7 Chapter 6

Tahun 300 kalender Kemenangan di Ibu kota Kerajaan Asca - Hervida

Kota yang amat tentram, tak ada keributan walaupun banyak orang yang berkerumunan dan saling berbicara. Penduduk kota amat menikmati kehidupan mereka. Tawa anak anak terdengar dikala mereka berlarian saling mengejar. Pedagang menggunakan timbangan dengan benar dan tak ada penyalah gunaan. Seperti sedang berada ditengah festival, Ferdi dituntun oleh Frey ditengah keramaian malam. Dengan mengenakan jubah yang menutupi kepalanya, Ferdi tak bisa melihat sekelilingnya. Frey terus berjalan mengikuti pria bertopeng yang jalannya semakin menjauh sambil tangannya membopong seorang gadis dan tangan satunya memegang lengan Ferdi.

Festival keselamatam. Itulah namanya, festival yang diadakan setiap awal tahun selama seminggu penuh. Festival ini diadakan untuk memperingati bebasnya umat manusia dari ancaman iblis dan juga ungkapan penghormatan dan terimakasih pada pahlawan yang telah membinasakannya. Seluruh rakyat kerajaan Asca berbondong bondong memenuhi ibukota. Dimulai dengan pidato sang Raja hingga sayembara besar besaran dilaksanakan minggu ini. Para prajurit kerajaan dikerahkan untuk memantau situasi, bahkan bangsawan ikut andil dalam festival ini.

Frey membawa Ferdi ke sebuah apartemen murah. Nampaknya ita ingin segera menurunkan gadis yang ada di pundaknya.

Mereka menaiki tangga ke lantai 2. Lalu berhenti didepan pintu usang yang terlihat jarang dipakai. Pria bertopeng lalu membuka pintu tersebut.

"Darimana aja kau, Gilbert?" Seorang wanita menyambut dengan nada yang tidak ramah.

Gilbert alias pria bertopeng itu memasuki ruangan dan diikuti Frey lalu Ferdi berjalan dibelakangnya.

"Kau pikir berapa lama kami menunggu? Pembayaran nyaris ditarik tadi."

"Dan juga," wanita berambut merah ikal itu menatap Ferdi.

"Siapa dia?" Tatapannya berubah drastis ketika ia menatap Ferdi dibandingkan saat menatap Gilbert.

"Kau tidak pernah bilang kalau mau merekrut anggota baru, siapa gadis kecil itu?"

"Gadis ini? Dia akan menjadi adikmu, jadi rawatlah dia." Jawab Gilbert.

"Hah? Kenapa aku harus merawatnya?"

"Sudahlah, kau tidak perlu memikirkannya."

"Kalau begitu, siapa orang itu? Aku sama sekali tidak merasakan mana dari dalam tubuhnya, kau yakin mengajak sampah seperti dia? Dan juga kau lihat sendiri, tangannya buntung."

"Kalau itu aku yang melakukannya."

"Nah kan, bahkan tangannya saja mudah lepas. Apa dia benar benar berguna? Aku yakin dia malah akan menghambat kita."

Wanita itu mendekati Ferdi, sorot mata jingganya mengancam.

"Selamat malam anak muda. Kupikir tadi warna rambutmu cokelat karena gelap, tapi saat dilihat dari dekat ternyata beneran hitam. Mungkin karena itu kau diajak olehnya. Aku tak pernah menyangka orang seperti Gilbert berpikir bodoh seperti ini. Tak peduli kau jelmaan iblis atau apa, kalau kau tak bisa menghindari ini lebih baik mati saja!" Wanita itu menelungkupkan tangannya lalu menusuk jantung Ferdi.

Padahal diruangan itu terdapat beberapa orang yang sedang melihatnya, namun mereka nampak tak peduli.

"Kenapa? Kau tidak bisa menghidar, yah? Kasihan sekali." Wanita itu mencabut tangannya.

Ferdi tak bergerak, ia tidak berniat berpindah posisi.

"Jantungmu sudah kutusuk, loh? Kenapa kau masih bisa berdiri?" Wanita itu keheranan.

"Aah, sudah sembuh." Luka tusukan itu sembuh dengan sekejap.

"Makluk apa kau?" Pandangannya menjadi sinis.

"Sekarang aku paham kenapa Zitta disebut iblis, padahal rambutnya hitam." Wanita itu menggerutu.

"Sudah puas? Kalau begitu, Frey bangunkan gadis itu." Suruh Gilbert.

Frey menurunkan gadis itu dari bahunya lalu menidurkannya di lantai. Setelah itu Frey memukul perut gadis itu.

"Uhuk uhuk!" Gadis itu terbatuk.

"Selamat datang di Serikat jasa divisi ke 7, Nona." Galliard menundukkan badannya layaknya seorang pelayan pada tuannya.

"Divisi 7?"

"Ya, kami akan sangat senang bila anda dengan senang hati bergabung."

"Baiklah" gadis itu mengangguk.

"Kalau begitu silakan perkenalkan diri anda."

Gadis itu berusaha berdiri, tubuhnya nampak lemas setelah perutnya dipukul oleh Frey. Ia menopang tubuhnya dengan tangan yang bergetar. Perlahan ia bisa berdiri.

"Aku tidak tahu kenapa aku disambut dengan baik disini, padahal mana dan markahku tidak berguna." Ucap gadis itu lirih.

"Namaku Anne, markahku bergambar borgol, ibuku berbakat pada pengendalian air, dan ayahku pada pengendalian tanah. Mungkin aku mewarisi salah satunya, aku tidak terlalu kuat jadi aku tidak yakin akan berguna." Anne memperkenalkan dirinya. Mata peraknya nampak berkaca kaca.

Gilbert lalu melirik kearah Ferdi seakan menyuruhnya untuk mulai memperkenalkan dirinya.

Ferdi maju kedepan.

"Aku..."

"Namaku..."

"Ahh..."

"Kenapa?" Tanya Gilbert.

Gilbert mendekati Ferdi lalu menyentuh dahinya dengan jari telunjuk.

"Ingatanmu disegel, yah?"

"Marisca, urus ingatannya."

Seorang wanita berambut ungu tua dan bermata kuning berdiri dari duduknya diantara orang orang yang sejak tadi hanya menonton diatas sofa.

"Okeh!" Sahut Marisca.

"Hei kau, anak hitam, sini sini, ikuti aku!" Pinta Marisca terlihat antusias.

Marisca pergi menjauhi kerumunan dan duduk dipojokkan.

"Duduklah." Marisca mempersilakan.

Ferdi pun duduk dihadapannya, mata wanita itu sangat berbinar, entah apa yang ada dipikirannya.

Marisca meletakkan telunjuknya di dahi Ferdi lalu membaca mantra.

Kepala Ferdi mendadak pusing, kepalanya terasa seperti dimasuki ribuan serangga. Tak sakit, namun terasa sangat berat. Otaknya pun lalu kehilangan kesadaran.

***

"Selamat ulang tahun yang ke-tiga, Ferdi."

"Apa ada benda yang ingin dibeli?"

"Ferdi ingin dibeliin robot robotan, yah? Baiklah."

Wanita itu membelai wajah Ferdi. Senyuman lembut terukir diwajahnya. Ia lalu berdiri sambil memegang tangan Ferdi, menariknya ke sebuah toko yang menjual robot mainan yang perlu dirakit.

"Selamat ulang tahun yang ke-lima, Ferdi." ucap wanita itu sambil menepuk tangannya.

Ruangan ini gelap, hanya ada sepasang lilin yang tertancap di atas kue untuk menerangi ruangan.

"Mama kali ini membuat kue spesial, makanlah bersama teman temanmu."

"Apa? Ferdi ingin beli mobil mobilan? Baiklah, tapi jangan dirusak lagi, yah."

Wanita itu memotong kue lalu menyuapi Ferdi. Di pipinya mengenai kue yang hendak masuk ke mulut.

"Ahh, makannya jangan belepotan." Wanita itu mengelap pipi Ferdi dengan tissue.

Mulut wanita itu bersenandung, menyanyikan lagu yang sering Ferdi dengar.

"Selamat ulang tahun yang ke-enam, Ferdi."

"Mama membelikan seragam untuk sekolah nanti. Bagaimana, apakah cukup?"

"Mama juga membelikan tas dan buku, semangat sekolahnya, ya."

Ferdi mengangguk sambil memutar mutar tubuhnya di depan cermin. Seragamnya Nampak cukup ia pakai. Tas ia pakai di punggungnya, sesekali ia melompat lompat sambil menengok cermin.

"Sayang, kenapa kau malah pergi? Kau bilang akan segera pulang, kan? Kau tidak berbohong, kan? Aku sudah menunggu selama lima tahun. lihatlah, Ferdi sudah kubesarkan dengan baik. Ia sangat mirip denganmu. Ferdi sudah lancar berhitung dan menulis, ia juga punya banyak teman di sekolahnya."

"Kau bilang jika aku menjaga Ferdi kau akan segera pulang, kan? Tapi kenapa? Kenapa kau pulang bersama ambulan? Kenapa aku tidak senang saat kau pulang?"

"Kenapa semua orang menangis?"

"Ferdi, kenapa ayahmu pergi?" tanya wanita itu sambil memegang pundak Ferdi.

"Apa aku kurang baik padamu? Apa mungkin kau tidak puas?"

Ferdi hanya menggelengkan kepalanya.

"Hei! Jelaskan padaku!" ia menggoyangkan pundak Ferdi.

Wajah wanita itu terlihat marah bercampur sedih, matanya yang berlinang berkebalikan dengan apa yang ia ucapkan.

Wanita itu menampar wajah Ferdi, ini pertama kalinya ia menerima kekerasan. Tangis Ferdi pecah.

"Kenapa kau menangis? Aku tidak menyuruhmu untuk menangis."

"Jawab aku, kenapa ayahmu pergi!?" tamparan melayang sekali lagi.

Tangis Ferdi makin keras. Pipinya memerah.

"Pergi sana!" tubuh Ferdi dibantingnya, wanita itu segera memasuki kamarnya.

"Kenapa cuma segini? Kau pikir ini cukup untuk makan?" Uang recehan didalam bungkus makanan ringan Ferdi sodorkan. Kaleng minuman berisi kerikil yang Ferdi gunakan untuk mengamen di lempar ke wajah Ferdi.

"Jangan pulang kalau baru sedikit." Wanita itu menendang Ferdi keluar rumah.

"Ferdi! Bikinin teh manis!" pinta wanita itu.

Ferdi segera datang dengan teh manis didalam gelas kaca. Ia menyimpan gelas itu di atas meja.

Tangan wanita itu mendekati gelas untuk mengambilnya, namun terhenti setelah menyentuhnya.

"Panas!"

"Kenapa kau memberikan air yang masih panas padaku?" ia sekali lagi mencoba mengambil gelas itu, namun bukan untuk diminum. Gelas itu ia lempar kearah Ferdi hingga tubuhnya tersiram air panas dan beberapa serpihan kaca menempel di tubuhnya.

"bersihkan itu!"

***

Rasa pusing mulai mereda, ingatanya pulih perlahan.

"ingatanmu sudah pulih?"

"kurang lebih seperti itu."

"pada akhirnya Rangga tidak dating, yah." Gumam Ferdi.

Marisca berdiri lalu menyodorkan tanganya.

"Berdirilah."

Ferdi menggapai tangan marisca, ia pun berdiri. Kakinya sulit bergerak leluasa.

"Tanganku." Ia melihat bahu yang tangan kanan nya terputus.

"kenapa aku mengikuti orang yang sudah memutuskan tanganku?"

"Jangan melamun terus, cepatlah kesanan. Semuanya menunggu." Marisca mendorong tubuh Ferdi.

Mereka pun menghampiri para anggota divisi 7. Ferdi pun memperkenalkan dirinya.

"Namaku Ferdinan, aku tidak tahu apapun soal tempat ini. Sepertinya aku tidak akan berguna. Jadi, izinkan aku pergi keluar."

"Tidak berguna? Begitukah menurutmu?" Wanita cerewet berambut merah itu menatap Ferdi.

"Kau itu berguna."

"Sebagai tameng."

"Kau benar, Marie. Aku setuju denganmu, setidaknya aku akan melatih anak itu menjadi tameng yang berguna. Dia bisa menyambungka kepalanya yang sudah terputus dengan cepat. Ada kemungkinan kalau dia abadi." Ucap Frey.

"Lalu kenapa tangannya masih terlepas?" Tanya Marie.

"Gilbert melempar jauh jauh tangannya, mungkin karena itu tangannya tidak menyatu lagi."

"Baiklah, kalau begitu Anne, Ferdi. Selamat datang di serikat jasa divisi ke 7."

"Jasa pembunuhan."

avataravatar
Next chapter