang sana diam sesaat untuk menimang.
"Oke. Kita tidak boleh gegabah. Dia bukan siapa-siapa sebenarnya, hanya seorang supir yang tertimpa durian runtuh. "
"Tapi kita harus tetap waspada. Jangan remehkan pemuda ini. Karena kalau saya lihat, dia tipe orang yang tidak mudah menyerah sebelum apa yang dia inginkan tewujud."
"Kamu tenang saja, Bram. Saya sudah punya rencana yang matang. Kamu tidak perlu kuwatir berlebihan seperti itu."
"Baiklah, saya percaya sama kamu."
Tuuut ... Tuutt ....
Sambungan telepon terputus.
Percakapan singkat yang membuat perasaan Bramantyo cukup lega sekaligus was-was karena memiliki partner yang punyai seribu macam cara untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan. Tak peduli apakah itu menyakiti orang lain atau tidak. Tidak ada yang tidak bisa rekannya itu lakukan.
Termasuk membungkam mulutnya dengan berbagai ancaman dan sejumlah uang, tentu saja.
***
Gadis dengan bandana motif polkadot di kepala itu begitu khusyuk dengan berkas di tangan, tak memperhatikan kakinya yang terus melangkah, seirama dengan Aryan di sampingnya.
"Huh. Ini enggak pantes banget buat pembaca remaja," keluhnya sambil memijat pelipis.
"Itu kenapa aku menolak mati-matian ide David untuk menerbitkan naskah ini."
"Kak Dave?"
Aryan mengangguk. "Tidak masalah kalau target pembacanya orang dewasa. Yang nalarnya lebih bisa diandalkan dari para remaja yang cederung masih labil dan suka ikut-ikutan apapun yang mereka baca, mereka tonton, tanpa menyaringnya lebih dulu."
Sejenak Leia melupakan naskah di tangan, dan justru menatap lelaki di sampingnya.
"Generasi milenial seperti sekarang itu ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi menguntungkan, di sisi lain memberikan efek negatif jika tidak dibarengi dengan ilmu pengetahuan. Sekarang, mereka hanya perlu menggerakkan jari di atas benda kecil berbentuk persegi. Dan, blaam ... Informasi apapun yang ingin mereka ketahui, akan segera muncul di layar. Menjawab semua keingin tahuan dan rasa penasaran mereka.
Sayangnya, di sebagian yang lainnya menelan mentah mentah informasi yang didapat di social media tanpa menyaringnya terlebih dahulu.
Adegan-adegan buruk yang mereka lihat di sosial media, buru-buru mereka tiru di dunia nyata.
Miris sekali.
Pada kenyataannya, negara kita butuh generasi penerus yang maju dan berkembang. Bukan hanya sebagai generasi yang latah dengan gaya ke barat-baratan."
Aryan berhenti sejenak, menarik napas untuk beberapa detik kemudian lanjut memuntahkan uneg-unegnya.
"Itu kenapa aku ingin penerbitan ini mencetak bacaan yang bukan hanya untuk meraup keuntungan, tapi juga memberi contoh yang baik atau setidaknya tidak menggunakan adegan-adegan intim yang meracuni otak mereka.
Syukur-syukur para pembaca bisa mengambil sisi positif dan berguna untuk kehidupannya setelah membaca buku yang kita terbitkan."
Leia memandangi wajah dari sisi kiri Aryan nyaris tanpa kedip. Ternyata, di lihat dari samping Aryan nampak lebih mancung. Rahangnya yang keras menambah kesan macho dari dirinya.
Ah, mikir apa, sih!
Leia menggeleng. Seharusnya bukan itu fokusnya.
Tapi bagaimana Aryan berbicara tentang remaja jaman millenial sepertinya yang butuh arahan dalam memilih bacaan.
Begitu terpukaunya Leia dengan semua kalimat yang Aryan ucapkan, sampai tak sadar kalau dirinya telah tertinggal jauh dari Aryan yang terus melangkah maju, meninggalkan dirinya yang masih stuck di tempat.
Leia masih sibuk dengan ketidak-percayaannya terhadap Aryan yang ternyata memiliki pemikiran luas, saat seseorang dengan hoodie hitam bergambar tengkorak dengan topeng, topi, dan sarung tangan berwarna senada, tengah mengacungkan sebilah pisau tepat di belakangnya.
Di detik yang sama, Aryan yang menyadari ke alpaan Leia di sampingnya buru-buru berbalik arah. Lantas segera berlari begitu melihat kejadian mengerikan di depan mata.
Secepat kilat Aryan berlari, menarik Leia di pelukannya, dan ...
Crush!!
Semua terjadi begitu cepat. Lantai pualam di lorong lantai dua telah basah oleh percikan darah.
Aroma anyir telah menguar ke penjuru ruang, bahkan sebelum Leia menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Yang ia tahu, ia kini tengah berada dalam dekapan Aryan yang tersenyum dengan mata sayu yang kian lama sinarnya kian meredup.
Tidak ada yang bisa Leia lakukan. Berteriak pun rasanya begitu sulit melihat Aryan kin tak sadarkan diri di atas pangkuannya.
__________________________