2 Chapter 2

Dingin, gelap, dan gatal. Ferdi berbaring sambil memeluk lututnya. Ia kini berada di tempat yang hanya disinari sang rembulan. Mulai dari nyamuk, lalat, jangkrik, laba laba hingga kelabang bergiliran merayapi tubuh Ferdi. Ferdi tidak bergerak sedikitpun, ia sadar namun nampak tak peduli.

"Kenapa aku ada disini?" Gumam lelaki itu kemudian bangkit dari posisi tidurnya.

"Sudah malam yah, aku harus segera pulang."

"Pulang... Pulang kemana?"

"Kenapa aku harus pulang?"

"Kalau tidak pulang, aku akan dimarahi"

"Siapa yang akan memarahiku?"

"Kenapa aku harus dimarahi?"

"Lagipula, siapa aku?"

Pikiran Ferdi kosong. Segala pertanyaan terus bersahutan di benaknya. Ia hanya bisa melongo dengan tatapan kosong seperti otaknya telah tereset ulang. Secara perlahan tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Karena merasa tak nyaman terus diam di atas batu, Ferdi berjalan mengikuti insting. Tanpa bantuan bintang atau lumut, Ferdi terus melangkah maju sambil sesekali menepuk tubuhnya yang dihinggapi nyamuk.

Pada perjalan yang tanpa arah tersebut, Ferdi melihat seberkas cahaya dari tempat yang jauh. Ia pun berjalan mendekati cahaya itu, dekat dan semakin dekat hingga semakin tampak jelas. Ferdi bisa melihat seorang perempuan dengan rambut hitam yang terurai diselimuti oleh cahaya itu. Berniat untuk menyapanya, lelaki itu melambaikan tangannya sambil terus berjalan mendekat. Namun cahaya itu tiba tiba-tiba lenyap.

"Zer egiten ari zara hemen (Apa yang kau lakukan disini!?)" Perempuan itu tiba tiba-tiba berada di sampingnya lalu berbisik di depan telinga Ferdi.

Terkejut dengan kedatangannya yang sangat cepat, Ferdi mengibaskan tangannya lalu melompat menjauhinya

"Apa yang kau katakan?" Tanya Ferdi kebingungan dengan perkataan perempuan itu.

"ikusi al zenuen!? (Apa kau melihatnya!?)" Entah apa yang dimaksud perempuan itu, namun nampaknya ia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Noiztik zara hemen? (Sejak kapan kau ada disini?)"

"Maaf, tapi aku tidak mengerti ucapanmu" Ferdi perlahan mundur menjauhi perempuan itu.

"Zergatik zure ilea beltza da!? (Kenapa rambutmu berwarna hitam!?)" Tatapan perempuan itu berubah setelah mengamati tubuh Ferdi.

"Ezin diozu erantzun (kau tidak bisa menjawabnya?)" Perempuan itu mengangkat dagunya sambil melihat Ferdi dengan tatapan hina.

"Orduan, hil! (Kalau begitu, matilah!)" Perempuan itu melangkahkan kaki kirinya ke belakang sambil meletakkan tangannya di gagang pedang, pedang itu masih disarungkan dan tersimpan di pinggang kirinya. Ferdi merasa dalam bahaya, dengan segera Ferdi berbalik lalu berlari menjauhinya dengan sekuat tenaga

Dengan sekejap mata, perut Ferdi tertebas hingga perut bagian kirinya terpotong dan membuat usus dan lambungnya terurai. Lelaki itu sama sekali tidak merasakan apapun, Ferdi merasa telah menghindari pedang itu, namun setelah ususnya benar benar keluar dari dalam perutnya, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa, darah pun ikut mengalir melalui mulutnya. Ferdipun jatuh tersungkur.

"galduak? ez zaizu axola laster hilko zarela (Meleset? Sudahlah, lagipula sebentar lagi kau akan mati)" Perempuan itu tiba tiba menghilang dari pengelihatan Ferdi.

"Ahh... Apa apaan ini, apa aku melakukan suatu kesalahan?"

"Ini sakit, sangat sakit, sungguh sakit, super sakit"

Ferdi menekan perutnya agar tidak mengeluarkan banyak darah, perlahan tangannya melemas, ia tak mampu menahan perutnya lagi, lalu ia pun tidak dapat merasakan tubuhnya lagi.

***

Rangga berlari turun dari bukit, dengan pistol yang masih ia genggam di tangannya, Rangga mengamati pepohonan di sekitarnya. Rangga berhasil keluar tanpa perlu bertemu dengan harimau hitam tadi.

Kenapa?

Kenapa ada makhluk seperti itu di tempat ini? Padahal aku hanya ingin makan burung, lalu kenapa Ferdi harus terluka?

Apa itu salahku? Apa karena aku menembak harimau itu tanpa mengeceknya?

Apa karena aku mengajak Ferdi untuk berburu?

Harusnya aku tidak menembak harimau itu

Harusnya aku tidak mengajak Ferdi

Harusnya aku tetap sendiri saja

Rangga mencari kedai jus stroberi, karena kakek itu mengatakan memiliki firasat buruk, setidaknya ia bisa membantu Ferdi walau sedikit.

Rangga pun sampai di kedai jus itu, namun kedai itu tutup.

Rangga dengan keras menggedor pintu kedai itu dengan harapan si kakek bisa datang.

"Ada yang bisa kubantu, bocah?" Tanya kakek itu dengan senyuman tipis. Kakek itu keluar dari dalam kedai lalu duduk di lantai.

"Ada apa denganmu? Pakaianmu penuh darah, apa mungkin kau dapat banyak mangsa?"

"Tidak yah?" Kakek itu asal menebak.

"Jadi gimana? Apa yang kalian temui?" Tanya kakek itu.

"Entahlah, aku melihat harimau hitam bertanduk, aku sudah menembaknya namun sepertinya tidak mempan." Jawab Rangga

"Harimau hitam bertanduk... Hmmm... Ohh... aku ingat, lalu?"

"Lalu apanya?" Tanya balik Rangga.

"Apa kau bertemu yang lainnya?" Tanya kakek itu, "sepertinya tidak." Kakek itu langsung menarik kesimpulan.

"Tapi aku merasa ada dua yang melewati portalku" gumam kakek itu.

"Begitukah, hmm hmm" kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya seakan mengetahui sesuatu

"Oke, kalau begitu sekarang kau pergi, belilah pewarna rambut gelap, aku sarankan pilih warna merah. Lalu ambillah suatu barang berharga." Kata kakek itu.

"Barang berharga? Kau ingin imbalan yah? Padahal Ferdi sedang terluka, kau bisa meminta imbalan setelah menyelamatkannya." Jawab Rangga kesal.

"Terluka? Apa dia sudah meminum air yang kuberikan?" Tanya kakek itu lagi.

"Meminum air itu? Buat apa? Biar cepat mati?"

"Karena anak yang satu itu tidak terlihat keras kepala sepertimu, anggap saja dia sudah meminumnya, harusnya dia bisa pulang sendiri sekarang. Tapi karena mungkin dia melewati portalku, hampir mustahil kembali sendirian." ucap kakek itu lirih.

"Memangnya apa yang kau berikan pada Ferdi?" Tanya Rangga.

"Obat." Jawab kakek itu spontan.

"Lalu apa yang kau maksud portal?"

"Kau bisa tahu sendiri kalau melihatnya." Jawab kakek itu.

"Kenapa Ferdi tidak bisa kembali sendiri?" Rangga terus bertanya.

"Bagaimana bilangnya yah... Karena dia di pindahkan ke tempat lain, kau harusnya sudah familiar dengan kata portal, mungkin kau juga sudah paham sistemnya."

"Maksudmu gapura?"

"Bukan itu, bagaimana jelasinnya... Pokoknya anak itu sekarang sudah dipindahkan ke tempat lain, aku yakin itu."

"Kalau cuma dipindah, ia pasti bisa pulang sendiri. Ferdi tidak buta arah, loh." Pikir Rangga.

"Tidak mungkin, dia dipindah ke tempat yang tidak sama dengan kita, ditambah ingatannya telah terhapus." Jelas kakek itu.

"Apa maksudmu?" Rangga semakin tidak paham jalan pembicaraannya.

"Sudahlah, sebaiknya kau segera membeli pewarna untuk rambutmu dan satu barang berharga, aku tidak peduli barang apa itu, tapi kau harus membawanya." Suruh kakek itu.

"Baiklah aku paham, aku akan kembali setengah jam lagi." Rangga lekas meninggalkan kakek itu.

Sebenarnya Rangga memiliki banyak hipotesis, namun nampaknya itu percuma setelah mendengar perkataan kakek tadi. Banyak hal yang tidak ia pahami, namun setidaknya Rangga mengerti keadaan Ferdi.

Lelaki itu segera pergi ke area pasar yang sudah ia anggap seperti taman bermain. Rangga sudah hafal setiap belokan, gang, dan posisi tiap rumah karena ia merupakan langganan kejaran polisi. Rangga masuk kedalam gang gelap yang lembab bercampur dengan bau ikan. Beberapa serangga dan tikus nampak berjalan dari satu tempat ke tempat lain.

"Dari sini belok kanan, lalu lurus, naik ke atap lewat tiang listrik lalu lewati 7 atap rumah dan lompat ke koridor. Dari sana aku bisa turun dan di sampingnya ada toko, kalau tidak salah disana mereka menjual pewarna rambut. Dengan begini aku tidak akan terpantau CCTV" Gumam Rangga merencanakan langkahnya.

Ranggapun menambah kecepatannya, ia menaiki tiang listrik dan berlari di atas genteng layaknya ninja. Rangga melompat ke koridor sebuah apartemen di lantai dua dan segera turun dengan menjatuhkan dirinya.

Rangga segera masuk kedalam minimarket yang ia tuju. Rangga sudah sepenuhnya hafal posisi produk yang disediakan oleh toko ini. Rangga melihat keadaan lalu segera beraksi, ia langsung mendekati rak produk kecantikan dan mengambil sebuah cat rambut tanpa berhenti berjalan lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Setelah itu ia pergi ke rak makanan dan diam disana sambil menggaruk garuk kepalanya. Kebetulan disampingnya ada seorang pegawai wanita yang sedang merapikan barang barang.

"Anu, apa mie burung hantu rasa kari sudah ada?" Tanya Rangga pada petugas itu. Rangga tahu kalau do toko ini belum menyediakan produk yang ia minta karena produk itu baru di publikasikan dua hari yang lalu, ditambah toko ini kalah saing dengan toko toko serupa yang ada di dekatnya karena selalu kekurangan stok dan juga sering ketinggalan produk terbaru. Rangga sangat yakin toko ini adalah target yang sangat cocok.

"Maaf, kami belum menyediakan mie yang kakak minta. Bila perlu saya akan merekomendasikan mie ini karena banyak pemintanya." Pegawai itu memberikan saran agar konsumennya tidak kecewa.

"Tidak ada yah, sayang sekali, maaf sudah merepotkan." Rangga pergi keluar dari toko itu tanpa membeli apapun.

"Aku tahu apa yang ada dipikiranmu, mbak, kau pasti berpikir, Mungkin dia akan pergi ke toko sebelah, tapi kau salah! Diriku tidak perlu pergi ke toko sebelah karena aku tidak punya keperluan. Tapi tidak perlu khawatir, aku akan selalu menjadi langganan ditempatmu." Hati Rangga nampak sedang berselebrasi, namun wajahnya tetap berusaha untuk tetap terlihat kecewa.

Rangga sering melakukan ini setiap akhir pekan dengan muslihat yang berbeda setiap melancarkan aksinya. Lelaki itu selalu kegirangan setelah berhasil mencuri meskipun hampir seratus persen Rangga tidak pernah melakukan kegagalan saat beraksi. Ia pernah tertangkap basah oleh dua orang yang berbeda. Salah satunya Ferdi.

Rangga yang telah mendapatkan cat rambut sekarang pergi ke jalan tempat para pedagang asongan menjajakan dagangannya. Ia melihat penjual jam tangan di pinggir jalan yang sedang asyik dengan smartphone nya.

"Jam tangan... Okelah, mungkin bisa dibilang barang berharga. Aku tidak perlu melakukan tipu daya untuk jam itu, penjual yang sungguh ceroboh, kasihan sekali, turut berduka cita." Gumam Rangga sambil berjalan menuju si penjual. Ia pun jongkok sambil memilih milih lalu beranjak dari tempat itu dengan membawa jam tangan klasik.

"Seperti yang sudah kuduga, kau perhatikan barang daganganmu kalau kau memang berniat berjualam. padahal aku ingin main kejar-kejaran sebentar." Keluh Rangga setelah mendapatkan jam tangan tanpa perlu usaha lebih.

Rangga pun kembali ke kedai jus dengan membawa barang yang diminta.

"Cepat juga. Sudah dapat, kah?" Tanya kakek itu.

"Umm." Rangga mengangguk.

"Kau terlihat murung, kenapa?" kata kakek itu.

"Begitulah, tangkapanku kali ini terlalu mudah." Balas Rangga.

"Biasanya minimal ada yang mengejarku, padahal aku sudah mengambil senjata polisi tanpa sembunyi dari CCTV, tapi aku tidak melihat sarupun polisi yang berpatroli." Lanjutnya.

"Begitukah, karena itu kau datangnya cepat. Bukannya segera datang karena temanmu sedang dalam bahaya tapi karena tidak ada hambatan satu pun, begitukah? Padahal kau tadi sangat ingin cepat menyelamatkan temanmu itu, apa karena ada kegiatan lain lalu kau melupakannya? Apakah kau benar benar ingin menyelamatkannya karena dia temanmu? Apa karena ada rasa bersalah? Atau karena tanggung jawab? Sepertinya bukan."

Rangga diam.

"Apa yang ingin kau katakan pak tua?" Tanya Rangga.

"Entahlah, aku hanya ingin memastikan saja. Kenapa kau ingin menyelamatkan anak itu padahal dia tidak kau anggap teman? Kau akan dipindah ke dunia lain, loh. Untuk menyelamatkan orang yang bukan siapa-siapa. Apa kau sehat? Padahal tadi kau banyak bicara seakan kau orang pintar, tapi sekarang kau ingin menyelamatkan orang lain tanpa menggunakan otakmu. Aku ingin tertawa."

"Diamlah pak tua, otakmu tidak akan bisa mencerna pikiranku. Kau cukup pikirkan saja masa tua mu dengan otak pikunmu ini." Kata Rangga sambil menyentuh kening si kakek.

Kakek itu tersenyum, ia menarik tangan Rangga lalu menyimpan kedua jarinya di depan bola mata Rangga.

"Sepertinya kau tidak belajar sopan santun."

"Sudahlah, Warnai rambutmu sekarang, ratakan seluruhnya!" Suruh kakek itu sambil melepaskan Rangga.

Ranggapun pergi lalu mewarnai rambutnya, tak lama setelah itu ia kembali dengan rambut yang sudah berwarna merah tua.

"Hmm, ternyata kau cukup tampan dengan rambut itu."

"Tentu saja, aku sisakan untukmu pak tua. Mungkin saja kau ingin sedikit merasakan yang namanya masa muda"

Hari sudah mulai sore. Mereka pergi ke bukit dengan membawa sebuah senter. Rangga berjalan sambil mengecek isi peluru pistol. Pelurunya tersisa delapan buah. Mereka pun sampai saat matahari sudah hampir tenggelam.

"Seharusnya sekarang disana sudah pagi." Gumam kakek itu.

"Oi, pak tua"

"Kenapa? Apakah kau takut gelap? Nih, aku nyalain senternya." Goda kakek itu.

"Hah? Kau bercanda? Setiap malam aku hidup di tempat tanpa cahaya dan kau bilang aku takut gelap?"

"Kalau begitu baguslah."

"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Ferdi disana?" Tanya Rangga.

"Entahlah, aku hanya bisa yakin kalau dia meminum ramuan dariku"

"Semoga saja dia masih berada di dalam hutan." Lanjut kakek itu.

"Oi bocah, dimana kau meninggalkan temanmu itu?" Tanya kakek itu.

"Kalau tidak salah di sekitar sini" Rangga menuntun arah dan Kakek itu menyoroti jalan.

"Nah, ini." Rangga menemukan batu itu.

Kakek itu menghampiri batu itu lalu mengelusnya, "lama tak berjumpa." Sapa kakek itu pada batu.

"Ada apa, pak tua? Apa kau mulai gila?" Tanya Rangga keheranan.

"Tidak apa, sudah lama sekali aku tidak kesini." Jawab kakek itu.

"Bocah, bisa ku pinjam pistol mu?" Pinta kakek itu.

Rangga memberikan pistolnya. Kakek itu lalu berjalan sebentar lalu berhenti. Menengok ke kanan dan kiri lalu berjalan lagi dan kembali berhenti.

"Ternyata aku tidak membutuhkan ini." Kakek itu melempar pistolitu pada Rangga lalu berdiri menatap langit.

"Apa maksudmu? Kalau kau mau mati disini, aku tidak mau ikut ikutan."

"Aku tidak butuh pistol itu, kupikir monster kuat yang akan muncul, tapi ternyata cuma keroco lemah."

"Oke, dia datang." Kakek itu nampak tenang.

Harimau itu benar Benar datang. Ia muncul di hadapan kakek itu sambil berjalan mendekatinya. Si kakek pun ikut berjalan namun ia berjalan mundur mendekati batu besar yang dijadikan tempat istirahat Ferdi. Sementara itu Rangga memanjat pohon.

Kakek itu perlahan menaiki baru itu lalu berjongkok di atasnya seakan meremehkan harimau yang tepat berada di depannya.

"Oke, aku tidak mau berlama lama." kakek itu mengangkat tangannya setinggi bahu, lalu muncullah sebuah lingkaran hitam pekat yang lebih pekat dari bayangannya. Lingkaran itu mengeluarkan sebuah pedang panjang lalu lingkaran itu menciut lalu menghilang.

Kakek itu turun dari batu itu lalu menghampiri harimau yang sudah semakin dekat dengannya. Rangga hanya bisa menonton sambil tersenyum. Si kakek dengan cepat memenggal leher harimau itu dalam satu tebasan.

"Gini doang? Perasaan harusnya monster ini punya tubuh yang lebih keras. Tapi kenapa yah?" Gumam kakek itu.

Rangga turun dari pohon dengan wajah yang nampak ceria.

"Apa apaan tadi, sepertinya aku tadi melihat hal yang sangat luar biasa. Apakah itu hanya perasaanku? Atau mungkin kakek ini sedang melakukan pertunjukan?" Rangga memulai narasi sambil bertepuk tangan, "sesungguhnya diriku sangat terkejut melihatnya, ternyata pak tua sepertimu bisa memenggal hewan itu dengan satu tebasan. Ferdi saja tidak berkutik saat melawannya, padahal ia salah satu orang yang bisa menangkapku. Mungkin kau bisa menjadi orang yang bisa menangkapku."

"Diamlah, cepat naik ke batu itu, hari sudah semakin gelap, kau akan datang disana saat pagi. Kau akan kerepotan kalau bertemu penjaga disana." Jelas kakek itu.

"Penjaga? Tenang saja, tidak ada yang bisa menangkapku. Mau itu penjaga, polisi, tentara, atau presiden sekalipun tidak akan bisa menangkapku. Kesampingkan hal itu, aku penasaran bagaimana pedang itu bisa muncul. Aku tadi melihat lubang hitam lalu tiba tiba muncul pedang dan boom, kau bisa memenggal leher dalam sekali tebas. Boleh aku melihat pedang itu?" Pinta Rangga dengan ocehan yang memuakkan.

Kakek itu menodongkan pedangnya, "diamlah, atau lehermu akan terpotong." Ancam kakek itu.

"Uuu, menakutkan. Baiklah, aku akan naik."

"Jika kau bicara lagi aku akan menusuk otakmu."

Rangga mengangkat tangannya seperti sedang dituntun polisi. Ia menaiki batu itu lalu diam diatasnya.

Kakek itu mendekati batu itu lalu muncul lingkaran hitam itu lagi dihadapannya, ia pun memasukan pedang yang dipegang kedalam lingkaran itu lalu menghilang.

"Oke, ada yang ingin kau katakan?"

"Hmm, aku ingin tahu kenapa kau seperti memaksaku untuk pergi ke dunia entah apa itu. Padahal kau sendiri tahu kalau aku tidak menyelamatkan Ferdi sebagai temanku?" Tanya Rangga.

"Benar juga, aku memang memaksamu kesana. Aku punya alasan sendiri, tentu saja alasan itu tidak akan merugikanmu karena ini tidak ada hubungannya denganmu. Yang jelas kau ingin menjemput anak itu dan aku akan mengantarkanmu. Bisa dibilang ini adalah simbiosis mutualisme." Jawab kakek itu

"Aku tidak masalah kalau kau tidak mau mengatakan alasannya. Tapi setidaknya beritahu aku namamu karena kedatangan makhluk tadi pasti ada hubungannya denganmu. Setelah aku kembali biarkan aku memukul wajahmu."

Kakek itu terdiam, "nama? Huuh... Nama yah...?"

"Panggil saja aku Zitta." Jawabnya dengan wajah lesu.

"Zitta? Nama macam apa itu? Aku tidak ingat ada kakek kakek dengan nama keren itu, tidak, bukan keren tapi aneh. Aku tidak pernah menemukan kakek kaek dengan nama aneh macan kau." Balas Rangga menertawakan namanya.

"Sudahlah, kau akan pergi sekarang. Kau sudah beli sesuatu kan? Jual benda itu dengan uang agar kau bisa tetap hidup." Zitta mengingatkan.

Setelah percakapan mereka selesai, Zitta membuat lingkaran hitam di bawah kaki Rangga. Lingkaran itu memiliki diameter yang cukup untuk ukuran tubuh Rangga. Rangga pun terjatuh kedalam lingkaran itu.

"Oh iya, sampaikan ini jika kau bertemu dengan orang berambut hitam lain. Maafkan aku."

Lingkaran itu mengecil lalu menghilang.

avataravatar
Next chapter