3 Chapter 3

Tubuh Ferdi mati rasa, perut yang sobek pun tak terasa sakitnya. Lelaki itu kini terbaring di atas tanah, gelap. Ia tidak kuat menarik kelopak matanya. Perempuan yang menusuk perut Ferdi lari entah kemana, tanpa diketahui mengapa ia menusuk lelaki yang kebetulan melihatnya.

Perlahan, tubuh Ferdi mulai bisa bergerak. Kulitnya sudah mulai kembali bisa merasakan dinginnya malam. Ferdi mulai menggerakkan jari jemarinya, lalu perlahan membuka mata. Ia pun bangkit sambil bertumpu pada kedua tangannya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Ferdi sambil memegangi perut yang tertusuk tadi. Kaos yang ia pakai benar benar robek. Ferdi pun melepasnya.

"Lukanya?" Ferdi heran setelah ia melihat perutnya. Luka yang ia dapatkan tadi sudah sembuh, namun lukanya masih tersisa dan darah masih membasahi area perutnya.

"Kenapa ini?"

Ferdi mencoba berdiri. Meskipun tubuhnya terasa lemas, kakinya masih bisa menahan berat tubuh. Ia berjalan sempoyongan sambil sesekali bertumpu pada batang pohon. Ferdi terus melangkah, tak ada tujuan dan tak ada panduan. Hanya dengan perasaan yang membuat ia tetap ingin terus berjalan.

Telah lama Ferdi berjalan. Lelaki itu hanya ingin bertahan hidup, menghindari kejadian serupa yang tadi ia alami. Sepanjang perjalanan ia tidak melihat sesuatu yang mengancam kehidupannya. Namun hingga akhir, Ferdi selalu menengok kiri dan kanan untuk berantisipasi.

Ferdi berhenti melangkah setelah melihat nyala api dari kejauhan.

Ia melihat sebuah desa dibalik pagar kayu yang tingginya setinggi bahu. Tidak ada seorang pun disana, wajar, hari mungkin sudah larut malam. Ferdi berjalan mendekati desa itu, di sana terdapat sebuah lentera yang dinyalakan di atas tiang disetiap halaman rumah. Ferdi yang tubuhnya sudah kedinginan mendekatkan diri pada lentera itu. Ia sudah sangat lelah, meskipun lukanya sembuh, tenaga yang keluar tidak akan kembali.

Ferdi lalu berbaring dibawah nyala api, dengan berlantai tanah dan beratap langit, lelaki itu mengistirahatkan tubuhnya dengan telanjang dada. Lututnya dipeluk dan wajahnya menunduk seperti janin yang baru berusia beberapa bulan

***

Matahari sudah naik, Ferdi tidak sadar kalau ia sedang dikelilingi oleh penduduk desa. Tidurnya terlalu pulas, padahal beberapa bocah melempari kerikil. Ferdi pun bangun setelah sebuah kerikil mengenai kepalanya. Darah pun mengalir dari kepalanya, lalu luka itu menutup dengan sendirinya.

Ferdi membuka matanya, ia langsung terkejut setelah sadar kalau ia sedang dikelilingi oleh orang orang. Dan lagi, yang membuat Ferdi heran adalah orang orang yang mengelilinginya mempunyai warna rambut yang berbeda beda seperti pelangi. Mereka saling berbisik satu sama lain, terkadang melirik Ferdi dengan tatapan merendahkan.

"Zer egiten du hemen? (apa yang sedang dia lakukan disini?)"

"Zergatik du elia beltza? (kenapa rambutnya hitam)"

"Begira, zauri asko ditu gorputzean (lihatlah, dia punya banyak luka di tubuhnya)"

"ihes egin al zuen magia epaiketa gunetik? (apakah dia kabur dari tempat eksperimen sihir?)"

Orang orang itu terus berbincang dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh Ferdi. Semuanya menjaga jarak, wajah mereka nampak merasakan perasaan campur aduk. Mereka memandang hina, namun juga merasa takut. Tiba tiba perbincangan mereka berhenti. Mereka menepi untuk memberikan jalan pada seseorang. Datanglah seorang pria berwajah koruptor berjalan menghampiri Ferdi. Ia mengenakan pakaian yang sangat mencolok, berebeda dari orang orang yang tadi mengerumuni Ferdi.

"Kaiso, pozik zu ezagutzea (halo, senang bertemu denganmu)" Pria itu menurunkan topinya, terlihat rambut hijau muda yang sangat terawat di kepalanya.

"Nire hitzak ulertu ez bezala (sepertinya kau tidak mengerti perkataanku)" Pria itu mengambil sebuah kalung dari kantung di balik pakaiannya. Lalu memakai kalung tersebut.

"Apa kau mengerti perkataanku sekarang?" Pria itu tersenyum lembut.

Ferdi mengangguk.

"Aku adalah bangsawan yang bertugas di daerah ini, namaku Galan Archilles. Sepertinya kau tersesat, apa kau perlu bantuan? Aku punya tempat yang nyaman untuk tinggal sementara." Galan memberikan tawaran yang sangat sulit ditolak. Ferdi tidak membalas apa apa

"Penjaga! Bawa anak ini ke kereta, satukan saja dengan mereka! Jangan lupa ambil benda yang dia selendangkan, sepertinya itu barang mahal." Pinta Galan pada penjaganya. Ia lalu pergi meninggalkan Ferdi.

Para penjaga lalu menggiring Ferdi layaknya tahanan. Ferdi dilempar ke dalam salah satu kereta kuda dari rombongan kereta. Kereta itu terpasang jeruji besi, mereka pun menguncinya dari luar.

"Ayah ada apa?" Tanya seorang gadis kecil dengan pirang yang di pintal.

"Tidak ada apa apa, sayang, Cuma kuda yang pengen minum." Jawab Galan sambal melemparkan senyumnya.

***

Rangga sampai dipagi hari sesuai perkataan si kakek. Perbedaan waktu nya berbanding terbalik dengan tempat asalnya. Rangga kini berdiri diatas batu yang sangat mirip dengan batu yang ia temukan di bukit saat diserang harimau hitam. Ia memeriksa jumlah peluru pada pistolnya, isinya tinggal delapan. Ia pun turun lalu berjalan ke arah timur. Di perjalanan, ia mencium bau tak sedap, ia pun mencari asal dari bau itu.

"ihh." Ia pun menemukan asal dari bau itu. Genangan darah yang sudah kering dan pakaian sobek yang sudah terlumuri darah.

"Sebaiknya aku putar arah, mungkin disana ada makhluk buas. Aku tidak mau menghamburkan peluruku untuk makhluk jadi jadian." Rangga membalikan badannya karena merasa kalau lanjut berjalan akan sangat berbahaya.

Ia berjalan ke barat sambil memegang pistol dari dalam saku celananya. Ia terus menengok kiri dan kanan agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

"Aizu, zer egiten ari zara hemen? (hei kau, apa yang sedang kau lakukan disini?)" seorang wanita berambut hitam panjang yang seumuran dengannya menyapa Rangga dari arah belakang.

Rangga terkejut dengan kedatangannya, ia sama sekali tidak merasakan keberadaan seseorang sebelumnya. Dan lagi, Rangga tidak paham bahasanya.

"Hmm?" Rangga hanya menggeram dengan nada bertanya.

"(Sepertinya kau berasal dari luar negeri)" Gumam Perempuan itu. Ia pun mengajak Rangga untuk mengikutinya dengan bahasa isyarat.

Tak jauh dari tempat tadi, terlihat sebuah benteng berdiri kokoh mengelilingi negara, di atasnya para prajurit berpatroli bergantian. Rangga tidak dapat melihat pojok benteng dari tempatnya. Permpuan itu mengajak Rangga ke pos keamanan. Tempat itu hanya diterangi oleh sebuah lilin. Rangga bisa melihat tu,pukan dokumen diatas meja dan beberapa lukisan yang terpasang di dinding.

"Jantzi! (Pakai ini)" Perempuan itu mengeleuarkan sebuah kalung dengan permata kuning tua dari sakunya, ia pun menyerahkan benda itu pada Rangga.

Otaknya beresonansi setelah ia memakainya, perkataan yang tadinya tidak ia pahami sekarang langsung dimengerti tanpa harus mempelajarinya.

"apa kau bisa mengerti perkataan ku?" Tanya perempuan itu.

"Ya." Jawab Rangga.

"Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, sekarang duduklah." Perempuan itu mempersilahkan.

Rangga merasa seperti akan diinterogasi.

"Sebelumnya, izinkan saya memperkenalkan diri. Namaku Shena, mungkin anda sudah mengenaliku dari rumor yang beredar." Ucap Shena memperkenalkan dirinya.

"Namaku Rangga." Balas Rangga spontan.

"Ah, sial, kelepasan. Kenapa aku memberitahu nama asliku?" Gumam Rangga.

"Baiklah, Rangga, dari mana asalmu?" Tanya Shena sambal menyiapkan kertas dan tinta.

"Aku dari desa." Jawab Rangga berusaha meminimalisir pengeluaran informasi.

"Biarkan saya berpendapat kalau anda dari desa yang belum bernama." Shena menulis sesuatu menggunakan pena nya.

"Bagaimana cara anda memasuki negara ini? Karena biasanya pengunjung dari luar negri yang tidak bisa berbahasa Asca akan diberikan kalung penerjemah. Apakah anda imigran gelap yang datang melalui gunung atau semacamnya?" Shena melanjutkan pertanyaanya.

"Bagaimana aku harus menjawabnya? Gunung? Apa harus kuikuti saja alurnya? Dia tidak akan menjebakku kan?" Pikir Rangga.

"ya, seperti yang kau bilang tadi, aku datang melalui gunung." Jawab Rangga sambil menyembunyikan kebingungannya dengan senyuman.

"Begitukah?" Shena lanjut menulis.

"oh iya, aku punya satu pertanyaan lagi." Shena berhenti menulis laporan lalu membalikkan kertasnya.

"Kenapa matamu berwarna hitam?" Wajah Shena berubah menjadi serius.

"Hah? Apa yang dia bicarakan? Mataku hitam? Memangnya apa yang salah? Bukankah matamu sendiri berwarna hitam? Apa ini alasan si kakek menyuruhku mengganti warna rambutku?" Gumam Rangga.

"Hitam? Tidak tidak tidak, warna mataku bukan hitam, kau bisa terangi mataku dan melihatnya sendiri." Jawab Rangga.

"Cahaya? Baiklah." Shena mengacungkan telunjuknya, perlahan muncullah cahaya dari ujung jarinya. Ia lalu menddekatkan jarinya pada mata Rangga.

"Hmm, coklat? Matamu warna coklat. Baiklah sepertinya matamu bukan hitam. Saya pikir anda memiliki hubungan dengan orang yang saya temui tadi malam. Dia memiliki rambut dan mata hitam seperti milikku."

"Rambut dan mata hitam? mungkinkah itu Ferdi?" pikir Rangga.

"Tidak, aku tidak punya hubungan apapun dengan orang seperti yang kau sebut." Jawab Rangga

"Baiklah, biasanya pendatang harus membayar biaya masuk sebesar 500 Dart, tapi sepertinya anda tidak memiliki cukup uang, saya akan menunggu pembayarannya minggu depan disini." Jelas Shena.

"Kalau begitu aku permisi." Rangga meninggalkan pos keamanan itu dengan perasaan lega, kini ia tahu kalua Ferdi masih hidup.

Rangga berjalan melalui jalan utama, jalan yang hanya diratakan oleh tanah dengan kerikil yang membuat jalannya bergelombang. Lelaki itu kini sudah mendapatkan izin untuk masuk kedalam sebuah negara, ia bertanya tanya apakah mengunjungi suatu negara memang semudah ini? Pasalnya ia belum pernah sekalipun meninggalkan negerinya.

Sudah lama Rangga berjalan, ia hanya melihat dua prajurit yang pergi kea rah benteng perbatasan, setelah itu tidak ada siapapun lagi yang melintas. Lelaki itu menengok nengok sekelilingnya, hanya ada padang rumput dan pepohonan kecil.

"Toloong!!!" Terdengar suara seorang gadis dari arah depan. Rangga yang penasaran segera berlari ke sumber suara.

Rangga berhenti berlari setelah ia cukup dekat untuk melihat rombongan kereta kuda yang di serang oleh kelompok bandit.

Terlihat seorang pria berambut merah tua mengikat rambutnya dengan bandana merah, orang itu terlihat seperti bosnya. Ia berdiri sambil memerintah bawahannya.

Rangga lalu mendekati orang itu lalu jongkok di sampingnya.

"Kasian sekali." Ucap Rangga.

Pria itu terkejut, tak menyadari kehadiran Rangga yang sudah berjongkok disampingnya. Ia langsung menarik pedang dari sarungnya.

"yah, kasian banget. Tapi kau gak bakal bisa nyelamatin mereka, tuan pahlawan." Pria itu mengacungkan pedangnya kearah kepala Rangga. Rangga reflek mengangkat tangnnya.

"Yang kumaksud bukan mereka yang kukasihani, tapi kalian." Ucap Rangga

"Maksud kau apa? Hah!"

"Kau lihat sendiri bagaimana perlengkapan para penjaga itu, sudah jelas mereka adalah pasukan elit. Ada berapa bawahnmu?" Tanya Rangga.

"30."

Rangga tertawa, "mustahil kalian menang, aku lihat penjaga mereka ada 18 orang. Aku yakin kalian membiarkan dua orang itu kabur."

"Bukannya malah bagus? Kita gak perlu capek ngurusin semuanya."

"ikut aku sebentar." Rangga mengajak pria bandana itu ke sebuah pohon kecil, mereka duduk disana sambil berteduh.

"Sebentar lagi akan ada bala bantuan, seharusnya kau tidak membiarkan mereka lari."

"Lihat, mereka sudah datang. 10, 15, tidak bantuannya 20 orang. Yakin bisa menang?" Tanya Rangga.

Pria itu terdiam, Rangga bisa menebak kalua sebentar lagi dia akan lari.

Bala bantuan telah tiba, mereka mulai menyerang para bandit tanpa ampun.

"3, 4, 6, 8, ... lihat, mereka mati semua. Bagaimana, apa kau tidak mau lari?"

"Kebetulan aku punya tawaran yang bagus untukmu."

"Apa itu?" Tanya pria bandana.

"Berapa yang akan kau bayar?" Tanya Rangga memulai kesepakatan.

"Ambil aja yang lu mau."

Rangga tersenyum, "baiklah, kau punya pisau atau belati?" Pinta Rangga.

"ini." Pria itu memberikan sebuah belati.

Rangga lalu mendekati medan pertempuran, sambil memutar belati di tangannya.

"Permisi." Seketika pandangan para prajurit memandang kea arah Rangga.

"Apa kau ketuanya?" seseorang dengan zirah lengkap bertanya.

"kurang lebih seperti itu." Jawab Rangga sambal melambaikan belatinya.

"Prajurit! tangkap dia! Jangan sampai dia terbunuh!" Teriak orang itu.

"Mata, leher, bahu, sikut, lutut, dan mata kaki. Sepertinya hanya bagian itu yang terbuka." Gumam Rangga.

Rangga berlari kearah para prajurit itu. Ia melompat lalu menusuk mata seorang prajurit.

"Satu."

Ia melompat dengan prajurit tadi sebagai pijakannya lalu memotong leher lain.

"Dua." Rangga menghitung jumlah korban.

"Enam."

"Sepuluh."

"Tiga belas."

"Dua puluh."

"Sisa dua puluh lagi, yahh."

"Woi bangsat!!! Kalian kenapa pada diem!!! Mau mati, hah?" Teriak Rangga pada para bandit yang hanya menonton.

"Cih"

Para bandit pun mulai bergerak, mereka kewalahan melawan prajurit berzirah lengkap. Rangga terpaksa membantu mereka.

Prajurit penjaga dan bantuan telah sepenuhnya dihabisi, kelompok bandit tersisa sepuluh orang ditambah sang bos yang sejak tadi tidak ikut bertarung.

Dari 3 gerbong kereta yang dikawal, Rangga memasuki gerbong yang terlihat paling mewah. Gerbong itu terlihat dinaiki oleh bangsawan.

Seorang gadis kecil berambut kuning dan lelaki gendut berwajah koruptor saling memeluk dengan wajah yang ketakutan.

"Halo, nak." Rangga tersenyum.

Gadis itu tak menyahut. Ototnya pipinya sudah terlalu kaku untuk digerakkan.

Rangga menoleh kea rah bangsawan berwajah korup itu, "Halo pak tua." Nada bicara Rangga berebeda daripada tadi.

"Sepertinya tempat ini terlalu nyaman, bisakah kalian turun, yang mulia?" Pinta Rangga sambil menyodorkan tangannya.

"Harusnya kalian tahu apa yang telah kalian perbuat. Kalian berurusan dengan bangsawan loh. Hukuman mati tidak akan cukup bagi kalian." Ancam pria itu.

"Itu tidak ada hubungannya jika kau mati disini." Jawab Rangga.

"Cepatlah turun!" Rangga menarik lengan gadis yang badannya dipeluk dengan erat.

"Papa!!!" Teriak gadis itu.

Rangga mengacungkan pisaunya. "Cepatlah, aku tidak mau kerepotan."

Mereka pun turun dari keretanya lalu duduk tanpa sedikitpun melepaskan pelukannya. Si bos bandit pun datang menghampiri.

"Galan Archilles, dan Lily Archilles." Ucap pria bandana yang tak lain bos para bandit.

"Siapa mereka?" Tanya Rangga.

"Dia adalah Baron Galan Archilles, seperti yang kau tahu dia adalah bangsawan meskipun pangkatnya rendah."

"Lalu apa gadis itu adalah anaknya?"

"Begitulah."

"Bos, kayaknya bakalan untung banyak."

"Betul juga, kita bisa menyanderanya lalu meminta tebusan. Dan juga gadis ini pasti akan laku di pasar budak. Gua pengen tau gimana kalau anak penjual budak jadi budak. Keren kayaknya." Si pria bandana tertawa puas.

"Aku tidak peduli sih, tapi ku sarankan jangan biarkan mereka lari. Kalau mau menyandra, saat transaksi bawa kabur pria itu lalu bunuh. Jika kalian masih mau hidup." Saran Rangga

"Emangnya kenapa?" Tanya pria bandana.

"Kalian lawan prajurit tadi saja udah kewalahan, apa kau pikir saat transaksi mereka benar benar akan membayar? Yang ada mungkin kalian yang terbunuh." Jawab Rangga sambil memutar mutar pisau.

"Benar juga, kalau begitu bunuh saja dia." Perintah si pria bandana pada bawahannya.

Para bandit pun berusaha memisahkan Galan dan Lily. Mereka berdua terus berusaha melawan namun akhirnya terlepas juga. Pisau pun menggorok leher Galan didepan mata sang anak.

"PAPAAA!!!" Teriak Lily yang memberontak dari tangkapan para bandit.

"Jadi, mau kita apakan gadis ini?" Tanya pria bandana.

"Biarkan aku bicara dengannya. Kalian bereskan saja barang barang jarahan."

Lily pun dilepaskan. Rangga lalu membawa Lily pergi menjauhi kumpulan bandit.

"Apa aku akan mati sekarang?" Tanya lily dengan isak tangis ketakutan.

"A-apa a-aku akan m-ma-mati sek-arang?"

"Apa kau masih ingin hidup?" Tanya Rangga.

Lily tidak menjawab.

"Kuberi waktu untuk mejawab 5 detik. 1, 2, 3, 4..., 5."

"Yasudahlah." Rangga menusuk perut Lily dengan pisau.

"Aku sudah memberi waktu loh, itu salah mu sendiri." Rangga pun mengambil perhiasan yang dipakai olehnya lalu meninggalkan tubuh Lily dan pergi berkumpull kembali dengan para bandit.

"Mana gadis itu?" Tanya pria bandana.

"Sudah kubunuh." Jawab Rangga.

Pria itu terdiam sejenak, "begitukah?"

"Begitulah."

"Bos, disini ada banyak budak!" Teriak seseorang dari arah gerbong paling belakang.

Rangga dan pria bandana pun mendekatinya.

Didalam gerbong itu ada lima budak yang tangan, kaki dan lehernya terikat rantai. Semuanya wanita.

"Permisi sebentar, ada yang mau kutanyakan." Pinta Rangga.

"Apa kalian mau bebas?" Tanya Rangga.

"Apa maksud lu, hah?" Pria bandana tampak mengamuk.

"Tenang dulu sebentar."

"Jika kalian ingin bebas jawablah pertanyaanku."

"Ada banyak cara seseorang menjadi budak, contohnya tidak membayar pajak, imigran gelap, pelaku kriminal, tahanan perang, dan korban penculikan. Pertanyaanya, mengapa kalian biaa menjadi budak?"

"Suamiku telat membayar pajak, lalu kemudian para prajurit menangkap kami."

"Aku juga seperti itu"

"Aku mencoba mencuri perhiasan seseorang, dan ternyata dia adalah bangsawan."

"Aku hanya ingin menengok orang tuaku di kota ini. Karena itu aku menumpang di kereta pedagang. Namun saat pemeriksaan, aku tidak memiliki izin masuk dan jadilah seperti ini."

"Aku hanya mengambil roti di toko, kebetulan ada penjaga keamanan disana."

"Hmm, begitukah. Sepertinya itu salah kalian sendiri, niat baikku seketika menghilang setelah mendengar perkataan kalian. Jual saja mereka."

Para budak itu menundukkan kepalanya.

"Kayaknya persiapan udah selesai."

"kau mau ikut kagak?" Tanya pria bandana.

"Oke." Jawab Rangga.

Rangga lalu menaiki punggung kuda yang ditinggalkan pemiliknya.

"Aku belum pernah naik kuda, sih. Tapi kayaknya dijalan nanti bakalan bisa sendiri."

Beberapa kuda dituntun karena tidak ada yang menunggangi, dan gerbong yang digunakan bangsawan tadi ditinggalkan karena tidak ada yang membawanya, sebagai gantinya, barang barang di dalam gerbong tersebut dipindahkan ke gerbong lain.

"Hei bocah." Pria bandana mendekati Rangga dengan kudanya.

"Siapa yang kau panggil bocah, hah?" Rangga nampak kesal.

"Namaku Wilson, kau siapa?" Tanya pria bandana.

"Sepertinya tak masalah memberitahu namaku, mereka tidak akan berani berurusan denganku." Gumam Rangga

"Rangga, panggil saja diriku Rangga." Jawabnya.

"kau dateng dari luar negri kan?" Tanya Wilson.

"Tau dari mana?"

"Lu punya kalung penerjemah." Jawabnya.

"ada yang mau kutanyakan, gimana caranya kau masuk ke negara ini? Harusnya di gerbang ada alat pendeteksi pelaku kriminal."

"Ada alat kayak gitu ternyata. Apa aku harus mengikuti alur yang seperti yang dikatakan Shena?" Pikir Rangga.

"Aku masuk melalui jalur gunung." Jawab Rangga.

"Gunung? Gunung mana?" Tanya Wilson.

"Di dekat gerbang kan ada gunung, jadi aku mendakinya untuk masuk kesini."

"Maaf, tapi disekitar sini gak ada gunung." Jawab Wilson.

"Ha?"

avataravatar
Next chapter