1 Chapter 1

Selama kau masih hidup, kau bisa merubah semuanya

Kalimat itu selalu di pegang oleh Ferdi, selama kau masih hidup, apapun yang dialami saat ini, kau bisa merubah takdirmu di masa depan. Tetapi Ferdi tidak bergerak. Ia tak pernah sekalipun berusaha keluar dari kehidupan suramnya, bagi Ferdi, mengurus Ibunya adalah kewajiban terpenting untuk menggantikan posisi sang ayah, meskipun balasan yang didapat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sejak kecil, Ferdi tidak dapat bermain dengan anak seusianya. Putus sekolah di bangku kelas tiga SD bukanlah hal yang wajar bila tidak dibarengi dengan alasan yang bagus. Ibunya bukanlah orang tua yang overprotektif dimana segala sesuatu harus di awasi oleh orang tua. Ia hanya tidak ingin membayar iuran sekolah, bahkan tidak ingin membiayai kehidupan buah hatinya. Layaknya mesin penghasil uang, Ferdi dipaksa untuk bekerja di usia yang masih sangat muda, sementara Ibunya bersantai sambil menunggu setoran setiap malam. Bila hasil pekerjaan Ferdi tidak memuaskan, cambukan rotan dan makianlah yang didapatkan hingga Ferdi sudah terbiasa dengan hukuman yang diberikan, bahkan beberapa luka membekas secara permanen di tubuhnya

Sepeninggal sang Ayah, Ferdi yang berusia delapan tahun mulai menerima siksaan dari ibunya. Kehadiran Ferdi dianggap sebagai petaka yang membuat suaminya meninggal. Meskipun sejak awal Ia tidak terlalu memikirkan Ferdi, namun sepeninggal sang kekasih, Ferdi menjadi tempat pelampiasan emosinya. Ia sengaja membiarkan Ferdi tetap di tinggal di rumah agar citranya sebagai seorang ibu tidak berubah di mata keluarga dan tetangga sekitar.

Minggu, hari itu Ferdi bebas dari pekerjaannya. Sejak ia berusia 14 tahun, Ferdi mendapatkan pekerjaan sebagai buruh kasar dan mendapatkan upah yang cukup untuk menghidupinya dan juga ibunya. Terhitung sudah tiga tahun Ia bekerja sebagai buruh kasar, fisiknya kini bisa dibilang berbeda jauh dari remaja seusianya, bahkan Ia bisa melampaui orang dewasa.

Dengan mengenakan kaus merah dan celana training, Ferdi berangkat menuju pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Yo!" Seseorang dengan kaus hitam dan celana jeans yang sobek-sobek di bagian lututnya menyapa Ferdi sesaat setelah ia sampai. Ia sedang berbaring di atas tiga kursi yang di sejajarkan.

"Rangga, kau lagi nganggur kan?" Tanya Ferdi sambil terus berjalan tanpa melirik Rangga.

"Iya, mau apa?, Minta bantu?" Tanya balik Rangga sambil menebak pikiran Ferdi.

"Setidaknya kau bisa memintanya seperti ini," Rangga bangun dari posisi tidurnya lalu bergaya layaknya sedang berada di panggung drama."oh, Rangga yang agung, mohon bantulah hamba yang lemah ini. Dengan senang hati diriku akan membantumu"

"Hah?" Ferdi menengok sambil mengerutkan keningnya.

Rangga secara refleks menepuk tangannya ke atas kepalanya lalu membungkukkan badannya, "maafkan daku, tuan"

"Bawang putih 1 ons, bawang merah 1 ons, bawang daun 2 ikat, jahe 2000, kunyit 2000, lengkuas 2000, bayam 2 ikat, kol 1, merica 2 bungkus, cabe merah 1 ons, daging ayam 1 kilo, daun salam 2000, sirih 2000, kecap 2000, tepung terigu ¼ kilo, bumbu masak 5000, sisanya biar aku yang beli," pinta Ferdi menyebutkan barang barang yang ia butuhkan tanpa aba-aba.

"Padahal aku belum siap-siap, tapi tak apa lah, diriku telah mengingatnya dengan amat sangat baik." Ucap Rangga sambil membanggakan diri.

"Aku tunggu lima menit." Ferdi langsung berbalik berniat meninggalkan Rangga.

"Uangnya bos." Rangga menepuk pundak Ferdi.

Ferdi merogoh sakunya lalu memberi Rangga selembar uang melalui samping kanan lehernya tanpa berbalik, Ia pun pergi.

Rangga lekas pergi untuk memenuhi pesanan Ferdi. Dengan tubuhnya yang hanya setinggi bahu Ferdi, Rangga dengan mudah menyelip dari kerumunan pengunjung pasar, sebagai seorang pencuri yang berpengalaman, berjalan di dalam kerumunan orang adalah hal mudah.

Rangga pun kembali dengan menjinjing sebuah kantong kresek besar lalu duduk di kursi tempat ia berbaring tadi.

Sambil menunggu Ferdi datang, Rangga memakan cemilan yang ia bawa bersama dengan pesanan Ferdi.

Karena asyik sendiri dengan cemilannya, Rangga hingga tidak sadar kalau Ferdi telah ada di sampingnya.

"Woi! Bangsat, lagi makan apa?" Tanya Ferdi tepat di hadapan telinganya dilanjut dengan seringai yang sangat mencekam.

Terkejut dengan kehadiran Ferdi, Rangga sampai menjatuhkan cemilan yang sedang ia pegang berceceran ke tanah.

"Gantiin." Rangga nampak terlihat kesal dari raut wajahnya.

"Emang kau pikir kau jajan pake uang siapa? Hah?" Balas Ferdi berusaha memojokkan Rangga.

"Uang? Uang yang mana? Uang yang kau beri pas dan gak ada uang kembalian" Rangga berdalih untuk meyakinkan Ferdi.

"Begitu, kah?" Lirih Ferdi.

"Begitu lah." Di wajah Rangga terukir jelas perasaan lega hanya karena ia tersenyum di akhir kalimat.

Sebenarnya Ferdi tahu apa yang Rangga lakukan, tapi karena ia tidak terlalu peduli, Ferdi membiarkan Rangga puas dengan pekerjaannya. Rangga pun meminta pesanannya.

"Bawang ada, sayur pas, daging oke, bumbu cukup" gumam Ferdi sambil memeriksa pesanannya.

"Jadi, sekarang kau mau apa?" Sesuai dengan kesepakatan yang mereka sepakati sejak lama, setiap Rangga membantu Ferdi, Rangga akan meminta sesuatu untuk membayar jasanya. Minggu kemarin, Rangga meminta buku resep masakan meskipun ia tidak punya alat memasak.

"Sekarang aku tidak membutuhkan barang, tapi aku penasaran sesuatu. Kau tahu kan aku belum pernah masak, oleh karena itu, berbahagialah, karena dirimu telah ku ajak untuk mencari persembahan yang akan ku ubah menjadi mahakarya koki kelas dunia ini." Rangga kembali menuturkan perkataan puitis yang membuat Ferdi mual.

"Langsung saja ke intinya."

"Jadi gini, minggu kemarin kan kau beri aku buku resep masakan. Nah, sekarang akan ku coba merealisasikan ilmu yang kudapat dari buku itu. Kau tahu kan, kalau aku mengambil ayam dari lapak sebelah, itu pasti sangat merepotkan. Kau harus punya pisaunya, kau harus potong kecil-kecil, lalu rendam, rebus atau apalah. Itu terlalu merepotkan. Jadi, aku akan mencobanya menggunakan burung kecil, yang agak besar juga gak apa-apa sih, tapi kita prioritaskan saja yang kecil. Aku akan memasaknya dengan resep yang ada di buku. Kalau memasak burung, aku tidak perlu memotongnya, untuk bumbunya, aku bisa menguleknya di atas batu, lalu bakar. Simpel sekali bukan?" Jelas Rangga penjang lebar sambil memperlihatkan rasa penasarannya pada buku resep tersebut.

"Jadi, kau mau mengajakku berburu?" Ferdi mengambil kesimpulan.

Rangga pun tersenyum mengiyakan.

"Oke, itu tidak masalah, tapi bagaimana cara kita menangkapnya? Apakah kita harus mencari sarang burung lalu menangkap yang sedang tidur? Atau kita akan menjebaknya dengan makanan? Atau kita akan menggunakan ketapel? Setidaknya di zaman ini kita harus menggunakan senapan angin." Jelas Ferdi seakan menolak ajakan Rangga.

"Tidak masalah, aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Aku sudah mengambil sebuah pistol dan senapan dari pos polisi." Kata Rangga dengan membanggakan diri.

"Pistol? Yakin kau bisa tepat sasaran?" Tanya Ferdi ragu.

"Kau meragukanku?" Jawab Rangga.

Rangga dengan cepat menghabiskan cemilannya.

"Kelau begitu, kita berangkat saja sekarang" Ajak Rangga dengan penuh semangat.

"Baiklah, tapi aku bisa pulang sedikit kesiangan" Balas Ferdi mengiyakan.

Rangga pun pergi sebentar membawa perlengkapannya. Ia pun kembali dengan menyelendengkan senapan di punggung, dan menyimpan pistol di saku celananya.

"Mari!" Rangga berjalan terlebih dahulu.

Merekapun pergi dari daerah pasar. Mengikuti jalan utama ke arah barat, sambil berusaha menghindari kontak mata dengan polisi.

"Ngomong-ngomong, kita akan berburu di mana?" Tanya Ferdi penasaran.

"Disana" Rangga menunjuk ke arah depan, di sana ada sebuah bukit yang jaraknya dua jam dengan berjalan kaki dari tempat mereka berdiri.

"Huh" Ferdi menghela nafas panjang.

"Jangan mengeluh, kau punya fisik yang jauh dariku, atau mungkin kau tidak akan kuat? Kalau begitu aku tidak akan punya rival," goda Rangga.

Ferdi menghiraukan godaan Rangga. Ferdi yang terpaksa ikut dengan membawa belanjaan yang berat meskipun ia sudah terbiasa membawa beban, ia berhak untuk mengeluh karena ia tidak mendapatkan keuntungan atas apa yang dikerjakannya.

Ditengah perjalan, rasa bangga diri Rangga menghilang, Rangga sudah tak kuat berjalan lagi, tenaganya terbuang dengan ocehan yang tidak perlu. Ia sudah merengek minta istirahat sebentar.

"Fer, itu apa?" Tanya Rangga sambil menunjuk sebuah kedai.

"Mana?" Ferdi menyipitkan matanya.

Tempat yang di lihat mereka berdua adalah sebuah kedai jus.

"Jus stroberi segar berkhasiat." Rangga mengeja banner yang terpampang di depan etalase kedai itu.

"Beli yuk!" Ajak Rangga dengan wajahnya yang bercahaya.

"..."

Mereka berdua mendatangi kedai tersebut, lalu Rangga segera memanggil si penjual.

"Permisi!"

"Permisi!!!"

"Beliii"

"Beliii!!!"

Setelah beberapa kali dipanggil, datanglah seorang kakek dengan kepala yang sudah tertutup uban dan tubuh yang tegap menuju etalase yang berada di depang kedai.

"Jus stroberi dua gelas!" Pesan Rangga sambil menunjukkan angka dua di tangannya.

"Siap!" Kakek itu mengacungkan jempol lalu dengan segera menyiapkan peralatannya.

"Ngomong-ngomong, disini gak ada jus yang lain, yah?" Tanya Rangga penasaran.

"Gak." Jawab kakek itu.

"Pantesan sepi pembeli, kurang peminat ternyata." Celetuk Rangga di hadapan kakek itu.

Kakek itu hanya tersenyum.

"Kek, diriku punya saran untukmu. Gimana kalau kakek nambah varian rasa buat jus ini, contohnya bikin Jus stroberi rasa coklat, atau pake rasa buah-buahan lain, tapi bahan utamanya tetap strawberry." Saran Rangga.

Kakek itu kembali tersenyum, "kalau ditambah rasa lain, cita rasa buah stroberi nya akan berkurang. Justru saya sengaja hanya menjual jus stroberi karena saya menanamnya di belakang rumah." Jawab kakek itu sambil menyelesaikan pesanan.

"Kenapa gak nanem yang lain aja? Kayak buah durian atau pepaya." Rangga kembali bertanya.

Senyuman kakek itu memudar, "tidak apa-apa." Jawabnya.

Akhirnya dua gelas jus telah selesai dibuat. Rangga dan Ferdi lalu minumnya, terutama Rangga, dia sangat cepat menghabiskan minumannya.

"Bagaimana rasanya?" Tanya kakek itu.

"Untuk orang sepertimu, bisa dibilang ini lebih dari cukup" jawab Rangga Sedikit menghina.

"Enak, buah stroberi nya masih terasa segar." Puji Ferdi pada jus stroberi tersebut.

"Tentu saja, buahnya dipetik langsung dari pohon nya." Jawab kakek itu sambil tertawa.

Rangga yang sudah selesai minum berdiri dari duduknya, ia pun meregangkan tubuhnya seakan sedang pemanasan. Sementara Ferdi masih menikmati tiap tegukan jus itu.

"Ngomong-ngomong, kalian mau pergi kemana?" Tanya kakek itu memulai basa-basi.

Rangga tidak membalas dengan kata-kata, ia hanya menunjuk bukit tempat tujuan mereka. Rangga tetap melanjutkan pemanasannya.

Seperti sedang memikirkan sesuatu, kakek itu terdiam sejenak, "Mau ngapain?" Kakek itu kembali bertanya.

"Jangan banyak tanya, kau tidak lihat apa yang ada di punggungku? Ini adalah senapan. Kau tidak tahu senapan? Wajar saja, orang tua mana tau yang kayak ginian." Jawab Rangga sambil mengejek kakek itu.

"Singkatnya, kalian mau berburu di bukit itu?" Tanya kakek itu memastikan.

"Yoi." Rangga membenarkan.

"Saya sarankan kalian lebih baik pulang, jangan pergi ke bukit itu, saya merasakan firasat buruk" saran kakek itu memperingatkan.

"Tenang saja, saya kebal firasat. Suatu hal yang belum pasti tidak dapat dijadikan acuan." Rangga berargumen dan tentu saja sambil membanggakan dirinya."

"Kakek itu mungkin benar, ucapan orang tua pasti punya maksud tertentu." Bujuk Ferdi pada Rangga.

"Diam kau, lanjutkan saja tugasmu untuk menemaniku. Lagipula ini salahmu karema memberikan buku resep"

"Hah? Bukannya kau yang minta?" Ferdi terlihat kesal, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Rangga dalam sekejap menutup mulutnya.

Kakek itu meninggalkan Rangga dan Ferdi masuk kedalam. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah botol kaca kecil berisi cairan berwarna merah.

"Apa itu?" Seperti melihat keanehan alam, Rangga mencondongkan tubuhnya sambil terlihat fokus dengan cairan di dalam botol itu.

"Sepertinya itu pewarna untuk jus ini, entah mengapa aku menyesal telah meminum jus imitasi ini." lanjut Rangga sambil memegang dagunya.

"Ambil ini." Kakek itu menyodorkan botol itu pada Ferdi.

"Buat apa kita ambil? Isinya pasti pewarna atau perisa stroberi. Kita tidak butuh yang kayak gitu. Apa kau pikir kita bisa mendapatkan mangsa dengan pewarna macam ini?" Tolak Rangga mentah-mentah.

Sebenarnya Ferdi ingin bertanya tapi perkataannya selalu didahului oleh Rangga.

"Saya yakin anak muda seperti kalian sulit untuk diatur karena saya juga pernah muda, oleh karena itu, bawa saja ini untuk berjaga-jaga." Kakek itu menggoyang-goyangkan tangannya agar botol itu segera diambil, "ambillah."

Ferdi mengulurkan tangannya berniat mengambil botol itu dari tangan si kakek, "baiklah," ucapnya.

"Kau tidak perlu mengambilnya, Fer." Rangga menarik lengan Ferdi.

Ferdi menoleh kearah Rangga, "Kenapa?" Tanya Ferdi bingung

"Apa yang akan kau lakukan dengan cairan itu? Apa kau akan meminumnya? Apa kau akan menyiramkan air itu ke tubuhmu untuk berpura pura mati? Apa cairan itu bisa dijadikan alat untuk berburu? Benda itu tidak akan berguna untuk kita." Jelas Rangga menolak cairan itu.

"kau keras kepala dasar bocah! Ambil saja ini, tidak usah banyak tanya." Kakek itu kesal sampai-sampai uratnya menonjol dari keningnya dan lehernya.

"Bocah? Siapa yang kau panggil bocah, sialan? Asal kau tahu hidupku lebih lama daripada kau dasar bau tanah!" Amuk Rangga tak terima disebut bocah.

"Berisik! Diamlah!" Ferdi ikut naik darah.

Seketika mereka berdua terdiam. Ferdi lalu mengambil botol itu.

"Botol ini akan ku ambil, aku tidak tahu apa gunanya, tapi setidaknya kalian bisa diam."

"cih!" decih Rangga.

Ferdi segera menghabiskan jusnya, ia lalu berdiri. "Rangga, kita pergi sekarang."

"Oke!" Sahut Rangga sambil meregangkan otot-otot kakinya.

"Kalau ada sesuatu, datang saja kesini." kata kakek itu.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, maaf karena anak ini sudah merepotkan mu." Pamit Ferdi sambil menunjuk ke arah Rangga

"Tidak apa-apa, saya sudah sering bertemu anak sepertinya." Balas kakek itu.

"Sering? Jadi kau pikir aku orangnya pasaran? Asal kau ta—" Ferdi dengan cepat menutup mulut Rangga.

"Kami permisi dulu." Ferdi pun membungkukkan badannya sambil memegang kepala Rangga, lalu pergi meninggalkan kedai jus itu.

Mereka pun pergi setelah beristirahat cukup lama di kedai jus strawberry. Rangga yang sudah terlihat segar memimpin perjalanan seperti sedang memimpin pasukan tentara Inggris.

Mereka pun sampai di bukit dengan pepohonan rimbun, saking rimbunnya, cahaya matahari enggan menyentuh tanah hingga tanah dan udaranya terasa lembab.

"Jadi, burung apa yang ingin kau buru?" Tanya Ferdi.

"Entahlah, yang penting burung itu mudah dimasak dengan peralatan minimalis".

Mendengar jawaban Rangga, Ferdi merasa menyesal telah menemani Rangga. Jauh jauh datang ke bukit, ternyata Tidak memiliki tujuan yang jelas.

"Sudahlah, aku tidak memeiliki target khusus untuk diburu, selama itu burung kecil yang akan mudah di masak, aku akan menembaknya" Jelas Tangga.

"Kau mau nembak pakai pistol kan? Kalau targetnya burung kecil, mungkin tubuhnya akan meledak. Kau tidak akan dapat memakannya".

"Tinggal bidik kepalanya, tubuhnya tidak akan hancur." Jawab Rangga sambil menodongkan pistolnya secara acak seakan sedang membidik sesuatu.

"Hehhh." balas Ferdi meragukan perkataan Rangga.

"Kalau begitu, aku akan naik ke atas sana," Rangga menunjuk sebuah pohon yang batangnya terlihat lebih besar daripada pohon sekitarnya "kalau aku diam disana jarak pandangku lebih luas, tentu saja bidikanku akan lebih tepat sasaran".

Rangga lekas menaiki pohon itu lalu mencari dahan yang diameternya lebih lebar dan duduk di atasnya. Iapun mengayun-ayunkan kakinya untuk mengetes kekuatan dahan itu.

"Aku sembunyi disana yah" Ferdi menunjuk ke arah semak-semak lebat yang ada di depannya.

"Tunggu," Ferdi mengurungkan niatnya, ia melihat semak semak itu bergoyang. "Rangga, coba tembak ke arah sana, sepertinya disana ada sesuatu, lumayan kalau disana ada ayam atau kelinci." Suruh Ferdi.

"Kalau isinya ayam atau kelinci, aku gak bakal bantu masak, kirim aja yang sudah jadi ke tempat biasa." Rangga membidik ke arah semak semak itu.

"Kanan dikit,ke bawah sedikit, atas atas, sip" Ferdi memberi arahan, Rangga lun mengikuti arahan tersebut.

"DOORR!!!" Rangga menembak sambil disusul seringai yang terlihat dari bibirnya.

"Lihatlah betapa hebatnya dir–"

"Goarrr!!!" Selebrasi Rangga terhenti karena dari dalam semak terdengar suara auman entah dari binatang apa.

Dari dalam semak-semak itu, keluarlah seekor kucing besar berwarna hitam yang bertanduk putih.

"Makhluk apa itu?" Tanya Rangga.

"Kalau kita jual ke laboratorium atau kebun binatang aku pasti kaya, aku tidak perlu tidur di pasar lagi." Ide gila muncul di pikiran Rangga untuk menangkap hewan itu.

"Itu harimau, sudah jelas itu harimau, aku tahu makhluk itu berbeda dari harimau biasa, tapi tidak mungkin kita bisa menangkapnya dengan mudah" tubuh Ferdi bergetar ketakutan, perlahan ia mundur menjauh dari harimau itu.

"Ayolah, tubuhmu pasti bisa membanting harimau itu sekali hantam. Lihat saja sendiri, harimau itu terlihat lebih kecil dari harimau biasa mungkin saja sedang dalam masa pertumbuhan ditambah tadi ia tertembak, dengan kata lain ia sekarang dalam keadaan lemah. Kau bisa menangkapnya dengan mudah" Rangga menyerahkan harimau itu pada Ferdi dengan penuh percaya diri.

"Tidak, ini mustahil" Ferdi terus mundur menjauhi harimau itu sementara harimau itu berjalan mendekati Ferdi.

Ferdi dengan cepat membalikkan badannya lalu berlari, tetapi harimau itu ikut berlari mengejar Ferdi. Harimau itu semakin mendekati Ferdi, ia belari semakin dekat, dekat dan dekat hingga jaraknya tidak lebih dari satu meter, harimau itu mengayunkan cakar depannya lalu merobek betis Ferdi yang sedang berlari hingga ia terjatuh.

Rangga yang tadi meremehkan harimau itu, kini ia hanya terdiam melihat Ferdi yang sedang berada dihadapan maut. Kini tubuh Rangga ikut bergetar, perlahan ia mengangkat pistol itu, diarahkannya pada harimau yang ada di hadapan Ferdi.

Peluru melesat menuju tepat pada paha harimau itu, harimau itu mengaum dan menoleh ke belakang mencari asal dari tembakan yang mengenai pahanya. Sementara harimau itu sibuk mencari asal tembakan, Ferdi yang betisnya tercakar tidak bisa berlari, iapun merangkak menjauhi harimau itu lalu berbalik sambil menodongkan senapan yang sejak tadi ia selendangkan, ia pun menekan pelatuknya.

Ferdi terus menerus menarik pelatuknya, tetapi tidak mengeluarkan satupun peluru.

"WOY BANGSAT!!! MANA PELURUNA?" Teriak Ferdi sambil terus menekan pelatuk itu dengan cepat. Ia nampak gelisah, keringat dingin keluar dari seluruh are tubuh Ferdi hingga membasahi pakaiannya.

"Mana kutahu! Aku tidak mengecek isinya" Jawab Rangga yang terkejut kalau senapan yang dibawa Ferdi tidak berisi.

"Lari!!!"

Ferdi berusaha berdiri dengan tenaga seadanya, ia berusaha menjauh dari harimau itu namun naas, harimau itu kembali menoleh kedepan karena gerakan Ferdi. "Arrgghh!" Harimau itu mencakar punggung Ferdi agar tidak dapat kabur.

"WOY!!!" Rangga berteriak menatik perhatian sang harimau, ia pun menembakkan peluru itu lagi ke arah matanya. Harimau itu mengamuk namun Rangga kembali menembak ke arah lehernya. Dengan tembakan tersebut harimu itu sedikit menjauh dari Ferdi, Ferdi lalu berguling menjauh sementara Rangga terus menembakinya dua kali hingga harimau itu kabur dari mereka berdua.

"Ferdi, kau masih hidup?" Tanya Rangga memastikan.

"Ahh" sahut Ferdi sambil mengangkat tangan dengan jempol yang mengacung.

Rangga lekas turun dari pohon lalu membopong Ferdi ke arah berlawanan dari tempat Harimau tadi. Mereka mencari tempat aman untuk memulihkan diri meskipun Ferdi nampak tidak mungkin di selamatkan. Merekapun menemukan sebuah batu besar yang di bagian atasnya nampak rata, batu ini cukup untuk berbaring satu orang. Rangga mengangkat Ferdi ke atas batu itu lalu membaringkan tubuh Ferdi.

"Tunggulah disini, aku akan segera mencari bantuan." Rangga dengan cepat pergi meninggalkan Ferdi.

Ferdi tidak membalas perkataan Rangga, tubuhnya sudah tidak kuat untuk bergerak. Ia mulai merasakan sakit di lukanya, darahnya sudah hampir habis terbuang. Ferdi teringat dengan botol yang diberi si kakek penjual jus tadi. Ferdi tidak tahu apa manfaatnya, tetapi ia merasa harus meminumnya. Dengan sisa tenaganya, Ferdi merogoh kantong celananya dan mengambil botol itu lalu meminumnya.

Perlahan tubuh Ferdi melemas, tenaganya sudah habis sepenuhnya. Kulitnya sudah tidak bisa merasakan tanah, pikirannya tidak bisa membedakan mana atas dan bawah, nafasnya melambat, dan pengelihatannya memburam.

"Apakah ini yang namanya kematian?"

"Apa yang akan ku jalani setelah mati? Apa aku akan naik ke surga?"

"Bagaimana reaksi ibu saat tahu kalau aku mati? Apa mungkin ia akan mulai bekerja sendiri? Apa dia bisa bekerja? Aku harus cepat pulang, ibu pasti marah karena aku terlambat pulang, sepertinya aku tidak akan mendapat jatah makanan hari ini"

"Apakah Rangga sudah membawaku keluar dari hutan ini? Atau mungkin tubuhku sudah habis dimakan harimau tadi?"

"Ya Sudahlah"

avataravatar
Next chapter