webnovel

Janji

"ARVIIIIIIIIIIIIIIIIIIN." Teriaknya tiba-tiba duduk di sampingku.

Aku menoleh dengan malas, kemudian lanjut membaca manga di handphoneku.

"Lagi ngapain?" Tanyanya penasaran,mencoba melihat handphoneku. Aku berusaha menutup-nutupinya.

"Pelit banget, sih." Ucapnya mendengus, kesal.

Aku tak memperdulikannya, masih fokus dengan handphoneku.

"Eh kok semalem gak balas chat gue?"

"Terus kenapa nomor lo menghilang gitu aja di kontak gue?"

"Lo blokir gue, ya?"

"Iya," jawabku jujur.

"Yah, kenapa?" Wajahnya manyun, sedih.

Aku menghela napas, untuk tetap bersabar. Aku menolehnya. Baru menyadari, ternyata hanya kami berdua yang duduk di barisan depan.

Mendengar suara keributan, aku menoleh ke belakang. Teman-teman kelas, sibuk masing-masing. Para perempuan duduk merapat membentuk lingkaran, fokus mendengar pembicara seakan sedang bergosip. Para laki-laki fokus memainkan handphone, sambil berteriak heboh, ternyata bermain game. Aku terkagum-kagum. Baru satu hari kenal, mereka sudah sangat akrab. Andai aku seperti mereka.

Aku mengalihkan padangan pada gadis di sampingku. Alisnya menaik-naik seakan memintaku segera menjawab pertanyaannya.

Aku menatap lekat wajahnya yang cantik itu. Kelopak mataku terangkat, aku baru menyadari, gadis ini adalah gadis yang memanggilku lewat video call Whats App dan spam chat padaku semalam. Kalau tidak salah nama kontaknya, 'Ayrine'. Aku sangat terpesona dengan foto profilnya yang sangat imut.

Aku memalingkan wajahku dengan cepat, jantungku mendadak berdebar-debar. Namun, aku tetap bersikap biasa saja.

"Lo dapat nomor gue dari mana?" Tanyaku, tanpa melihatnya. Mustahil jika dia mendapatkan nomorku dari grup kelas. Sedangkan aku sendiri tak dimasukkan di grup kelas.

"Grup Mahasiswa-Mahasiswi baru Universitas Indonesia angkatan 2019." Jawabnya lengkap, tersenyum lebar.

Aku menyipitkan mataku, kesal. "Sudah kuduga," batinku.

Gara-gara masuk ke grup itu, setiap malam aku selalu diteror dengan kata-kata puitis para gadis. Bahkan ada yang menginginkanku menjadi pacarnya. Aku hampir gila.

Jika keluar dari grup itu tak mendapatkan sanksi, mungkin sudah lama tak ada lagi nomor-nomor nyasar yang tak berkesudahan menghubungiku. Mereka tak lain gadis-gadis satu angkatan di Universitas ini denganku. Mereka mengaku, sangat mengidolakanku.

"Jadi, kenapa lo blokir gue?" Tanyanya lagi.

"Gue gak kenal sama lo," jawabku apa adanya.

"Lo gak kenal gue?" Ujarnya terkejut, matanya membulat.

"Lo gak perhatiin gue, perkenalan di situ kemarin?" Lanjutnya menunjuk ke arah depan.

Kemarin, aku memang tak memperhatikan setiap orang yang memperkenalkan dirinya. Aku sibuk sendiri, mencoret-coret tak jelas kertas binderku. Tapi aku melihatnya sekilas, ketika ia mengatakan kalau dirinya seorang Kristiani.

Aku menggeleng, pura-pura tak tahu apa-apa tentangnya.

Kedua pipinya mengembung lucu,matanya menatapku penuh kekesalan.

"Yaudah, nih."

Kedua alisku terangkat. Aku terdiam,melihat tangannya yang terulur padaku.

"Namaku Clayrine Christa Beryl, panggil saja aku, Ayrine."

Aku memandanginya sesaat, kemudian mengambil tasku dan keluar dari kelas. Sudah dua jam menunggu di kelas, dosen tak kunjung datang.

Aku tak ingin meraih tangannya tadi, karena tanganku sudah basah berkeringat dingin. Aku memegang dadaku, jantungku masih berdegup kencang dan nyaris copot. Aku sangat gugup.

Ketika SMA dulu, aku selalu cuek didekati perempuan-perempuan. Tapi kali ini, aku tak seperti biasanya. Ada apa denganku?

Aku terus berjalan di koridor kampus yang tak terlalu ramai. Aku mendadak menghentikan langkahku, mendengar suara langkah sepatu berlari di belakangku.

"ARVIIIIIIIIIIIIIIIIIN."

Aku tersentak, terkejut mendengar suara cempreng itu lagi. Ia tiba-tiba datang dan mencengkram kuat lenganku.

"Huh, sorry. Gue diam-diam ngejer lo, huh." Ucapnya ngos-ngosan, membungkuk. Memegangi kedua lututnya yang terasa ngilu.

"Lagian, lo kenapa kabur?"

"Lagian, lo kenapa ngikutin gue?" Balasku, bertanya balik.

Ia mengkat setengah tubuhnya, menghela napas lirih. Napasnya sudah kembali teratur, ia menatapku dengan mata teduh.

"Lo gak mau temenan sama gue, karena gue kristiani?"

Aku menggeleng cepat. Sama sekali tak pernah terlintas dipikiranku, tak ingin berteman dengan orang yang berbeda agama denganku. Aku menerima siapapun yang ingin berteman denganku. Hanya saja, orang-orang yang segan berteman denganku. Karena sikapku yang tak ramah, mungkin.

"Terus?"

Aku membalikkan tubuhku, membelakanginya. Aku menghela napas, terdiam sesaat.

"Kau boleh berteman denganku."

"Serius?" Matanya membulat dan berbinar-binar, tak percaya.

Aku mengangguk.

"Yeeessss," teriaknya kegirangan sambil melompat-lompat bahagia.

"Makasiiiiiih Arviiiiiiin," ucapnya spontan memelukku leherku.

Bagai tersengat aliran listrik, tubuhku menengang. Mataku terbebelak, jantungku kembali berdebar-debar. Ternyata seperti ini rasanya dipeluk seorang gadis.

Aku melepaskan pelukannya dengan cepat, tak ingin dia menyadari kegugupanku. Aku memalingkan wajahku yang memerah.

"Eh, maaf." Ucapnya tercengir tak enak hati, seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Aku berdehem singkat, kemudian melanjutkan langkahku.

"Eh, lo mau ke mana?" Dia cepat-cepat mengikutiku, menyamakan langlah dan berjalan beriringan denganku.

"Kantin," jawabku singkat.

"Aku ikut ya."

"Pleaseeeee!" Sambungnya, matanya berbinar-binar memohon.

Aku terdiam sejenak, kemudian mengangguk dan menolehnya.

Ia berteriak bahagia lagi. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis melihatnya yang begitu ceria.

Mata yang cokelat menyipit bagaikan garis ketika tertawa. Hidung mancungnya membuatku gemas, ingin rasanya kutarik sampai memerah. Bibirnya yang mungil, menghilang begitu saja ketika ia tersenyum lebar. Pipi tembem yang kemerah-merahan, bukan hasil polesan, tapi asli dari kulit putih pucatnya. Rambut hitam panjang yang lurus terurai, dengan poni menutupi alisnya. Tubuhnya pendek, membatasi dadaku.

Ia sangat imut, seperti gadis-gadis Jepang di anime yang kutonton setiap malam. Aku lagi-lagi memalingkan wajahku, tak ingin semakin terpanah dengan kecantikannya.

"Mulai sekarang gue akan selalu ada di samping lo, dan lo jangan tinggalin gue. Janji!" Ia menunjukkan jari kelingkingnya padaku.

Aku menghentikan langkahku, melihat jari kelingkingnya. Kutatap wajahnya, ia tersenyum dengan rahang terbuka.

Aku menelan saliva susah payah, belum tahu alasan kenapa dia ingin berteman denganku.

Tahu-tahunya, jari kelingkingku sudah mengait jari kelingkingnya.

"Aku berjanji."

Next chapter