1 Amarah

Dengan ditemani sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah-celah kain yang menutupi pintu kaca, di sebuah apartemen. Seorang pria dan wanita sedang menikmati setiap permainan yang menghanyutkan jiwa.

Mereka yang sedang dimabuk cinta, saling bertatapan dengan lembut. Sentuhan sang pria yang bisa membuat setiap gelora dalam hati wanita bergejolak. Sehingga tidak bisa menahan suara kenikmatan yang terdorong keluar dari mulut manisnya.

Suara lembut itu membuat sang pria semakin terprovokasi untuk melakukan permainannya dengan cepat. Bukanya sakit yang dirasa tetapi sebuah rasa yang membuat hati wanita ini ingin terus menikmatinya.

Setiap permainan mereka menghasilkan bulir-bulir air yang keluar dari setiap inci kulit. Menandakan jika hasrat mereka sudah terpenuhi. Di saat mereka sudah akan mencapai puncaknya.

Brakk! Pintu terbuka secara paksa sehingga menghentikan permainan mereka berdua. Muncul kilatan-kilatan blitz kamera dari sebuah ponsel. Sehingga terpampang foto sepasang pria dan wanita yang tidak senonoh.

"Jadi ini yang kau lakukan—di belakang temanku?!" Seorang wanita berkata dengan nada dingin tetapi ada penekanan di setiap kata yang terucap.

"Binar Chavali—apa yang kau lakukan di sini? Apa kau ingin ikut bermain denganku?!" tanya pria itu yang masih belum melepaskan diri dari wanitanya.

Ya. Binar Chavali, seorang wanita yang tidak suka akan pengkhianatan seorang pria. Dia akan melakukan serangan pada pria yang tidak tahu diri, sehingga merasa malu dan tidak akan melupakan apa yang sudah dilakukannya.

Binar tersenyum miring, dia sangat jijik mendengar apa yang dikatakan oleh Doni. Pria yang bisa disebut sebagai kekasih sahabatnya itu. Namun, dia hanya memanfaatkan sahabatnya yaitu Bianca Chastine.

"Ca—apa ini yang kau sebut kekasih?!" Binar berujar.

Bianca yang mendengar perkataan Binar melangkah memasuki kamar. Dia melihat dengan tatapan penuh dengan rasa kesal bercampur jijik. Melihat apa yang sudah dilakukan oleh kekasihnya itu.

"Cih ... aku tidak memiliki kekasih yang murahan seperti itu! Karena mulai sekarang kita putus Doni Saputra!" Bianca berkata dengan nada menghina.

Doni yang mendengar apa yang dikatakan oleh Bianca merasa terhina. Dia melepaskan diri dari wanita yang sedang ada di bawahnya itu. Berdiri dengan penuh percaya diri dan tanpa menggunakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya yang menjijikkan itu.

"Putus?" Doni terkekeh, "bagus—karena aku sudah bosan menunggu wanita sepertimu!"

Binar semakin geram dengan apa yang dikatakan oleh Doni. Dengan sekuat tenaga dia melayangkan tendangannya, sehingga Doni terhuyung ke belakang dan terjatuh. Terdengar rintihan dari mulut kotornya itu.

"Binar, kau—" Sebelum Doni melanjutkan kalimatnya, Binar sudah berada tepat di depan wajahnya. Dan mengatakan jika lelaki yang menjijikkan sepertinya tidak pantas berdekatan dengan Bianca.

Dia mengancam Doni jika macam-macam dengan dirinya atau Bianca. Maka foto yang menarik ini akan terpampang di papan pengumuman kampus. Setalah puas dengan apa yang dilakukan Binar pun melangkah keluar apartemen dengan diikuti Bianca.

"Bi—aku tidak menyangka jika dia pria seperti itu," Bianca berkata pada binar dengan nada sedih.

Meski tadi Bianca terlihat kuat tetapi dalam hatinya dia merasa sedih dan kecewa. Karena dia sudah sepenuhnya menyerahkan rasa cinta pada Doni.

Binar hanya diam, dia masih berusaha mengontrol emosinya. Bagi dia yang dilakukan pada Doni belum seberapa, semua ini karena melihat Bianca yang masih belum tega melihatnya menghajar Doni.

"Sudah aku bilang—jangan menyerahkan seluruh hatimu pada pria! Tetapi kau tidak percaya padaku, nah sekarang kau merasakannya bukan?" ucap Binar dengan nada kesal.

Dia sudah mengatakan beberapa kali pada Bianca jika Doni bukanlah pria yang baik. Namun, Bianca tidak percaya dan malahan menyerahkan seluruh hatinya untuk pria tidak tahu diri itu. Untung saja Bianca belum menyerahkan yang begitu penting bagi seorang wanita.

"Aku antar kau pulang dan ingat jangan ke mana-mana!" Binar berkata sembari kembali fokus memegang kendali setir mobil.

Dalam perjalanan menuju rumah, Bianca hanya termenung terlihat jelas masih ada guratan kesedihan dari wajahnya. Binar tahu jika ini sangatlah wajar tetapi dia tidak ingin melihat sahabatnya berlarut dalam kesedihan.

Mobil terhenti di sebuah rumah mewah di kawasan Menteng. Binar menatap sahabatnya itu lalu berkata, "Tenangkan pikiranmu—besok kita jenguk Belva di rumah sakit!"

Bianca mengangguk lalu dia keluar dari mobil, berjalan dengan lesu memasuki rumahnya. Dia tidak memiliki tenaga untuk hari ini, ingin rasanya menghempaskan semua masalah yang ada di hatinya.

Melihat Bianca sudah masuk, dia pun menjalankan mobilnya dengan perasaan masih kesal. Semua kekesalannya belum hilang karena masih teringat dengan wajah Doni yang tidak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya.

Ponselnya berdering, dia memasangkan earphone-nya lalu mengangkatnya. Yang menghubunginya adalah Belva, dia bertanya bagaimana dengan Bianca. Karena dia sedang sakit sehingga tidak bisa ikut menghajar Doni.

Binar mengatakan semua yang terjadi, terdengar rasa kesal dari setiap kata yang terlontar dari mulut Belva. Dia mulai dengan kecerewetannya, sehingga membuat Binar terkekeh.

Dia mengatakan pada Belva jika besok akan ke rumah sakit dan mengatakan semua rincinya besok. Setelah mengatakan itu Binar menutup sambungan teleponnya.

Mobilnya melesat menembus jalanan ibu kota yang sudah terlihat sepi. Tibalah dia di sebuah rumah megah, rasa khawatir mulai menghantui dirinya. Dalam benaknya berpikir pasti akan terkena marah oleh ayahnya.

"Duh ... Gawat—pasti ayah marah kalau tahu aku baru pulang!" gumamnya.

Binar berusaha memberanikan diri untuk memasuki rumah, secara perlahan memegang gagang pintu. Belum saja mendorong pintu rumah.

"Bagus ya...," ucap seorang pria paruh baya yang sudah membuka pintu rumah terlebih dahulu.

"Ay—" Sebelum selesai mengucapkan kata ayah, dengan cepat sang ayah menjewer telinga Binar. Sehingga dia meringis kesakitan dan meminta ampun.

Namun, sang ayah tidak melepaskannya hingga berada di ruang keluarga. Dia merasa kesal karena putri satu-satunya ini sangat sulit diatur.

Binar berusaha meminta maaf agar sang ayah melepaskan tangannya dari daun telinganya. Karena itu sudah terasa panas dan menimbulkan rasa sakit. Akan tetapi ayahnya tidak mau melepaskannya.

"Ayah, sudah lepaskan Binar—dia sudah minta maaf, 'kan?" ucap seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat muda. Dia adalah sang bunda yang selalu membela Binar.

Ayah masih tidak mau mendengar apa yang diucapkan oleh bunda. Karena Binar kali ini sudah membuatnya sangat kesal. Binar memberikan kode pada bunda agar melakukan trik agar ayah mau melepaskannya.

Bunda tersenyum lalu melakukan trik seperti biasanya agar bisa melepaskan Binar dari jeweran sang ayah. Dan ternyata benar trik bunda berhasil, Binar pun terlepas dari sang ayah.

Binar dengan cepat berlari ke kamarnya meski sang ayah berteriak memanggil namanya. Bunda memegang tangan ayah lalu mengajaknya ke kamar untuk beristirahat dan menenangkan hatinya.

avataravatar
Next chapter