1 Ganteng-Ganteng Bujangan

Di bawah terik matahari yang membakar kulit, siang itu orang-orang dari berbagai usia sedang mondar-mandir di sepanjang jalan kecil dekat bangunan-bangunan perkantoran. Di keramaian itu, ada dua pria beda usia yang sedang menyodorkan brosur promosi restoran baru yang di bangun di jalan A.

Kadang kala ada yang sudi mengambil brosur itu dan membawanya, ada pula yang sekadar mengambil lalu membuang ke tong sampah terdekat dan tak jarang pula setelah menerima brosur kemudian dicecer begitu saja. Surugui, pria jangkung yang menginjak 27 tahun ini adalah salah seorang yang membagikan brosur tersebut.

Surugui bersama pria tua gendut berusia 50 tahun bernama Sudirman yang bertugas menyebar brosur di ujung jalan dekat lampu merah. Surugui, pria yang sigap dan jujur, begitu dilihatnya brosur-brosur yang sengaja dicecer, segera ia pungut dan disodorkan lagi pada orang-orang. Karena sikapnya itulah pak Sudirman suka mengajaknya bekerja bersama.

Tiap hari senin Pak Sudirman mendapatkan pekerjaan tersebut dari berbagai bidang usaha dan mengajak Surugui untuk ikut bersamanya. Gaji yang mereka dapatkan berkisar 60-90 ribu rupiah dengan jumlah 300-400 brosur.

Menginjak sore hari, barulah brosur-brosur itu habis di lengan mereka. Tetes-tetes keringat mereka terbayarkan ketika mengantongi gaji kecil-kecilan itu, keduanya tak mengeluh karena pada umumnya di Jakarta dengan jumlah populasi yang padat, sangatlah sulit mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji memadai. Contohnya saja Surugui, ia lulusan perguruan tinggi negeri tetapi tak berhasil menjadi seorang guru.

Jumlah lulusan dan keperluan guru terlalu tak seimbang sehingga ada kalanya mengambil profesi lain untuk menyongsong kehidupan di ibu kota. Sebenarnya ia sudah berusaha untuk melamar sebagai tenaga honorer di berbagai daerah dan kota, akan tetapi terlindas oleh persaingan yang ketat.

Pada usia 25 tahun, ia pernah berhasil menjadi tenaga honorer di sekolah negeri dan mendapatkan gaji yang tak seberapa, itu pun tak berlangsung lama. Saat dinyatakan tak lulus mengikuti ujian Pegawai Negeri, ia diundurkan dari sekolah karena ada guru resmi yang lulus dan menempati kedudukannya sebagai guru Biologi.

Malang sekali nasibnya, saat diundurkan dari pekerjaannya ketika itu pula, ia mendengar kabar duka bahwa sang ibu mengembuskan napas terakhir. Seluruh tabungan ibunya ludes untuk pemakanan sang ibu, sehingga tak ada sisa untuk biaya makan sehari-hari.

Surugui amat sedih, dua keadaan itu membuat ia melepaskan impiannya menjadi guru dan mulai bekerja sambilan sebanyak-banyaknya. Ia pun bermoto, apa pun pekerjaannya yang penting halal dan dapat ditabung. Sedangkan ijazah berlapis tinta emas itu akan menjadi bukti bahwa ia belajar dengan baik selama 4 tahun. Tidaklah sia-sia kuliah baginya, karena ia dapat memahami kehidupan dengan baik, menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Dua tahun ini ia aktif bekerja melipat kotak makanan dan membungkus kado. Dari pekerjaan kecil itu ia mendapatkan penghasilan 800 ribu rupiah dalam waktu 3 hari, dan disisihkannya sebagian sehingga sampai sekarang ia punya tabungan yang cukup untuk menikah.

Pada hari Kamis, pegawai dari restoran datang ke rumahnya dan memberinya tugas melipat 1000 kotak, dan pada hari Sabtu pemilik toko pernak-pernik datang membawa puluhan barang untuk dibungkus menjadi bingkisan dan kado sehingga sering kali ruang tamu sampai kamarnya penuh barang-barang.

Adapun tiap hari Senin atau Selasa, ia bepergian bersama pak Sudirman dengan sepeda masing-masing ke pusat kota untuk membagikan brosur. Pada hari-hari sisanya, ia pergi memancing di sawah atau merawat kebun tomatnya.

Sore itu, pak Sudirman tak pulang bersamanya ke desa karena ada urusan lain. Surugui mengganti pakaiannya kembali dan menyerahkan pada pihak pengelola restoran. Salah satu pegawai kala itu memberinya satu botol minuman karena kasihan melihat Surugui yang berkeringat dan tampak kepanasan. Di sana juga, diminumnya pemberian itu agar orang yang memberinya merasa bahagia. Ia tak lupa berterimakasih dan berpamitan.

Botol minuman itu dilemparnya ke dalam keranjang sepeda yang berisi tas ransel. Ia pun mengayuh sepeda dengan keringat yang terus membasahi tubuhnya. Setelah 30 menit, Matahari mulai turun, Surugui bersiul sambil mengayuh sepeda di jalan kecil di antara padi-padi yang bergoyang.

Pandangan matanya memuji keindahan desanya yang sejuk dan penuh angin, burung-burung terbang ke arah barat, serbuk-serbuk putih jingga tersebar di langit dengan indahnya. Pujian kepada Yang Maha Kuasa tak luput dari mulutnya.

Setelah lama bersepeda ia baru merasakan pegal pada lengan dan lelahnya sang kaki mengayuh pedal. Entah kenapa ketika ditinggalnya ke toilet, tas ransel itu terasa berat sekali. Begitu sampai di halaman rumah dan sepeda itu digemboknya di teras, tas ransel itu bergerak. Surugui terkejut, kemudian perlahan-lahan diletakkannya tas itu di tanah.

''Uy, berat sekali,'' keluhnya, ''padahal tadi cuma beli sosis sama mie instan. Apa jangan-jangan ular, nih?'' Begitu dibuka, tak disangka-sangka seorang bocah cilik duduk melipat kedua kaki di dalam ranselnya.

Surugui kaget sekaligus terperanjat. ''Eh, bocah ngapai bersembunyi dalam tasku. Sejak kapan kau ada di dalam, hah? Ibumu pasti pusing mencarimu. Kau sedang makan apa?'' Bocah kecil berwajah tembam itu tertawa mendengar ia berbicara.

Melihat langit sudah mulai gelap, Surugui menyentuh kening yang mendadak berkedut. ''Nggak mungkin nih kembali ke kota, sebentar lagi malam. Ah … merepotkan sekali.''

Surugui hendak mengeluarkan bocah itu dari ransel, tetapi sang bocah beranjak dan berlari serampangan ke dalam rumahnya sambil memegang satu batang sosis. Sudut mata Surugui mengekori batang sosis di genggaman bocah itu dan langsung berdecak.

Dalam perjalanan tadi ia sempat membeli satu pack sosis dan sebungkus mi instan. Dan sekarang di dalam ranselnya hanya tersisa mi instan dan remah-remah sosis, mendadak perutnya bergemuruh minta dikasih makan. Ditekannya perut sambil merengut, kesal.

''Bocah dari mana tuh datangnya langsung nongol di ransel aja. Mana jatah makan malam dimakan semuanya!'' Ia menggerutu sambil setengah berlari ke dalam rumah. ''Arhhhh … dia menghamburkan buku-bukuku.''

Bocah itu lari berputar-putar sambil menyeret bantal, kadang kala menendang kasur dan tersungkur di atas selimut lalu bangkit lagi kemudian berloncat-loncat sambil menaiki bantal. Karena kelakuan hiperaktif si bocah, ruang kamar Surugui berantakan sekali.

Surugui menjambak rambutnya yang basah karena keringat, seraya bergerak lehernya kiri ke kanan mengikuti lari bocah itu. Rasa canggung pun merayap sampai ke kepalanya dan membuatnya bingung harus bagaimana menghentikan si bocah yang tampak tak menghiraukannya.

Surugui tipikal pria yang kaku pada anak kecil, karena dirinya anak tunggal dan seumur hidupnya belum pernah berinteraksi dengan anak kecil.

Walaupun Surugui sudah berdiri di dekat si bocah sambil sesekali menegur untuk tidak menghamburkan kamarnya, nyatanya bocah itu tak memedulikannya.

''Hai, hai berhenti, jangan seret bantal di lantai, nanti kotor. Dek, berhenti! Kubilang jangan diseret! Lihat sarung bantalnya jadi berdebu,'' kata Surugui dengan intonasi yang semakin tinggi. Ia mengambil bantal yang diduduki bocah itu dan menunjuk debu pada sarung bantal nan putih.

Saat ditatapnya, raut wajah bocah itu mulai berubah, dalam waktu 1 menit, tangis pun meledak di hadapannya. ''Sudah! Berhenti menangis. Nanti kuberi permen. Jangan menangis lagi …,'' bujukannya tak mempan, ia jadi bingung harus bagaimana.

Gemetar matanya memerhatikan wajah bocah itu, kerongkongannya jadi kering dan mulutnya kelu. Tanpa berkata apa-apa ia serahkan lagi bantal yang sudah kotor pada bocah itu dengan sudut bibir yang naik dan kening berkedut.

''Sungguh menjengkelkan!''

avataravatar
Next chapter