1 Hanya Aku dan Kamu

Gadis kecil itu menatap anak-anak yang berlarian gembira di tepi pantai. Sesekali tawa mereka meledak, ketika ombak dengan buih putih menerpa tubuh mereka. Senyum gadis itu bergulir di bibirnya yang mungil.

Ingin sekali dia ikut berlarian dan berkejaran dengan ombak bersama teman-temannya. Bagaimana tidak? Ini hari istimewa kelasnya. Berwisata untuk perpisahan setelah tiga tahun berjuang dengan segala tugas sekolah, sebelum mereka akan melanjutkan studi ke jenjang lebih lanjut, SMA, memasuki dunia remaja dan masa dewasa. Tetapi ada yang memaksa dia memilih tetap duduk manis di bawah pohon rindang di tepi pantai itu.

"Kamu tidak ikut main dengan mereka, Yuana?" Terdengar suara seorang di belakang gadis kecil itu. Yuana menoleh.

"Nggak. Lagi malas. Lebih asyik duduk di bawah pohon. Sejuk rasanya. Di pantai panas, menyengat kulit. Ga seru kalau pulang kulitku belang," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Itu hanya alasannya. Sedih juga kehilangan momen manis bersama teman-temannya. Apalagi bermain dengan Manfred, terlebih lagi Bobby, kedua sahabatnya. Tapi karena Niar, dia lebih baik di sini. Niar tidak suka padanya. Selalu saja memusuhinya. Yuana enggan berada di sekitar gadis itu. Dia tidak mau hari terakhir bersama teman-teman akan jadi kenangan yang tidak menyenangkan.

"Atau karena Niar?" Yani, gadis itu duduk di sebelah Yuana.

"Niar?" Pelan Yuana berucap.

"Ya, sudah rahasia umum kamu dan Niar sering tidak akur." Yani memandang Yuana.

"Aku ga pintar cari asalan, ya?" kata Yuana.

"Itu karena kamu selalu mengalah soal Niar." Yani menyenggol lengan Yuana. "Kamu terlalu baik."

Yuana tersenyum lagi.

Seorang anak laki-laki yang mulai tumbuh tinggi dengan wajah tampan berlari-lari kecil mendekati Yuana dan Yani yang asyik meneruskan obrolannya.

"Hai! Yuan! Ayo ikut!" ujarnya dengan nafas masih terengah-engah. Rambut, wajah dan tubuhnya basah karena air laut. "Rugi ga ikut, seru banget, kali!"

"Aku ingin sekali, Bob. Tapi kamu tahu Niar, kan?" Yuana hanya mengangkat bahu.

"Kamu ngalah terus sama dia." Bobby sambil maju tiga langkah lebih mendekat.

"Dia suka kamu, Bob." Yuana tersenyum tipis.

" Aku suka kamu, bukan Niar." Cepat Bobby menyahut.

"Dia ga peduli itu ..."

"Kita sudah lulus, Yu. Niar ga mungkin diterima di SMA yang kita daftar. Nilainya payah dia," ujar Bobby. "Aku, kamu, Manfred, pasti lolos."

Yani sepakat dengan Bobby, dia acungkan kedua jempolnya.

"Ini hari terakhir Niar bareng kita. Setelah itu tidak ada Niar. Kita akan sama-sama terus, hanya aku dan kamu." Bobby memandang Yuana.

"Aihh, ini sudah adegan khusus, aku melipir saja." Yani berdiri, berlari menuju pantai bergabung dengan teman-temannya.

"Kita buat momen hari ini, Yu, ga bakal terulang." Bobby masih membujuk agar Yuana bersedia ikut dengannya.

Saat itu gadis tinggi dengan rambut kecoklatan sepunggung berjalan cepat-cepat mendekati Bobby dan Yuana.

"Bob, renang lagi, yuk! Makin seru, nih!" Dengan manja Niar menarik lengan Bobby.

"Aku capek, Niar," tolak Bobby. Dia ingin tetap bersama Yuana.

"Ah, ayo! Manfred juga nunggu di sana." Niar menarik Bobby lebih keras. Terpaksa cowok berambut lurus itu mengikuti Niar.

"Aku ke Manfred dulu, Yu!" Bobby melambai pada Yuana.

"Niar, aku merasa kamu ga akan berhenti. Kamu akan terus ada di antara kami," batin Yuana.

Sedih juga memikirkan itu. Tapi itu sangat mungkin buat Yuana.

*****

Yuana masuk ke ruang makan. Suaranya tak bersemangat. Papanya sedang ada di sana, duduk sendirian. "Sore, Pa."

"Baru datang?" ucap Prastama Hardani. Pria itu menoleh sekilas lalu kembali memperhatikan buku di tangannya.

"Ya. Mama mana?" Yuana mengambil air dingin di kulkas.

"Belum pulang," jawab Prastama datar.

"Kak Yo?" Yuana menanyakan kakaknya.

"Barusan keluar." Lagi jawaban datar yang terdengar.

"Papa sudah makan?" tanya Yuana. Prastama masih sibuk dengan bukunya.

"Lagi malas. Aku cuma ambil minum." Prastama kembali menjawab tanpa memandang putrinya.

"Aku temani, Pa ..."

"Kamu makan saja." Prastama meninggalkan ruang makan. Yuana menatapnya. Papanya pria yang gagah dan cukup tampan. Umurnya memang mendekati setengah baya, tapi masih terlihat keren.

Beginilah rumahnya. Selalu sepi, dingin, tak ada keceriaan. Semua penghuni rumah ini saling cuek. Seperti orang tinggal di hotel yang tidak saling kenal. Papa mama sibuk urus bisnis masing-masing. Bersaing dalam pekerjaan mereka. Tak jarang mereka ribut di rumah, bertengkar soal urusan kantor. Prastma ingin meunjukkan dia lebih berkuasa sebagai suami. Evaline tidak mau kalah, meski perempuan tidak ingin diremehkan.

Waktu kecil Yuana tidak paham apa yang terjadi. Yang dia tahu papa mama pasti sayang padanya. Dia tidak pernah kekurangan apa-apa. Semua yang dia perlukan dia dapat dengan mudah. Makin dia remaja Yuana mulai sadar apa yang terjadi antara papa mamanya.

Yuana makin tidak kerasan di rumah. Selama ini dia pendam semua rasa sedih, kecewa, dan marah karena situasi itu. Yoel Malvian, kakaknya juga tak mau peduli padanya. Lambat laun dia benci keluarga ini.

Yang makin membuat dia marah, Yoel selalu melarang dia pergi kalau malam hari, apalagi malam minggu. Jika Yoel marah, dia sangat kasar. Kadang Yuana takut pada Yoel.

Yoel pernah menampar Yuana sampai pipinya memar gara-gara Yuana ikut nonton Bobby dan Manfred, pulang di atas jam tujuh malam. Yuana hanya bisa menangis meratapi kepedihannya. Dia tuangkan dalam diary dan doa.

"Non, ga makan?" Mbak Ira, pembantu keluarganya mendekati Yuana.

Yuana menoleh. "Nggak pingin makan. Malas."

"Dikit aja, Non, ntar sakit perut lagi," bujuk Ira. Dia menelusuri rambut Yuana yang panjang dan halus dengan jari-jarinya.

"Baiklah, tapi temani aku, ya?" kata Yuana.

"Iya, Mbak temani." Ira tersenyum.

Akhirnya mereka makan malam bersama. Ira dekat dengan Yuana. Sering Yuana cerita tentang sekolahnya, teman-temannya. Dengan sabar Ira mendengar Yuana bercerita.

Ira baru dua puluh lima tahun, tapi dia sangat dewasa. Dia sayang sama Yuana. Sejak kerja empat tahun lalu di rumah ini, Ira jatuh hati dengan Yuana. Karena mengingatkan dia pada adiknya di kampung. Selain itu Pak Hardani membayar Ira dengan lumayan tinggi. Tidak gampang dia cari kerja dengan bayaran seperti di rumah ini. Apalagi pendidikannya tidak tinggi. Misal bisa kuliah, Ira pasti bisa kerja lebih baik.

Setelah makan, membantu Ira membereskan meja makan, Yuana naik ke lantai dua ke kamarnya. Dia membuka jendela dan melihat keluar. Jalan perumahan depan rumah sudah sepi. Di langit bulan hanya separuh dan bintang-bintang gemerlap indah. Yuana memandang ke langit.

"Ya Tuhan, langitmu begitu bagus. Cantik. Andai begitu juga hidupku," bisik Yuana.

"Kenyataannya di rumah ini ga ada kasih buat aku. Ga ada yang mau perduli. Aku rasanya ga tahan. Kalau bisa aku mau pergi dari semua ini. Apa seperti ini yang namanya keluarga?" Yuana mendesah. Hatinya gundah.

Terdengar suara motor mendekat. Yoel! Yuana menutup jendela lalu duduk di tempat tidur.

"Peduli amat. Yang penting aku ga nyusahin siapapun. Aku, akan lakukan apa yang aku mau. Jika mereka ga peduli, apa untungnya aku sedih karena mereka?" ucap Yuana dengan marah. Hatinya sudah panas seperti bara yang siap menyala dan membakar sekitarnya.

avataravatar
Next chapter