webnovel

Panti Jompo di dekat Gunung

Dua kantong plastik makanan hasil dari tabungan kupon dan uang simpanan, yang dimaksudkan untuk membangun kebersamaan antara nenek Nam dan Jae Suk, kini makanan itu ditinggalkan di samping pintu kamar. Ia dengan berat hati mengambil koper besar di dalam lemari. Ditariknya dengan kedua tangan hingga dirinya terduduk di lantai. Satu demi satu diatur rapi pakaiannya, diselipkan foto suami dan cucunya. Dimasukkan pula beberapa salep pereda nyeri pemberian Yeo Han beserta syal hadiah dari Yeo Ning.

Semua barang selesai dibereskan, ia duduk di depan meja rias. Sebuah lipstik merah beraroma mawar pemberian Jae Suk digores lembut pada bibir keriput. Wajah tua nan kusut sekarang telah terganti menjadi berwarna dan lebih hidup. Lama waktu berlalu, kenangan bersama Jae Suk si bocah, si remaja hingga dewasa memenuhi pikiran nenek Nam. Perasaannya menjadi berat dan terasa sesak, meski begitu ia hanya dapat menekan diri dan berkata dalam hati, ''Mungkin ... sudah saatnya melepas pergi anak bodoh itu.''

Nenek Nam memasukkan semua alat rias dan make up-nya ke laci meja. Kemudian ia keluar dari kamar dengan pakaian tebal, syal dan tak lupa mengambil dua kantong plastik makanan yang tadi di beli. Semua orang di rumah itu sedang sibuk berkemas untuk pindah rumah.

Nenek Nam pergi sebentar ke rumah salah satu temannya. Di sana ada tiga orang nenek yang lebih tua dua tahun darinya dan menyambutnya. Mereka bertanya kepadanya, akan kemanakah ia pergi sebab berdandan cantik sekali. Nenek Nam hanya dapat tersenyum. Ia terlampau malu menceritakan kepindahannya ke panti Jompo.

Pada pukul 16.00 dengan mengendarai mobil sedan Silver Metallic, nenek Nam diantar ke panti jompo oleh anak dan cucunya. Perjalanan ke sana tidaklah mudah, jalan menanjak cukup tinggi dan udara dua kali lebih dingin ketika kaca jendela sedikit di buka. Nenek Nam menyandarkan punggung, pasrah.

Kehangatan seketika memupuk punggung tangannya. Dilihatnya, si kecil Yeo Ning memberikan sarung tangan rajut berwarna putih seraya menutup rapat tangan nenek Nam dengan tangan kecil itu agar tidak kedinginan.

Jalan kecil yang hanya muat dilewati satu mobil, di kelilingi oleh pohon-pohon pinus. Suara burung, tupai hingga serangga lainnya terdengar samar. Tidak ada fasilitas transportasi di sana. Ia jadi terpikir seolah-olah sedang dibuang ke tempat yang tinggi agar tak akan pernah kembali ke bawah lagi. Nenek Nam menekan perih perasaannya. Matanya merah berair hampir meneteskan air mata.

Selama kurang lebih empat puluh menit perjalanan lambat, destinasi mereka berakhir. Di depan panti Jompo berpagar putih dari kayu, setinggi dua meter, dihiasi tanaman mawar merambat yang sedap dipandang mata. Mereka disambut oleh wakil pengurus dan dua perawat berseragam hijau.

Sebelum membiarkan dua lelaki itu pergi, nenek Nam mengusap rambut cucunya penuh sayang sambil berpesan agar menjaga diri dan tak melupakan dirinya walaupun ia telah jauh dari kehidupan keluarga kecil itu. Dan Yeo Han sendiri berjanji akan berkunjung saat hari libur bersama Yeo Ning.

Menunggu lenyapnya mobil sedan itu dari pandangan, bibirnya bergetar sedih menahan tangis. Nasib si tua itu sampai mati pun akan terus berada di rumah lansia nan sesak bau orang-orang lapuk. Keluarga kecil yang telah lama dibimbing, kini melepas kehidupannya yang dinilai tak banyak berarti lagi.

...

Biru langit dengan gumpalan putih menggulung beserta keributan suara hutan menjadi suasana yang membawa cerita nenek Nam. Dan Cerita itu berakhir ketika nenek Nam mengusap ujung matanya yang berair. Perawat Alice dan nenek Soo Jin hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Mereka terpukul mendengar kisah nenek Nam yang disingkirkan dari keluarga.

Nenek Soo Jin coba menghibur kawan akrabnya, ''Semuanya sudah terjadi. Hal terbaik untuk mu adalah menjalani sisa kehidupan ini dengan baik. Mungkin sudah saatnya melepas anak-anak. Kebanyakan mereka mengalami hal yang sama. kamu tidak Sendiri, Nam. Ada empat puluh ibu dan ayah yang hidup terpisah dengan anaknya di sini.''

Waktu demi waktu, mentari mulai tegak meluapkan cahaya, menambah segar pada pemandangan kehijauan pohon-pohon liar di perbukitan itu. Bahkan pada rumput-rumput sekitar panti Jompo. Bangunan panti itu bertingkat tiga, dengan cat putih berpadu ungu muda, luas dan cukup besar untuk menampung 100 lansia. Akan tetapi, siapa yang sudi tinggal jauh dari kota dengan fasilitas transportasi yang minim serta terasingkan dari keramaian. Untuk mengatasi kejenuhan, para penghuni di sana sesekali diajak turun gunung, menyusuri jalanan tanpa aspal, melihat sungai kecil dan hewan-hewan seperti kelinci.

Di bangunan panti Jompo pada lantai tiga terdapat fasilitas pengobatan dan empat kamar perawat serta kamar khusus persediaan obat. Sedangkan di lantai dua ada dua lorong, masing-masing lorong memiliki 16 kamar, perkamar dihuni oleh 5 lansia dan satu kamar lagi dihuni oleh 4 perawat. Terdapat pula perpustakaan kecil.

Adapun di lantai satu memiliki area ruang lebih luas, terdiri dari ruang kantin yang diujung ruangannya terdapat ruang kecil tempat persediaan makanan dan dapur. Ruang kantin besar itu menyatu pula dengan ruang TV dengan fasilitas sofa cokelat sebanyak sepuluh buah.

Dan pagi ini disanalah semua lansia berada. Duduk tertata menghadapi dua sampai tiga hidangan hangat. Suara-suara sendok perak bercampur bersama perbincangan yang terjadi selama makan, suasananya sungguh hidup.

Suatu ketika ada seorang pegawai baru, ia adalah pemuda yang mencari pengalaman kerja dan sertifikasi pelayanan masyarat agar mudah melamar pekerjaan. Pemuda itu bertugas mengantar makanan pada tiap-tiap meja makan.

Seorang tua setengah beruban, rambut keriting melambaikan tangan pada pegawai magang itu, dia Nenek Nam yang duduk bersama lima orang.

Pemuda itu lekas mendekati Nenek Nam. Diletakkannya beberapa sup dan jus buah di meja Nenek Nam. Nenek Nam memandang wajah pemuda itu lantas berseru. ''Oh Tuhan, wajahmu terlihat segar sekali. Sungguh mengingatkan aku pada cucuku. Kudengar kau pegawai magang. Perkenalkan namamu, anak manis!'' ia berkata begitu sambil menepuk pantat pemuda itu.

Semua yang duduk di satu meja menjadi tertawa melihat kelakuan nenek Nam. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum kecil sambil menjaga jarak dari nenek Nam.

''Saya Soo Hwan. Jo Soo Hwan, Nek,'' katanya sopan. ''Baru datang kemarin sore. Ruang saya di lantai satu bersama Tuan Min Seok.''

Nenek Woon berseru memuji, ''Oh, lihat anak muda ini sopan sekali. Bekerjalah dengan baik di sini! Tolong rawat kami!''

Soo Hwan mengangguk. Ia beralih mendorong trolly makanan menuju meja lain. Tak lama berselang terjadilah keributan, bubur berserakan di lantai, mangkok retak menggelinding dan berhenti saat membentur ujung sepatu Soo Hwan. Pemuda berperawakan pendek itu tampak takut, wajahnya menunduk tak berani melihat.

Next chapter