1 1.1 Lunar Mahendrata

Gerhana bulan merah, hutan yang gelap, darah di tanah, tubuh manusia yang terpotong-potong berserakan dimana-mana. Beberapa orang duduk ketakutan, menunggu jawaban Lunar. Karena apapun jawabannya, menentukan hidup dan mati mereka.

"Jadi bagaimana? Apa kau akan pergi bersamaku atau lebih memilih tinggal di kota yang dipenuhi orang-orang tidak tahu diri ini?" tanya lelaki menggunakan jubah hitam berlumuran darah.

Lelaki itu menatap Lunar yang duduk tersungkuk, menatap kosong organ tubuh manusia yang terpisah seakan sudah terbiasa. lelaki itu mendongakkan kepala Lunar dengan tangannya, mengotori wajah cantik Lunar dengan cairan warna merah. Mata semerah darah itu menatap tanpa ekspresi.

"Jika kau tidak mau ikut denganku. Bukan hanya membunuh mereka, namun aku akan menghancurkan kota, kali ini." Bisiknya. Lelaki itu tersenyum sinis.

"Bukankah kau tahu seberapa aku membenci kota ini?" ia terdengar mengancam. Entah itu sungguh atau hanya sekedar ancaman, tidak ada yang mengerti apa yang lelaki ini pikirkan. Semuanya bisa saja ia lakukan, karena tidak ada yang tahu bagaimana lelaki ini melakukan tindakan kriminal tanpa mendapatkan tuduhan sama sekali. Bahkan setelah banyak membunuh orang, tidak ada laporan kalau lelaki ini menjadi salah satu tersangka.

"Jika aku menolak lagi, apa kau akan membunuh mereka seperti dulu dan membuatku menjadi tersangka?" Tanya Lunar. Tubuh Lunar bergetar ketakutan, kakinya lemas. Bahkan tidak kuat untuk ia berdiri.

"Mungkin saja. Tapi jangan khawatir, kau akan segera terbebas dari masalah itu secepatnya." Mata merah yang seperti gerhana bulan merah itu membuatnya terlihat menawan sekaligus menakutkan di malam hari. Mungkin, jika warna matanya sama seperti dulu. Lunar tidak akan ketakutan jika berhadapan dengan lelaki ini.

"Apa sekarang kau tetap menolakku?" Tanya lelaki itu. Lunar menggeleng. Air matanya sudah tidak bisa menetes lagi.

"Aku... Akan ikut denganmu." Mau bagaimanapun juga ia tidak bisa mengorbankan nyawa orang-orang lagi hanya untuk tetap bertahan di kota ini.

Jika Lunar menolak lelaki ini sekali lagi. Lelaki itu akan membunuh semua orang yang ada disini, dan akan menghapus ingatan Lunar tentang perbuatannya. Dan meninggalkannya sendirian berlumuran darah sampai petugas keamanan datang kesini dan menginterogasinya.

_Tapi kalau aku ikut dengannya apa dia akan membunuhku?_

"Haha... Aku senang mendengarnya." Lelaki itu terlihat puas. Ia mengecup kening Lunar dan tersenyum lembut.

"Aku mencintaimu, jangan khawatir. Tidak akan ada orang yang mengganggumu lagi. kamu akan hidup dengan tenang jika bersamaku. Aku berjanji." Lelaki itu menyingkirkan tangannya dari wajah Lunar, dan menyisahkan darah menempel di wajahnya.

"Padahal orang tuamu mengatakan warna merah tidak cocok untukmu. Mereka salah. Kamu terlihat cantik dengan warna merah darah ini." Lelaki itu tersenyum lembut.

"Ayo kita pergi." lelaki itu menggendong Lunar, dan melewati segerombolan orang yang ketakutan. Lalu mereka semua pingsan.

Entah apa yang sedang terjadi, Lunar sudah tidak ingin menebaknya lagi. Yang pasti lelaki ini bukan manusia biasa.

Lunar memejamkan matanya, entah bagaimana ia bisa dengan tenang memejamkan mata karena kelelahan. Hari ini tepat di hari ulang tahunnya yang ke-17, Lunar menghentikan lelaki itu terus membunuh orang. Ia teringat 1 tahun yang lalu, sebelum semua ini terjadi. Tidak, sebelum ia berpikir untuk kabur dari rumah. Pembunuhan karena Lunar menolak pergi bersama lelaki ini, bukan yang pertama kali.

Tahun 2013...

Sisa 20 menit sebelum bel pulang berbunyi. Semua murid tergesa-gesa mengerjakan soal ujian, banyak yang kesusahan karena ini adalah ujian dadakan yang diberikan oleh guru sebagai latihan sebelum ujian tengah semester dilangsungkan. Namun, Lunar hanya melamun sambil melihat keluar jendela dan mengetuk-ngetuk jari di meja karena terlalu bosan.

_Sudah lama aku menyelesaikan ujian. Apa tidak bisa aku pulang lebih dulu?_

Guru yang mengawasi melirik Lunar yang sedang melamun.

"Lunar. Apa kamu sudah menyelesaikan ujiannya? Jika sudah silakan kumpulkan." Tanya guru itu.

"Sudah pak." Tanpa basa-basi lagi Lunar berdiri menghadap guru dan menyerahkan kertas ujiannya.

Semua murid terus memperhatikannya, padahal mereka yakin guru hanya sedang menggertak agar Lunar fokus pada ujian. Tapi tidak mereka sangka kalau Lunar benar-benar sudah menyelesaikan ujiannya.

"Lebih baik kamu mengecek jawabanmu sekali lagi, Lunar. Daripada nanti ada jawaban yang salah." Tegas guru itu.

Lunar hanya menghela napas. Justru karena sudah mengecek jawabannya berulangkali sampai bosan dan melamun.

_Padahal aku sudah mengecek jawabannya 10 kali, apa perlu aku mengeceknya 20 kali?_

_Memangnya masuk akal mengecek jawaban 10 tanpa mengubah jawabannya?_

"Jika ada yang salah dengan jawaban saya, kemungkinan karena saya lupa dengan rumusnya karena saya tidak hanya belajar pelajaran bapak saja. Jadi tolong dimaklumi, pak." Lunar tersenyum lalu menunduk.

"Saya izin ke toilet sebentar." Lunar berjalan keluar kelas, ia bisa merasakan tatapan sinis guru yang menusuk di punggungnya. Namun, ia tak peduli.

_Membosankan_ Hanya itu yang tertanam di benaknya.

Bagaimana tidak. Hanya mengikuti rutinitas yang sudah disiapkan oleh orang tuanya. Dari pagi sampai malam semua sudah di atur oleh orang tua Lunar. Seakan Lunar tidak boleh melewatkan jadwal yang sudah disiapkan oleh mereka.

Lunar menyusuri koridor dengan melamun, tanpa sadar ia sampai di atap. Tepat saat bel pulang berbunyi.

Ting....Tong... Ting... Tong...

"Loh? Kenapa aku bisa di atap? Tadinya aku ingin pergi ke kantin." Lunar tersadar dari lamunannya. Angin berhembus mengenai wajahnya. Meniup rambut hitam panjangnya dengan indah.

_Apa aku langsung kembali ke kelas saja? Tapi sepertinya guru itu masih belum keluar kelas_

_Aku tunggu saja sebentar lagi_

Lunar memperhatikan pemandangan sekolahnya dari atap. Melihat siswa-siswi berhamburan keluar dari gedung sekolah.

_Bosan. Hari ini aku pulang malam, bukan. Ada jadwal latihan dan les_

Gadis yang belum genap 17 tahun itu menatap kosong langit yang cerah.

_Padahal cuaca sedang cerah. Tapi aku tidak pernah bisa pergi menikmatinya_

Lunar sontak menggelengkan kepalanya, menghapus pikirannya untuk menikmati suasana hari yang indah ini. Karena ia tahu. Ia tidak bisa lepas dari pengawasan orang tuanya.

Ia berbalik dan dikejutkan oleh sosok lelaki berambut putih tepat dibelakangnya.

"Astaga!! Ian!! Kalau datang bicaralah. Jangan tiba-tiba muncul dibelakang!" Lunar mengelus dadanya. Ian Ignasius, anak asal Amerika satu ini adalah teman SMP Lunar yang mirip hantu. Setiap langkahnya hampir tidak terdengar dan selalu muncul mengejutkan Lunar, ditambah rambut putih karena ia seorang albino menambah kesan horor jika Ian mengejutkannya di malam hari.

"Hahaha... Sepertinya aku tidak bisa menghilangkan kebiasaan itu, jika melihatmu terkejut seperti ini." Ian mengelus rambut hitam Lunar yang halus dan menatap mata coklat Lunar.

"Apaan sih. Berhentilah mengejutkanku." Lunar menepis tangan Ian.

"Hahaha... Baiklah. Aku tidak akan mengejutkanmu lagi. Mungkin." Ian tersenyum. Mata merah yang seperti permata ruby itu menatap lembut Lunar. Lunar mengalihkan pandangannya dari Ian.

_Gila. Kenapa cowok ini ganteng banget_

Lunar berusaha mengatur ekspresi wajahnya supaya Ian tidak melihat wajahnya yang tersipu malu.

"Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Lunar heran. Ian terdiam sebentar dan kembali tersenyum.

"Entahlah. Aku hanya merasa bidadari turun dari kahyangan sedang berdiri di atas atap gedung sekolah ini." Ucap Ian membuat Lunar kembali tersipu.

Ucapan manis seperti itu selalu Ian katakan pada Lunar. Bahkan Lunar sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Ian. Namun tetap saja Lunar tidak terbiasa dengan hal itu.

"Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh." Lunar langsung memukul bahu cowok itu dengan keras, sampai cowok itu merintih kesakitan.

"Aduh!! Kenapa selalu memukul?! Jangan lupa kalau pukulanmu itu bisa saja membuat seseorang pingsan." Keluh Ian. Tentu saja itu bisa saja terjadi. Lunar seorang siswi atlet boxing. Pukulan tangan Lunar bisa membuat seseorang pingsan kalau menggunakan seluruh kekuatannya.

"Makanya jangan bicara yang aneh-aneh lagi. Siapapun yang dengar akan berpikir itu terlalu berlebihan." Pipi Lunar mulai memerah. Ia mengalihkan pandangannya, berharap Ian tidak menyadari pipinya memerah.

_Cowok ini bisa gak berhenti bicara seperti itu. Jantungku sepertinya akan berhenti tiba-tiba kalau cowok ini masih bicara seperti itu_

Lunar buru-buru turun dari atap. Namun Ian menahannya.

"Hari ini kamu ada latihan, bukan?" Tanya Ian.

"Iya. Memangnya kenapa?" Lunar sudah tidak bisa mengatur ekspresinya. Ia yakin kalau pipinya sudah sangat memerah. Ian terdiam sebentar, menatap wajah Lunar yang sudah seperti kepiting rebus dan kembali tersenyum.

"Apa hari ini kamu mau bolos latihan bersamaku?" Ajak Ian. Ini adalah pertama kalinya Ian berani mengajak Lunar untuk bolos suatu kegiatan yang sudah diatur orang tuanya.

"Memangnya kalau bolos, mau kemana?" Tanya Lunar.

"Pergi makan ke warteg." Jawab Ian dengan nada suara yang lucu. Lunar sedikit kaget saat mendengarnya dan langsung tertawa.

"Pfft... Hahaha... Merakyat sekali ya sebagai orang asing. Baiklah aku akan ikut." Lunar tertawa terbahak-bahak. Dan langsung menarik Ian.

_Walau mungkin saja orang tuaku akan marah besar nanti. Tapi tak apalah_

Ian dan Lunar menjadi salah satu murid paling teladan seangkatan mereka, bahkan sudah seperti saingan dalam penilaian akademik. Sejak SMP mereka berdua selalu menduduki peringkat pertama dan kedua. lalu 1 bulan lalu sebelum ujian tengah semester, sekolah mereka selalu menunjukkan nilai akademik seluruh siswa dan memberikan hadiah bagi peringkat pertama.

Sangat disayangi mereka menduduki peringkat 2 dan 3, bukan peringkat pertama di angkatan mereka, tapi orang lain.

* * *

Setelah kabur dari sekolah, mereka berdua pergi dengan berjalan kaki menuju warteg yang jaraknya sekitar 200 meter dari sekolah mereka.

Saat mereka berdua masuk ke dalam warteg, seluruh pengunjung memperhatikan mereka tanpa berkedip.

"Bu, seperti biasanya ya." Ian tersenyum pada pelayan sekaligus pemilik warteg itu.

"Sayur lodeh dan telur balado lalu minumnya es jeruk, kan. Kalo nona?" Tanya ibu itu.

"Emmm... Saya tumis kangkung dan ayam, lalu minumnya teh hangat." Jawab Lunar gugup. Ini pertama kalinya ia makan di warteg. Karena biasanya ia hanya makan di rumah, dulu maupun sekarang.

"Baiklah." pemilik warteg tersenyum ceria. Entah karena apa, sepertinya pemilik warteg ini bukan senang karena mendapatkan pelanggan baru.

Tidak perlu waktu lama, pesanan mereka sampai.

"Ini pesanannya. Ngomong-ngomong apa ibu boleh tanya pada kalian?" Ucap pemilik warteg.

"Boleh tanya apa, Bu?" Jawab Ian. Lunar menyeruput teh hangatnya.

"Kalian pacaran ya?." ucap pemilik warteg itu tanpa merasa beban. Lunar lantas menyemburkan teh yang ia minum. Ian terkejut dengan pernyataan itu dan tertawa sambil melambaikan tangannya karena tebakannya salah.

"Tidak benar. Kami hanya berteman." ucap Ian. Meski begitu dulunya saat SMP kelas 8, Ian pernah menyatakan perasaannya pada Lunar. Namun Lunar menolak. Lunar memang selalu mengatakan kalau Ian adalah lelaki yang sangat tampan, pintar, dan bermulut manis yang selalu membuat Lunar tersipu. Rahangnya yang kokoh, mata merah yang indah, dan senyum menawan. Siapapun pasti akan jatuh hati padanya. Tapi tak pernah sekalipun Lunar melihat Ian sebagai lawan jenis.

Terkadang ia merasa bersalah setelah menolak Ian, walaupun keesokan harinya Ian bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa setelah itu sampai sekarang.

avataravatar
Next chapter